*Oleh: Yuliani Tetin Naban
Minggu pagi yang sejuk, gadis yang anggun itu berangkat menuju ke gereja. Dalam keheningan rumah Tuhan, termangu-mangu, dia menyimak khotbah sang pria tua di mimbar, yah itu pastor. Dia tertegun, dia terpaku pada satu hal. Kalimat pastor tua itu.
“Saudara saudari, ingatlah Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkanmu. Ia akan menyertaimu sampai kapan pun, dimanapun dan dalam situasi apapun,” ujarnya.
Sesaat setelah Misa, gadis itu mulai mengayunkan secara perlahan langkahnya ke luar gereja. Sembari itu, suara khas burung gereja mengiringi langkahnya, bagai iringan musik penenang sanubari. Perjalanannya begitu ringan, walaupun dia tahu medan perjalanannya dari gereja ke rumah cukup menantang.
Jalan yang terjal sudah menjadi sahabatnya. Tebing sudah menjadi pemandangan yang tak asing baginya. Sejuk khas rimbun pepohonan menenangkan langkah demi langkanya. Gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan yang demikian.
Dia merenung dengan tatapan kosong. Tak disadari, sapaan seorang wanita paruh baya menarik perhatiannya. “Nak, kamu sudah pulang dari gereja?” tangan yang bermandikan keriput itu kembali dia sentuh dengan bibirnya.
“Iya ibu, aku sudahpulang!” Jawabnya sembari mendekap ibunya mesrah.
Sejenak, dia tertegun, melihat pelataran rumah yang sederhana hadir di hadapan matanya. Halamannya pun sepertinya mengukir bekas guratan lidi-lidi sapu yang masih baru. Ya di rumah inilah dia dibesarkan.
Sembari, menikmati hidangan buatan sang ibu, pikirannya kembali terlempar jauh ke perjalanan tadi, entah apakah yang terjadi, kata-kata pastor tua itu terus terngiang-ngiang di dalam pikirannya. “Tuhan akan menyertaimu sampai kapan pun , dimanapun dan dalam situasi apapun,” kata-katanya terulang.
Malam semakin larut, jam dinding menunjukkan pukul 00.10 sepanjang malam itu, pikiran sang gadis itu terfokus pada kata-kata istimewa bapa pastor. Dia tak sadar, matanya mulai sayup. Sedikit demi sedikit redup, lalu tertidur.
Gadis itu dibesarkan oleh ibu dan ayahnya hingga duduk di bangku SLTA kelas XII. Dia berjumpa dengan begitu banyak orang dengan keanekaragaman budaya dan keunikannya masing-masing. Dari keanekaragaman itu, dia kemudian berkembang dengan baik. Wawasannya diperkaya dengan aneka pelajaran dan pengalaman yang luar biasa, entah di sekolah, masyarakat, maupun dalam keluarga.
Tiba-tiba Senja mulai memudar direnggut malam. Saat itu, gadis itu kembali memenuhi undangan ranjang yang dipenuhi dengan aneka hiasan kupu-kupu kertas pada langit-langitnya. Dia baringkan badan mungilnya di atasnya; rambutnya yang terkulai panjang agak pirang diurainya di samping bahu kanannya. kehangatan dalam selimut membantu menghangatkan tubuhnya. Sedikit dipejamkan matanya dalam samar-samar nyala lampu tidur. Dalam gelap malam itu dia tenggelam dalam lamunannya.
Malam itu begitu dingin. udaranya membuat badan gadis itu kaku. Dalam lamunannya, dia berpikir bahwa dia adalah wanita yang beruntung. Dia saat ini berada dalam keluarga yang harmonis. Ayah dan ibunya sama-sama saling menyayangi dan memperhatikannya dengan serius dan penuh cinta. Dia dibesarkan dalam keluarga
yang luar biasa.
Tatkala dia merasa bahagia, Aulia demikian nama gadis kecil itu terus membayangkan dan mengingat perbincangan kedua orang tuanya, waktu dia masih berusia 10 tahun. Dari perbincangan itu, Aulia melihat bahwa ibunya wanita kuat dan tangguh. Ibunya sebenarnya menderita di balik tirai kebahagiaan itu. Aulia merasakan itu, ibunya selalu meneteskan air mata ketika, Aulia bahagia.
23 tahun yang lalu, Marta, Wanita paruh bayah itu, (ibu Aulia) adalah wanita yang menjadi korban kebejatan seorang lelaki Dulu, katanya ia pernah dilecehkan oleh pria tak bertanggungjawab yang adalah sahabatnya sendiri. Saat itu dia dipaksa melakukan hubungan seksual yang tak wajar. Dia saat itu mencoba untuk melawan,
tetapi ia tak dapat melarikan diri dari pria itu.
Di atas peraduan yang usang, dengan tangan dan kaki terikat, dengan mulut diperban, dia dilecehkan dan diperlakukan seperti binatang. Linangan air matanya mulai membanjiri pipinya. Harga dirinya sudah hancur. Hatinya yang suci itu tergores oleh tangan laki-laki yang tak bertanggungjawab. (Itu kisah yang ibu Matta kisahkan).
“Ibu, apakah salahmu sehingga engkau mengalami hal yang bejat itu? apakah karena para kaum lelaki memandang kita lemah? Apakah tak ada sedikitpun rasa bersalah dalam dirinya yang tega melukai dan meninggalkanmu dalam keadaan yang demikian?” tanya aulia dalam hatinya.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, Marta mengandung. Sempat, lelaki tak bertanggungjawab itu meminta marta untuk menggugurkan kandungannya. Tetapi, Marta mati-matian mempertahankan dan ingin sekali merawat dan membesarkan bayi yang dikandungnya, kendati hanya seorang diri saja. Pria itu kemudian pergi
meninggalkan dia karena belum siap menerima kehadiran bayi itu.
Marta adalah wanita yang hebat dan tangguh. Ia telah menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang kuat. Di dalam situasi sulit seperti itu, ia tidak pernah putus asa. Ia memiliki semangat dan keyakinan yang besar bahwa ‘setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya,’ Setiap hari dia selalu berdoa untuk pertumbuhan anaknya.
Saat bayinya dilahirkan, dia langsung memanggilnya dengan nama Aulia, yah bayi itu adalah gadis cantik yang kini sudah beranjak dewasa. Kata Marta ‘nama adalah tanda’. Aulia memberi tanda bahwa anaknya adalah anak yang suci. Rupanya Marta sangat mengharapkan bahwa bayi yang dia lahirkan itu menjadi anak yang suci,
rendah hati dan hidup baik.
Kala Aulia kecil, keadaannya sangat menyedihkan. Dia bertumbuh tidak seperti anak-anak lain pada umumnya. Badannya kurus nan kecil. Sementara, teman-teman bertumbuh dengan baik dan sehat. Dia memaklumi keadaan keluarga yang serba susah. Ibunya harus berdagang makanan ringan di emperan pertokoan demi menafkahi dirinya. Aulia pun kadang turut membantu ibunya di kala keadaan kesehatannya membaik. Jatuh sakit saat itu sudah biasa bagi Aulia. Mungkin itulah yang membuatnya saat ini menjadi pribadi yang kuat karena di saat-saat seperti itu, aku bisa bertahan dan tetap bertumbuh.
Saat Aulia beranjak dewasa, ibunya, marta, tak sungkan lagi menceritakan kisah kelamnya. “Nak, ibu ingin mengatakan sesuatu kepada mu, yang ibu sembunyikan darimu selama ini. Dulu, ibu pernah diperkosa oleh sahabat ibu sendiri!” jelas ibu. Aulia sebenarnya sudah tahu soal itu, tapi dia pura pura terkejut. Namun yang
membuat Aulia terkejut adalah saat itu menyangkut ayahnya.
“Saat ibu dilecehkan oleh sahabat ibu, ibu sebenarnya sudah bertunangan dengan ayahmu nak,” lanjut ibunya. Aulia terpaku dengan tatapan kosong, menangis. Sebab ia tahu bahwa ayahnya yang kini bukanlah ayah kandungnya.
“Kala itu Ayahmu putus asa dan sangat kecewa dengan ibu yang tak lagi murni. Namun, dia tetap menerima ibu, mencintai ibu dengan tulus, ia kemudian dapat menerima keadaan ibu apa adanya. Ia pun dengan tulus bersama ibu memelihara dan membesarkanmu seperti anak kandungnya sendiri” Kata marta sambil menangis terseduh-seduh.
Perjuangan bersama ternyata membuahkan hasil yang baik dan istimewa. Itulah yang dilakukan ayah dan ibu Aulia. Mereka sehati sejiwa, bahu membahu, berjuang merawat gadis suci yang tak berdosa itu. Dengan bercucuran keringat di bawah terik matahari, ia bekerja sebagai tukang bangunan. Perjuangannya tidaklah sia-sia. Di sela-sela, suka duka hidup, ia sama seperti ibu, tidak pernah mengelu. Ia tetap optimis dan tegar.
Doa menjadi ‘nafas’ dalam setiap perhentian perjuangan kedua orangtua Aulia. Di saat mereka mengalami tantangan, mereka selalu menyerahkan semuanya dalam penyelenggaraan Tuhan. Terutama, mereka memiliki devosi khusus dengan Santa Perawan Maria.
Di kesunyian bilik kecil di antara kamar Aulia dan kamar orangtuanya, di sanalah Bunda Maria bersama Putra-nya bersemayam. Benar, mukjizat itu memang benar-benar terjadi dalam setiap persoalan yang mereka hadapi. Terutama, pengalaman sepuluh tahun lalu, ketika aulia- gadis itu jatuh sakit berat. Ia mengidap penyakit Demam Berdarah dan dirawat di rumah sakit. Para petugas medis melayaninya secara intensif.
Perjuangan bersama ternyata membuahkan hasil yang baik dan istimewa. Itulah yang dilakukan ayah dan ibu Aulia. Mereka sehati sejiwa, bahu membahu, berjuang merawat gadis suci yang tak berdosa itu. Dengan bercucuran keringat di bawah terik matahari, ia bekerja sebagai tukang bangunan. Perjuangannya tidaklah sia-sia. Di sela-sela suka duka hidup, ia sama seperti ibu, tidak pernah mengeluh. Ia tetap optimis dan tegar.
Doa menjadi ‘nafas’ dalam setiap perhentian perjuangan kedua orangtua Aulia. Di saat mereka mengalami tantangan, mereka selalu menyerahkan semuanya dalam penyelenggaraan Tuhan. Terutama, mereka memiliki devosi yang khusus dengan Santa Perawan Maria. Dalam kesunyian bilik kecil di antara kamar Aulia dan kamar orangtuanya, di sanalah Bunda Maria bersama Putra-nya bersemayam. Benar, mukjizat itu memang benar-benar terjadi dalam setiap persoalan yang mereka hadapi. Terutama, pengalaman sepuluh tahun lalu, ketika aulia-gadis itu jatuh sakit berat. Dia mengidap penyakit Demam Berdarah dan dirawat di rumah sakit. Para petugas medis melayaninya secara intensif.
Aulia bangga akan teladan yang telah orangtuanya tunjukkan kepadanya selama ini. Walaupun banyak bekerja dalam diam, mereka sungguh luar biasa bagi ku” tegas Aulia. Dari mereka, dia mampu belajar banyak hal terutama tentang arti penderitaan. Penderitaan ternyata sarat akan makna yang mendalam” tambahnya.
Saat itulah Aulia mengerti apa artinya kutipan dari pastor saat misa pagi itu “Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkanmu, melainkan Ia akan menyertaimu sampai kapan pun, dimanapun dan dalam situasi apapun,” ia sadar bahwa Tuhan pasti selalu menyertainya kapanpun dan di manapun dia berada, sebab Tuhan itu
Mahacinta. Dia juga sadar, bahwa Tuhan hadir melalui ibu dan ayahnya yang setia berjuang membesarkan dan merawatnya
“Ayah ibu Terimakasih, kalian adalah pahlawanku”
Yuliani Tetin Naban merupakan Anggota Kelompok Tulis SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo
Komentar