Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah manifestasi kasih bumi kepada manusia, karena nutrisi yang tepat bukan hanya mengenyangkan perut, tetapi juga menyuburkan otak yang merupakan organ paling vital dalam merawat kehidupan.

Dalam pandangan neuroscience, asupan gizi seimbang sejak dini membentuk struktur otak yang sehat, memperkuat memori dan meningkatkan kapasitas berpikir kritis, kreatif serta empati.

Maka, menyediakan makanan bergizi bagi semua ibu hamil dan anak-anak adalah panggilan nurani kolektif untuk menciptakan umat manusia yang mampu menjaga planet bumi sebagai rumah bersama dengan akal yang tercerahkan dan jiwa yang peduli.

Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, disinformasi digital dan ketimpangan sosial, bangsa yang otaknya sehat adalah bangsa yang siap merespons dengan bijak dan penuh empati.

Maka, membiasakan makanan otak bukan hanya soal nutrisi, tetapi juga soal membangun masa depan bersama yang lebih cerdas dan manusiawi ekologis demi kebahagiaan berkelanjutan.

Paus Fransiskus, dalam semangat ensiklik ‘Laudato Si’, menyerukan kepada umat manusia untuk meninggalkan pola konsumsi yang rakus dan merusak, serta beralih pada gaya hidup yang sederhana, penuh kesadaran, dan selaras dengan bumi sebagai rumah bersama.

Konsumsi yang rakus bukan hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga mengganggu “otak bumi”, yakni keseimbangan ekologi dan kebijaksanaan kolektif yang menopang keberlangsungan kehidupan.

Dalam perspektif spiritual dan ekologis, konsumsi bijak berarti memilih makanan dan sumber daya dengan cinta, tanggung jawab, serta kepedulian terhadap sesama makhluk dan generasi yang akan datang.

Maka, menjaga otak bumi adalah juga menjaga otak manusia, melalui pilihan hidup yang tidak hanya mengenyangkan tubuh, tetapi juga menyuburkan akal dan nurani.

Krisis Otak Manusia

Menurut Lisa Mosconi, krisis global saat ini sejatinya adalah krisis otak manusia, yang berakar pada pola hidup dan pola makan modern yang semakin menjauh dari ritme biologis dan kebutuhan neurologis kita.

Dalam masyarakat yang diliputi stres kronis, paparan digital berlebih dan konsumsi makanan ultra-proses yang miskin nutrisi, otak manusia mengalami kemunduran struktural dan fungsional, terlihat dari meningkatnya gangguan kognitif, penurunan daya ingat, hingga epidemi penyakit neurodegeneratif.

Mosconi menekankan bahwa otak bukan hanya dipengaruhi oleh genetika, tetapi sangat ditentukan oleh lingkungan dan asupan makanan minuman harian kita.

Maka, untuk menyembuhkan planet bumi, kita perlu mulai dari menyembuhkan otak—dengan kembali ke pola makan alami, tidur yang cukup, dan hidup yang selaras dengan tubuh serta alam.

Dalam suara lembut namun tegas dari ilmu dan nurani, Lisa Mosconi menyerukan panggilan bagi umat manusia untuk kembali merawat otaknya, pusat kesadaran, ingatan, dan kemanusiaan kita dengan makanan yang sejati, bukan sekadar diet penahan lapar atau ritual matiraga demi tubuh ramping.

Dalam pandangannya yang berakar pada neuroscience dan nutrisi, Mosconi menegaskan bahwa krisis kesehatan otak global bukan hanya tentang penyakit neurodegeneratif, tapi juga krisis kesadaran akan hubungan mendalam antara apa yang kita makan dan siapa kita sebagai makhluk berpikir.

Ia mengajak kita untuk melihat makan sebagai bentuk penghormatan pada otak, organ yang paling membutuhkan keseimbangan, bukan ekstrem.

Makanan yang kaya akan omega-3, antioksidan, vitamin, dan mineral bukan hanya memperpanjang umur pikiran, tapi juga menjaga integritas jiwa kita sebagai penjaga bumi dan sesama.

Ini bukan sekadar saran ilmiah, tapi sebuah panggilan spiritual untuk kembali selaras dengan ritme alami tubuh dan alam.

Makanan Manis dan Berlemak

Di balik manis dan gurihnya makanan bergula dan berlemak tersembunyi dampak yang dalam terhadap otak kita.

Konsumsi berlebihan terhadap makanan tinggi gula dan lemak dapat memengaruhi fungsi kognitif melalui berbagai mekanisme neurobiologis.

Salah satunya adalah perubahan pada mikrobiota usus yang berperan dalam metabolisme neurotransmiter, yang pada gilirannya memengaruhi fungsi otak.

Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa diet tinggi gula dan lemak dapat merusak keseimbangan mikrobiota usus, mengubah metabolisme neurotransmiter, dan menyebabkan perubahan pada fungsi otak serta profil RNA sirkuler otak.

Selain itu, diet tinggi lemak juga dapat memengaruhi kesehatan kognitif dengan mengubah komponen neuronal dan vaskular otak.

Studi menunjukkan bahwa konsumsi diet tinggi lemak dapat menyebabkan perubahan pada komponen neuronal dan vaskular otak, yang berhubungan dengan peningkatan risiko perkembangan penyakit Alzheimer.

Perubahan ini dapat memengaruhi integritas dan fungsi hippocampus, area otak yang penting untuk memori dan pembelajaran.

Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2023, “Ultra-Processed People,” Chris van Tulleken mengungkapkan bagaimana makanan olahan ultra (UPF) dapat memengaruhi kesehatan otak.

Van Tulleken mengidentifikasi bahwa UPF dapat merusak kesehatan kita, berkontribusi pada obesitas, diabetes, masalah mikrobioma usus, dan dampak lingkungan.

Ia juga menyoroti bagaimana motif keuangan industri makanan, didukung oleh ilmuwan yang berkompromi dan penelitian yang menyesatkan, telah menciptakan narasi palsu yang menyalahkan pilihan gaya hidup, bukan produk makanan itu sendiri.

Dr. Lisa Mosconi, seorang ahli saraf dan nutrisi, dalam bukunya “Brain Food: The Surprising Science of Eating for Cognitive Power,” menekankan pentingnya pola makan sehat untuk kesehatan otak.

Mosconi memberikan panduan praktis berdasarkan penelitian ilmiah untuk meningkatkan fungsi kognitif dan mencegah penurunan kognitif melalui diet yang tepat.

Dengan memahami dampak makanan bergula dan berlemak terhadap otak, kita dapat membuat pilihan yang lebih baik untuk menjaga kesehatan kognitif kita.

Penting untuk menyadari bahwa apa yang kita konsumsi tidak hanya memengaruhi tubuh secara fisik, tetapi juga fungsi otak kita. Melalui pendekatan yang lebih sadar terhadap pola makan, kita dapat mendukung kesehatan otak dan kualitas hidup yang lebih baik.

Brain Food

Lisa Mosconi, seorang ahli saraf dan nutrisi dari Weill Cornell Medical College, dalam bukunya Brain Food: The Surprising Science of Eating for Cognitive Power, menyoroti hubungan erat antara apa yang kita makan dengan fungsi otak kita.

Ia mengemukakan bahwa otak, meskipun hanya mewakili sekitar 2% dari berat tubuh, mengonsumsi lebih dari 20% energi tubuh.

Maka, kualitas bahan bakar yang kita berikan menjadi krusial.

Mosconi menunjukkan bahwa makanan ultra-proses dan tinggi lemak jenuh dapat mempercepat penuaan otak dan meningkatkan risiko penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer, sementara makanan alami yang kaya antioksidan, vitamin, dan lemak sehat justru memperkuat jaringan otak dan memperbaiki fungsi kognitif.

Secara praktis, Mosconi menyarankan diet bergaya Mediterania sebagai pola makan terbaik untuk mendukung kesehatan otak.

Ini meliputi konsumsi tinggi buah-buahan, sayuran hijau, kacang-kacangan, biji-bijian utuh, ikan berlemak seperti salmon dan sarden (kaya omega-3), serta minyak zaitun extra-virgin sebagai sumber lemak utama.

Produk susu fermentasi seperti yogurt, dan konsumsi teh hijau atau kopi dalam batas wajar juga disebut memberikan efek protektif terhadap fungsi otak.

Di sisi lain, ia menyarankan untuk membatasi makanan cepat saji, daging olahan, gula tambahan, dan minyak nabati olahan yang tinggi asam lemak omega-6.

Untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada anak-anak dan remaja, Mosconi menekankan pentingnya makanan yang membantu pembentukan mielin (lapisan pelindung saraf) dan sinaptogenesis (pembentukan koneksi antar neuron).

Nutrisi penting seperti kolin (yang banyak ditemukan dalam telur), zat besi, zinc, serta vitamin B kompleks, harus dipenuhi secara cukup.

Mosconi juga mengingatkan pentingnya hidrasi yang cukup, air berperan langsung dalam mempertahankan konsentrasi dan aliran darah ke otak.

Dengan kata lain, pola makan bukan hanya tentang menjaga tubuh langsing, tapi lebih dalam adalah merawat pusat kendali seluruh hidup kita.

Dalam Brain Food: The Surprising Science of Eating for Cognitive Power, Lisa Mosconi memadukan ilmu saraf dan nutrisi untuk mengungkap bagaimana pola makan memengaruhi struktur dan fungsi otak secara langsung.

Ia menjelaskan bahwa otak manusia, sebagai organ yang sangat metabolik, membutuhkan pasokan nutrisi spesifik—seperti asam lemak omega-3, antioksidan, vitamin B kompleks, kolin, dan zat besi, untuk mendukung plastisitas sinaptik, produksi neurotransmiter, dan perlindungan terhadap stres oksidatif.

Mosconi menekankan pentingnya menghindari makanan ultra-proses, lemak trans, dan gula tambahan karena dapat merusak jaringan otak dan mempercepat penuaan kognitif.

Melalui pendekatan berbasis sains, ia mendorong adopsi pola makan alami dan bergizi, seperti diet Mediterania, yang secara empiris terbukti mampu meningkatkan daya ingat, fokus, serta menurunkan risiko gangguan neurodegenerative, sebuah strategi makan cerdas untuk mempertajam pikiran di setiap tahap kehidupan.

Kebangkitan Otak Bangsa

Makan bergizi gratis bukan sekadar program populis atau janji kampanye yang menghiasi baliho dan layar kaca menjelang pemilu.

Ia adalah kebutuhan dasar yang menyentuh inti kemanusiaan: hak untuk hidup sehat, berpikir jernih, dan tumbuh dengan martabat.

Dalam konteks Indonesia, sebuah negeri kaya sumber daya namun masih digerogoti stunting, gizi buruk, dan ketimpangan sosial, ketersediaan makanan bergizi untuk semua adalah fondasi kebangkitan bangsa.

Ketika anak-anak mengisi hari-harinya dengan perut kenyang oleh gizi seimbang, bukan hanya tubuh mereka yang tumbuh, tapi juga sinaps-sinaps di otak mereka yang mekar, menyambut masa depan dengan kecerdasan.

Lisa Mosconi, pakar neuroscience dan nutrisi, menegaskan bahwa otak manusia adalah organ paling sensitif terhadap kualitas makanan yang dikonsumsi.

Artinya, menyediakan makanan bergizi secara gratis bukan hanya kebijakan ekonomi atau sosial, tetapi juga intervensi neurologis massal.

Ini adalah investasi jangka panjang pada sistem saraf kolektif bangsa. Karena dengan gizi yang cukup, anak-anak Indonesia bukan hanya akan mampu menyerap pelajaran, tapi juga menjadi kreator, inovator, dan pemimpin yang mampu melihat dunia dengan visi yang jernih dan penuh empati.

Lebih dari itu, menyediakan makan bergizi gratis adalah panggilan spiritual yang dalam.

Ia adalah bentuk bela rasa nasional kepada generasi yang lahir di tengah krisis iklim, ketidakpastian global, dan perubahan sosial yang cepat.

Dalam setiap piring yang terisi sayur segar, protein nabati dan hewani, serta karbohidrat kompleks, tertanam harapan akan masa depan yang lebih baik.

Kita tak hanya memberi makanan, tapi juga menanam nilai bahwa bangsa ini peduli, bahwa negara hadir, dan bahwa setiap anak adalah aset langka yang harus dijaga dengan kasih sayang.

Ketika gizi yang baik menjadi hak dan bukan privilese, kita sedang mempersiapkan otak-otak Indonesia untuk berdaya secara kolektif.

Otak yang sehat akan melahirkan pemikiran sehat: kebijakan yang berpihak pada bumi, gaya hidup yang berkelanjutan, dan inovasi yang menjawab tantangan zaman.

Sebab bumi tidak akan dirawat oleh manusia yang pikirannya tumpul karena kekurangan zat besi, omega-3, atau vitamin B kompleks.

Planet ini hanya bisa dijaga oleh mereka yang berpikir tajam, merasa dalam, dan bertindak dengan penuh kesadaran.

Makan bergizi gratis juga menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya konsumsi instan dan makanan ultra-proses yang kini merajalela di kantin sekolah, warung pinggir jalan, hingga dapur rumah tangga.

Dalam makanan bergizi, kita mengajarkan anak-anak kembali ke akar: mengenal bahan lokal, menghargai proses tanam, dan memahami jejak ekologis dari setiap suap yang masuk ke mulut. Ini adalah pendidikan lingkungan yang dimulai dari meja makan.

Jika hari ini kita menanam makan bergizi gratis sebagai kebijakan, kelak kita akan menuai generasi yang tidak hanya cerdas di kelas, tetapi juga arif di alam.

Mereka akan memahami bahwa menjaga sungai berarti menjaga air minum, bahwa merawat hutan berarti menjaga sumber pangan, dan bahwa bumi bukan warisan nenek moyang, tapi titipan untuk cucu cicit. Otak yang diberi makan dengan benar akan membaca dunia dengan benar pula.

Oleh karena itu, makan bergizi gratis bukan hanya janji politik. Ia adalah doa yang diwujudkan dalam tindakan nyata, seruan spiritual bangsa kepada dirinya sendiri agar tidak melupakan akarnya.

Dalam setiap sajian yang bergizi ada benih kecerdasan, cinta kasih, dan keberlanjutan. Karena Indonesia yang tercerahkan hanya mungkin lahir dari anak-anak yang otaknya diberi makan dengan layak—dan bumi yang selamat hanya mungkin dijaga oleh mereka yang diberi kesempatan untuk tumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Kolaborasi Multipihak

Konsep brain food— makanan yang mendukung kesehatan dan fungsi optimal otak—tidak cukup hanya dikenalkan di ruang akademik atau klinik kesehatan.

Ia harus dijadikan kebiasaan, budaya baru yang ditanam sejak dini dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi holistik dan lintas sektor antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Otak anak-anak, remaja, dan dewasa muda sedang berada dalam fase pembentukan paling penting, dan asupan makanan bernutrisi tinggi seperti sayuran hijau, ikan berlemak, kacang-kacangan, buah beri, dan biji-bijian harus hadir di meja makan setiap hari.

Di tingkat keluarga, orang tua menjadi ujung tombak pengenalan dan pembiasaan makanan otak.

Dengan memberikan contoh pola makan sehat, melibatkan anak dalam memilih dan memasak makanan bernutrisi, serta membangun suasana makan yang hangat dan penuh kasih, keluarga menjadi ruang pertama pendidikan gizi yang menyentuh jiwa.

Menyediakan pilihan sehat bukan berarti mahal, tapi cerdas memilih sumber makanan lokal yang kaya manfaat. Keteladanan dan konsistensi menjadi kunci agar anak-anak tumbuh dengan pemahaman bahwa makan sehat bukan kewajiban, melainkan gaya hidup yang menyenangkan.

Di sekolah, peran guru dan lingkungan pembelajaran sangat penting untuk memperkuat pesan yang dibangun di rumah.

Program kantin sehat, edukasi gizi dalam kurikulum, serta aktivitas tematik seperti kebun sekolah atau kelas memasak bisa membumikan konsep brain food dengan cara yang interaktif dan menyenangkan.

Sekolah juga menjadi tempat efektif untuk menjangkau anak-anak dari berbagai latar belakang sosial, memastikan bahwa pesan tentang pentingnya makanan sehat diterima secara merata dan berkeadilan.

Ketika nutrisi menjadi bagian dari pendidikan karakter, anak-anak belajar bahwa merawat otak juga berarti merawat masa depan mereka.

Masyarakat, melalui lembaga swadaya, pemerintah daerah, dan komunitas lokal, berperan dalam menciptakan ekosistem pendukung yang memudahkan akses terhadap makanan sehat.

Kampanye publik, pelatihan kader posyandu, penyediaan bahan makanan lokal berkualitas dengan harga terjangkau, hingga regulasi iklan makanan untuk anak, semuanya adalah bagian dari strategi sistemik.

Ketika pasar tradisional, restoran, dan warung makan turut menghadirkan opsi yang mendukung kesehatan otak, kita sedang membangun peradaban makan yang lebih sadar dan berkelanjutan.

Dengan kolaborasi menyeluruh antara keluarga, sekolah, dan masyarakat, brain food tidak lagi menjadi konsep elit atau tren sesaat, melainkan budaya hidup bangsa.

Pola makan yang mendukung kognisi akan menciptakan generasi dengan daya pikir jernih, emosi stabil, dan kapasitas kepemimpinan yang kuat.

Di tengah tantangan global seperti perubahan iklim, disinformasi digital, dan ketimpangan sosial, bangsa yang otaknya sehat adalah bangsa yang siap merespons dengan bijak dan penuh empati.

Maka, membiasakan makanan otak bukan hanya soal nutrisi, tetapi juga soal membangun masa depan bersama yang lebih cerdas dan manusiawi.