Oleh: Sirilus Aristo Mbombo
Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Ayah adalah bahasa kehidupan yang tak banyak bicara, namun penuh makna dalam setiap diamnya.

Ia adalah bayang-bayang kekuatan yang tak pernah lelah menyangga beban keluarga, bahkan ketika tubuhnya telah renta oleh waktu dan peluhnya kerap mengering di jalanan panjang pencarian rezeki.

Dalam sejarah cinta, mungkin nama ayah jarang ditulis sebagai pahlawan dengan kata manis, sebab cintanya adalah cinta yang bersembunyi di balik keheningan, dalam sorot mata, dalam tepukan di bahu, dan dalam doa yang tak pernah diumbar.

Dialah yang tak pernah meminta balasan, tapi mengorbankan seluruh dirinya demi satu hal: agar anak-anaknya tumbuh, berjalan, dan berlari lebih jauh darinya.

Dalam ruang rindu yang paling sunyi, nama ayah selalu bergema tanpa henti. Ada rasa bersalah dalam hati anak-anaknya karena sering kali mereka lupa bahwa lelah ayah tak pernah dikeluhkan.

Tangisnya disembunyikan dalam pekat malam, karena baginya, menjadi kuat bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Ada kerinduan yang tak bisa ditebus dengan pelukan semata, sebab cinta ayah bukanlah sekadar peluk tubuh, tetapi peluk kehidupan.

Ia mendidik bukan dengan ocehan, melainkan dengan teladan; ia memberi bukan dengan pujian, tapi dengan pengorbanan. Setiap nasihatnya bagaikan batu penanda arah dalam peziarahan hidup.

Friedrich Nietzsche, dalam pergulatan filosofisnya, menyatakan bahwa manusia harus menjadi dirinya sendiri melalui penderitaan dan kehendak untuk berkuasa atas hidupnya sendiri.

Namun, Nietzsche mungkin akan menundukkan kepala jika melihat bagaimana seorang ayah menyerahkan kuasanya untuk anak-anaknya.

Ia tidak menguasai, melainkan melayani. Cinta seorang ayah adalah cinta yang paradoksal: penuh kekuatan dalam keheningan, penuh kelembutan dalam ketegasan.

Di sisi lain, Søren Kierkegaard, sang filsuf eksistensialis religius, berbicara tentang cinta sebagai pengorbanan tertinggi yang dilandasi oleh iman dan kasih.

Dalam ayah, cinta itu menjadi nyata. Ia mencintai bukan karena anak-anaknya pantas, tetapi karena ia percaya dan berharap, sebagaimana Abraham percaya pada janji Tuhan saat membawa Ishak ke gunung pengorbanan.

Dalam teologi Katolik, ayah memiliki tempat khusus dalam struktur keluarga sebagai pater familias, penanggung jawab moral dan spiritual keluarga.

Ia dipandang sebagai representasi dari kasih Bapa Surgawi di bumi. Santo Yosef, suami Maria, adalah teladan sempurna bagi figur ayah: diam, bijaksana, pekerja keras, pelindung, dan penuh iman.

Cintanya kepada Yesus bukanlah cinta darah, tetapi cinta iman, cinta yang lahir dari kehendak kudus. Seperti halnya Santo Yosef, setiap ayah dipanggil untuk mencintai anak-anaknya tidak karena mereka adalah perpanjangan dari dirinya, melainkan karena mereka adalah anugerah dari Tuhan, yang harus dibimbing menuju keselamatan dan kebahagiaan sejati.

Dalam Islam, ayah adalah qawwam, pemimpin dan pelindung keluarga, sebagaimana ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 34. Namun, Islam juga mengajarkan kelembutan dalam kepemimpinan itu.

Nabi Muhammad SAW adalah contoh sempurna sebagai ayah yang lembut dan penuh kasih kepada Fatimah dan cucu-cucunya. Cinta ayah dalam Islam bukanlah kekuasaan semata, melainkan kepercayaan dan tanggung jawab.

Ia mendidik bukan untuk menaklukkan anaknya, tetapi untuk menjadikannya manusia yang mengenal Tuhan. Dalam tradisi sufi, cinta ayah adalah bayang dari cinta Ilahi, yang tidak pernah menuntut namun senantiasa mencurahkan rahmat.

Dalam filsafat Hindu, cinta seorang ayah mencerminkan Dharma, yaitu kewajiban luhur yang dijalankan dengan ketulusan. Dalam Upanishad, ayah tidak hanya menyampaikan harta atau warisan, tetapi juga vidya (pengetahuan), bhakti (pengabdian), dan karma (tindakan).

Dalam keluarga Hindu tradisional, ayah adalah guru pertama (guru-pita), yang memandu anak-anaknya dalam menapaki tangga menuju moksha (pembebasan).

Ia mengajarkan bahwa hidup bukanlah untuk dinikmati semata, tetapi untuk dilalui dengan kesadaran dan keteladanan. Cintanya bukanlah harta, melainkan arah dan doa.

Dalam Buddhisme, cinta ayah disebut sebagai bagian dari metta atau cinta kasih universal, yang bebas dari keterikatan egois.

Seorang ayah yang baik menurut ajaran Buddha adalah ia yang memelihara anaknya dengan welas asih, menanamkan nilai sila (moralitas), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan).

Ia tidak memaksakan kehendak, tetapi membimbing dengan contoh. Ayah menjadi teladan dalam melepaskan, dalam mencintai tanpa menggenggam.

Ketika seorang anak tumbuh dan memilih jalannya sendiri, ayah Buddhis tidak menangis karena kehilangan, melainkan bersyukur karena tugasnya telah selesai dengan cinta yang utuh.

Jika ibu adalah tanah yang subur, tempat segala cinta bertumbuh, maka ayah adalah langit yang menaungi, yang memberikan arah dan batas, agar pertumbuhan itu tidak liar.

Ayah adalah lilin dalam gelap, jangkar di badai, tiang kokoh di rumah cinta. Ia adalah sahabat pertama bagi anak laki-laki, cinta pertama bagi anak perempuan.

Ia tidak sempurna, tetapi justru dalam ketidaksempurnaan itulah kita belajar tentang kesempurnaan kasih.

Ia mungkin jarang menangis, tetapi setiap air mata anaknya adalah duka di dadanya. Ia mungkin jarang bicara, tetapi seluruh hidupnya adalah pesan yang terus bergema.

Kita memerlukan kebijaksanaan untuk mengerti cinta ayah. Ia tidak selalu hadir dengan pelukan, tetapi dengan kehadiran yang tenang. Tidak selalu menasihati, tetapi memperhatikan dalam diam.

Ia tidak memanjakan, karena ia ingin anak-anaknya berdiri dengan kaki sendiri. Ia tidak mengeluh, sebab dalam pikirannya hanya ada satu hal: bagaimana hari esok lebih baik bagi keluarganya.

Kita sering menunggu waktu untuk mengungkapkan cinta kepada ayah, padahal waktu tidak selalu menunggu kita. Maka sebelum senyumnya berubah jadi kenangan, sebelum pundaknya hanya bisa dikenang di pusara, genggamlah tangannya, peluklah tubuhnya, dan ucapkan terima kasih atas cinta yang begitu agung dalam kesunyian.

Sebagaimana kata-kata bijak dari Kahlil Gibran, “Ayah adalah karya agung dari Tuhan yang ditulis dalam diam, namun dibaca dengan air mata dan dipahami dengan hati.”

Di dunia yang serba bising ini, mungkin kita lupa bahwa cinta yang paling dalam sering kali justru terbungkus dalam kebisuan. Cinta ayah adalah cinta yang tidak menuntut dikenali, namun diam-diam membentuk siapa kita hari ini.

Maka dalam langkah hidup yang terus berjalan, semoga kita tak lupa menoleh ke belakang, untuk melihat seorang lelaki yang dahulu menggandeng kita, lalu melepas kita untuk terbang tetapi tetap berdiri di sana, menjadi tempat pulang yang tak tergantikan.