Borong, Vox NTT-Nasib ribuan guru honorer SMA/SMK yang tersebar di seluruh kabupaten di NTT masih terkatung-katung. Para guru ini masih terus menunggu kebijakan yang pasti dari Pemprov NTT terhadap nasib mereka.
Hingga saat ini, masih banyak guru yang belum mendapat SK dari Gubernur dan tidak menerima gaji dari Pemprov NTT.
Selama ini, mereka hanya mengandalkan gaji yang bersumber dari komite sekolah. Itu pun hanya seadanya. Bahkan ada guru di sekolah tertentu yang digaji Rp 400 ribu perbulan. Pembayarannya pun tersendat-sendat.
Anggota DPRD NTT, Yohanes Rumat mengatakan, sampai saat ini guru komite/honore yang tersebar di seluruh NTT terdata kurang lebih 10.000 orang. Total yang sudah diakomodir menjadi kontrak provinsi sebanyak 2.000 orang.
Menurut Yohanes, guru-guru yang sudah diakomodir Pemprov NTT adalah mereka yang sudah mendapat SK Bupati sebelum pengalihan kewenangan SMA/SMK dari kabupaten ke provinsi.
Baca Juga: Gubernur NTT Angkat Guru Kontrak di Rayon VII, Matim Terbanyak
“Saat ini 2.000 orang ini sudah mendapatkan SK pengukuhan kembali oleh Gubernur. Tentu dengan besaran gaji UMR provinsi. Dengan demikian sampai saat ini pemerintah provinsi bersama DPRD belum ada rencana atau anggaran untuk pengangkatan tenaga guru honorer/komite baru,” jelas Yohanes saat dikonfirmasi VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp, Sabtu (07/07/2018).
Kata dia, adapun saat ini dipolemikkan oleh beberapa orang terkait munculnya beberapa nama baru di kabupaten di NTT.
Menurut Yohanes, hal itu terjadi karena menggantikan nama-nama yang dengan alasan meninggal, lulus PNS, atau alasan lainnya.
“Pertanyaannya, dengan jalur apa mereka menggantikan nama-nama yang bermasalah tersebut? “ tandas politisi PKB itu.
“Ini yang nanti kami di DPRD akan melakukan rapat dengar pendapat dengan mitra. Atas dasar apa atau dengan mekanisme proses pergantian ini? Karena kami menduga di sinilah letak adanya KKN. Kalau benar ditunjuk saja tanpa ada satu prosedur terbuka untuk umum,” tambah dia.
Sementara 8.000 tenaga homorer/komite SMA/SMK/SLB yang belum diangkat atau di SK-kan oleh pemerintah provinsi, baik negeri maupun swasta masih menunggu Juknis dari Kementerian Pendidikan di Jakarta sambil menghitung kemampuan APBD provinsi. APBD provinsi sangat terbatas.
“Kami DPRD provinsi selalu dan selalu mengingatkan pemerintah agar memasukan anggaran untuk guru-guru ini. Namun, sampai saat ini pemerintah provinsi belum menjawabnya,” jelas Yohanes.
Selain itu Yohanes berharap, UPTD Pendidikan yang tersebar di seluruh NTT agar ditingkatkan menjadi dinas cabang.
Hal tersebut dimaksudkan agar pelayanan akan kebutuhan guru dan siswa di setiap daerah terpenuhi secara baik, terutama dari sisi anggarannya.
“Kontrol kebutuhan guru negeri dan swasta berimbang dan diberlakukan sama dalam hal pelayanan,” katanya.
“Kepala UPTD atau kepala dinas cabang harus cerdas dan mampu menyelesaikan masalah atau memberi solusi terhadap masalah, jangan sampai guru-guru atau para pelaku pendidikan terkait lebih mengerti dari kepala UPTD atau kepala dinas cabang,” tambah Yohanes.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Adrianus Aba