Oleh: Effendy Marut OFM*
Pada 7 Desember 2016, VoxNtt.com memberitakan tentang Kepala Sekolah SMAN 1 Cibal, Fransiskus Atap, yang dilaporkan ke polisi lantaran diduga telah memukul siswanya sendiri.
Frans akhirnya harus berurusan dengan pihak Polsek Cibal di Pagal karena memukul muridnya, Putra Bangkit Sudu, pada 17 November lalu. Usai dipukul Putra jatuh sakit hingga harus absen ke sekolah selama satu minggu usai kejadian.
Terhadap pemberitaan ini, ada begitu banyak reaksi terutama dari orang-orang yang secara sosiologis, pun kultural mengenal baik siapa yang terlibat dalam fakta yang diberitakan ini.
Ada yang berseloroh, “Cibal masih kolot kah cara mendidiknya”? Ada juga yang bilang; “wahh..ini sadis, kekerasan dalam pendidikan masih saja nyata terjadi.” Ada pula yang bilang; “ini bahan refleksi untuk guru dan siswa”.
Tentu saja komentar yang terakhir ini tampak lebih netral atau barangkali karena yang bersangkutan tak mau begitu saja bergabung dalam begitu banyak komentar ‘pedas’ lainnya.
Saya pun sempat tergoda untuk ‘terjebur’ dalam sekian banyak tanggapan (yang menurut saya wajar) terhadap masalah ini, meski akhirnya memilih untuk menuliskan refleksi sederhana ini.
Atas masalah ini, apakah ada keresahan, iya. Ada keprihatinan, juga iya. Apakah juga ada kejanggalan, dalam hal ini terkait dengan cara mendidik, sikap pendidik dan juga mental peserta didik?
Tak perlu ragu menjawab bahwa di sini ada kejanggalan. Ada skandal yang mesti disikapi secara serius, jika memang kita masih menghendaki adanya reformasi dalam mekanisme guru mendidik.
Terlepas dari apakah tujuan mereka baik, mari kita bersama-sama mencermati caranya! Sebab, mendidik tidak sama dengan mengintimidasi. Mendidik perlu ditopangi oleh ‘budaya kasih’, sekurang-kurangnya jika kita ingin taat pada ciri sikap keberimanan kita sebagai orang Kristiani.
Sesungguhnya cara mendidik yang berciri kekerasan tidak begitu relevan untuk saat ini. Jika hendak berbicara perihal efektivitas; apakah ada perkembangan yang begitu signifikan dalam diri seorang peserta didik setelah ia mendapat perlakuan sadis dari gurunya?
Secara psikologis, apakah dampaknya baik, atau malah sebaliknya? Terlepas dari apakah anak itu buruk sikap dan mentalnya di sekolah, adakah alternatif cara yang lebih manusiawi dalam memperlakukan peserta didik?
Ada apa dengan Pak Frans Atap?
Suatu hari seorang kolega saya sempat dengan sangat serius mengirim pesan: “saudara, bagaimana tanggapanmu terhadap Pak Frans Atap selaku seorang pemimpin, seorang figur teladan yang nyatanya tidak begitu bijaksana menyikapi mentalitas anak didiknya?”.
Saya kira, ini merupakan sebuah pertanyaan yang bisa dengan aneka cara dijawab dan ditafsir tegantung dari perspektif mana kita menilainya.
Akhirnya saya mencoba memahami dan menelisik problem ini dari suatu perspektif filosofis nan sederhana, yang kiranya bisa sedikit memberi arah perihal bagaimana seharusnya bertindak, dengan terlebih dahulu menyadari keberadaan kita sebagai manusia yang kompleks.
Peristiwa Pak Frans memukul peserta didiknya adalah ironi dalam ranah pendidikan hari ini. Kasus ini merupakan representasi dari sekian kasus kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya di nusantara ini.
Apakah dengan bertindak seperti ini, misi pendidikan (mission accomplishment) bisa terwujud? Ingat bahwa kedudukan siswa dalam pendidikan formal merupakan pusat.
Dia disebut subjek didik (the learner agent), dia adalah pelaku utama dan bukan objek, sedangkan guru adalah teman belajar (fasilitator), bukan sumber dan atau subjek utama yang padanya tak ada kekeliruan, yang otoriter, atau yang semena-mena bisa bertindak keras dan anarkis (an: tanpa,tidak, arche:prinsip, pegangan, akar).
Seorang filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) mengatakan bahwa salah satu keutamaan kunci dalam diri manusia adalah phronesis, kebijasanaan praktis (dibedakan dari sophia).
Phronesis adalah kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari, dalam arti kelakuan yang bijaksana, kemampuan untuk memecahkan masalah secara bijaksana.
Pada aras ini manusia bijaksana itu bertindak berdasarkan pertimbangan. Ada diskursus yang dibahas, pun ada perjumpaan yang menelorkan agenda bersama sebelum beranjak memainkan aksi.
Jika hendak merunut lagi kasus ini, tentu aneka pertanyaan kian muncul. Seandainya memang benar ketika ada klaim-kalim yang menstigma bahwa si Putra memang kerap bertindak indisipliner di sekolah, apakah ada langkah formatif dan diskursif yang dilakukan pihak sekolah-dalam hal ini diprakarsai oleh Kepala Sekolah-sebelumnya?
Mengingat bahwa di depan aneka problem, kepada kita sebenarnya disediakan begitu banyak tawaran solusi yang beragam, dan hanya yang berpikir bijaksana yang selalu mampu untuk menghindari solusi destruktif dan anarkis dalam menyikapi suatu persoalan krusial.
Melihat substansi dari tindakan Pak Frans yang dalam hal ini tidak mendidik dan memang akhirnya wajar jika harus berurusan dengan pihak kepolisian, kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa sang Kepsek ini terlalu gegabah dan tidak bijaksana.
Sebab dia janggal dan keliru dalam memilih tindakan. Terhadap Putra Bangkit Sudu yang menjadi korban, Pak Frans telah bertindak destruktif lantaran merusak, baik fisik maupun psikologis. Ada satu keutamaan, yakni keutamaan phronesis yang kiranya absen dari seorang Kepala Sekolah ini.
Karena keutamaan phronesis ini, demikian Aristoteles tidak dapat dipelajari seperti orang mempelajari (episteme) psikologi, biologi dan sejenisnya.
Orang menjadi bijaksana karena belajar dari pengalaman dan kebiasaan dalam bertindak. Keutamaan phronesis menjadikan orang tahu bagaimana bertindak secara tepat dan etis di hadapan aneka problem, entah itu dalam bidang pendidikan, sosial dan sebagainya.
Pada konteks lain, guru dari Aristoteles, Plato (428/427 atau 424/423- 348/347 SM) menyebut bahwa mendidik artinya membentuk generasi depan supaya menjadi manusia yang utama dalam arti moral dan intelektual.
Plato sepakat bahwa mendidik itu adalah pembudayaan, yakni membudayakan peserta didik dengan suatu sikap yang arif/bijaksana (dan saya kira tentu saja dengan mengedepankan semangat kasih).
Moral seorang peserta didik mesti juga dibangun atas prinsip-prinsip moral yang sudah tertanam lama dalam diri seorang guru. Sebab tindakan mendidik selalu mengandaikan adanya rasa cinta dan rasa memiliki terhadap siapa yang dididik. Dan persis di sinilah, kekerasan tidak mendapat tempatnya dalam model pendidikan hari ini.
Kasus kekerasan di SMAN 1 Cibal, menjadi contoh bagi siapa saja yang ingin belajar bagaimana bersikap dalam mendidik secara bijaksana, terlepas dari persepsi bahwa kasus ini telah menjadi school brand yang buruk terhadap lembaga SMAN 1 Cibal.
Apabila tindakan serupa tetap dan terus dilakukan atau bahkan jika dijadikan “jurus pamungkas” dalam membina mentalitas peserta didik, saya toh tak menjamin misi revolusi mentalnya Jokowi bisa terwujud di Manggarai, khususnya di Kecamatan Cibal.
Mencermati tindakan Pak Frans Atap, apakah ini yang disebut upaya revolusi mental dalam pendidikan kita, hari ini? Jika tidak, diharapkan revolusinya dimulai dari guru yang hobby main kekerasan.***
Efendy Marut, OFM
Biarawan Fransiskan, Mahasiswa Semester VII Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Asal Manggarai-Flores NTT
Tinggal di Jakarta