KACA MATA

Ini rumah pecandu mata urban yang gemar berkaca-kaca

Sungguh sangat jujur mengantongi rahasia hitam

Kepada perihal pemilik urat tatapan

Izinkan aku meminjam retinamu sejenak

membaca rona rindu yang bertaburan

Aku telah rabun menerka indah bulan dan gelap kota

 

Makassar, 31 Oktober 2017

 

KEPADA PEREMPUAN BERKERUDUNG MURUNG

Kau butuh ketenangan

Bukan kenangan

yang membutakan luka-luka hingga ia terinfeksi dan berlumut.

 

Kau butuh senandung

Bukan gundukan duka

yang terbendung bersama kemurungan di kerudungmu

 

AKU BENAR-BENAR HITAM

Bukan pula senja bersamaku, sajak-sajak yang lelah bergejolak membebaskan kata-kata-Tahanan yang terpenjara kukuh dalam sel pikiranmu, membebaskan penglihatan dari kelumpuhan indramu

Sebab aku telah jelas menjadi hitam sebelum benar-benar tak ada senja

Sebab hakikatku adalah hitam, penjaga putih di matamu, pemilik utuh sedihmu

Kau hanya butuh wudu

Hanya Dia,

pemilik rahasia atas tuduhan-tuduhan tentang gemerlap surga.

Makassar, November 2017

 

ADA DI BATAS

Once Luliboli

 

Senja kini akut

Sangat pekat aromamu

Jingga ikut melekat di rupa-rupa maharani

Terdampar luruh hingga ke tepi

Ada laut yang sepi

Matahari menikam dadanya

Luka-luka menuju pantai

 

Rindu bersarang di sepasang kekasih yang ketakutan

Aku tak mengapa, sayang!

 

Rindu sungguh takut tenggelam

Meski ia sadar semua uratnya telah direndam kesejukan

Meski ia sadar telah mati sebelum merindu

Rindu sungguh-sungguh takut tenggelam-ditelan asmara

Adonara, 30 Juli 2017

 

Once dan Puisinya Yang Bernyawa

Oleh Hengky Ola Sura

Rdaksi Seni Budaya Voxntt.com

 Membaca tiga puisi dari Once Luliboli pekan ini adalah membaca isyarat rindu yang penuh dengan rasa takjub serentak sesak pada kalbu. Once bisa jadi sedang dalam pergumulan mengingat/mengenang sesosok perempuan yang kepadanya disematkan dengan nama Perempuan Berkerudung Murung. Mulai dari puisi Kacamata, Kepada  Perempuan Berekerudung Murung, Aku Benar-Benar Hitam dan puisi Ada di Batas, kita menyaksikan Once dengan lugas membahasakan satu perjumpaan yang abu-abu. Antara senang, bahagia, sedih, duka dan sukacita semuanya bersatu padu. Tiga puisinya kali ini adalah puisi-puisi yang hadir dengan taktis dan bernyawa.

Secara pribadi saya meyakini bahwa puisi-puisi Once adalah cerminan perasaan yang didalamnya mengandung pikiran juga tanggapan-tanggapan. Tentang ini nyata terlihat dlam puisi ketiga yang berjudul Ada di Batas. Simak beberapa penggalan puisinya

Senja kini akut

Sangat pekat aromamu

Jingga ikut melekat di rupa-rupa maharani

Terdampar luruh hingga ke tepi

Ada laut yang sepi

Matahari menikam dadanya

Luka-luka menuju pantai

 

Rindu bersarang di sepasang kekasih yang ketakutan

Aku tak mengapa, sayang!

 

Dari puisi ini saja kita menangkap geletar yang hebat pada perasaanya Once. Diksi Once untuk tiga puisinya kali ini sekalipun dengan tegas tereksplistasi toh tetap merupakan puisi-puisi yang bernyawa.***