Sebaris Senja

 

Kau adalah sebaris senja

Yang kuintip di akhir masa

Dalam jingga yang merona

Dan berjalan di akhir masa

 

Bila kutulis dalam sebuah kata

Kau adalah jeda di antara ribuan makna

Saat aku tak dapat lagi membuat prosa

Di  akhir kata sebuah cerita

 

Jarum Waktu

 

Kaki tak mau melangkah

Aku berdasi ataukah aku jadi tahanan polisi

Sungguh aneh pejabat masa kini

Hidup santai duduk di kursi empuk

 

Baju berpangkat dan berdasi

Namun sayang kau tikus yang paling kejam

Indonesia saat ini

Bukanlah tanah pertiwi

 

Hanyalah pulau korupsi

Orang miskin rasanya tersakiti

Kapankah datangnya pendekar sakti

Untuk mengubah Indonesia ini

Agar kami tak hidup setengah mati

 

Hidupku ini ingin berdiri

Dan bangkit untuk negeri

Tanah tercinta ibu pertiwi

Bangunlah kembali wahai hukum keadilan

Jujurlah di saat kau mengadili

 

Ketika Aku Harus Merelakanmu Pergi

 

Ditenggarai indahnya temaram senja

Terbungkus aroma tanah basah 

Terhembus keresahan raya di lara

Rasa rindu semakin riuh

 

Ilalang kering pun makin meranggas

Berserak di injak kaki-kaki lugas

Tak berhati namun taruh wibawa

Dingin jiwa di bawa canda dan tawa

 

Ku berhenti sejenak tatapkan muka

Inikah wajah yang ku kenal lampau

Teringat keinginan melambung

Di kala rasa sama-sama bimbang

 

Rantai hidup yang berkarat

Menjerit hati sampai luluh kumal

Bernada pucat tersenyum sesaat

Tak bernadi tak pula berjanji

 

Karena Dirimulah, Aku Menemukan Diriku

 

Suaramu terdengar seperti sihir tua yang menggema ke segala ruang

Memukul-mukul pintu yang telah patah berulang kali

Tenggelam dan meriuh dalam ruang tanpa emosi

Mengaduk semua cerita seperti adonan topan

 

Aku pun seketika seperti terjebak dalam ruang resonansi tak bertepi, di mana suaramu pun terus menggema tanpa henti

Kadang ku coba untuk menepi, namun arah itu seakan tak ada

Tidak ada kunci yang dapat ku pakai sekarang, karena semua pintunya telah terbuka

Tidak ada lagi pengandaian yang tercipta sekarang, karena kini telah terjaga

 

Percuma saja jika kini ku berpindah tempat dan berlari, jika semua arah hanyalah jalan memutar ke arahmu

Dari segala kepercumaan itu, aku pun berhenti, dan menyadari satu hal yang sebenarnya telah ku tahu dari awal, namun enggan ku akui

Bertahun menghindar dan kini saatnya mengakui, bahwa kitalah yang tak pernah menginginkan arah itu ada