*Mikhael Wora

Untuk Tikus Berdasi di Balik Laci

Selamat sore hai tikus-tikus busuk

Aku tahu kalian suka melahap kertas, bukan?

Maka baiklah kuhidangkan untuk kalian, tamuku

Sepotong keju di atas kertas yang kusebut: sajak keju

 

Tahukah kalian bahwa geramku kini memuncak

Hingga amarahku menggigit dasi kupu-kupu

Kala kalian meretas semangat tuk penuhi kantong baju

Juga saku celana jahitan ayah dan ibumu yang masih baru

 

Kalian bertaruh siang-malam di balik laci-laci meja

Kalian pikir mata kami buta?

Tak tahu bedakan yang mana dosa dan mana itu nafkah?

Kalian pikir hidung kami tak peka?

Tak tahu bedakan yang mana bau tikus desa dan mana bau tikus kota?

Ataukah kalian pikir telinga kami tuli?

Tak tahu bedakan mana yang disebut halal dan mana yang disebut korupsi?

 

Kalian dendangkan lagu: hanya Tuhan yang tahu

Tapi tidak untukku!

Aku tahu siapa kamu

Kalian tikus-tikus yang lapar

Melahap uang rakyat tanpa sebutir keringat

 

Kalian pintar meramu petuah untuk anak-anak:

Nak, jadilah manusia yang tidak serakah seperti ayah

Yang pandai menyimpan upah dan dosa di saku celana tua

Nak, jadilah manusia yang tidak suka menipu seperti ibu

Yang pandai memoles bedak muslihat di wajah lugu

 

Hai tikus-tikus berdasi!

Bergegaslah ke kuburan dan ceritakanlah kepada mayat-mayat

Bahwa aku telah menjamu kalian dengan sepotong sajak keju

Agar mereka merangkul kisah ini di bawah nisan putih

Dan bernyanyi lagu abadi

Tentang korupsi yang sebentar lagi akan mati

(Puncak Scalabrini, Mei 2017)

Apa Kabar Kapal Negeri?

/1/

Selamat pagi. Apa kabar kapal negeri?

Sepertinya pelayaran kita sudah jauh dari pulau penindas

Kita sudah merdeka

Apakah masih ada yang belum merdeka?

/2/

Selamat siang. Apa kabar penumpang kapal?

Kita diharapkan memakai pengaman seadanya

Sepertinya ada bajak laut yang menyusup

Menyamar  menjadi aku dan kamu

/3/

Selamat sore. Apa kabar awak kapal?

Siap siagalah dengan menggenggam seperangkat doa

Kemenyan di tangan kanan dan kitab suci di tangan kiri

Sepertinya kapal kita akan darurat bersandar

Pada karang-karang tajam

/4/

Selamat malam. Apa kabar nahkoda kapal?

Tentu kau akan jadikan kapal kita sebagai petimu

Dan lautan air mata adalah pusaramu

Aku harap semoga engkau sudah siapkan wasiat

Untuk dibaca oleh Tuhan dan waktu

/5/

Selamat tidur kapal negeri

Masih adakah yang hidup?

Bernapas terengah-engah di lautan sejarah?

Ataukah kita sudah mati?

/6/

Selamat pagi kapal negeri

Kita sudah terdampar sepagi ini

Dengan potongan-potongan kapal yang pecah

Dan puing-puing tanya yang masih bergema

(Ruang Braun, Mei 2017)

 

*Mikhael Wora. Mahasiswa STFK Ledalero. Tinggal di rumah pembinaan filsafat Puncak Scalabrini. Bergiat bersama teman-temannya di komunitas sastra Djarum Scalabrini.