Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Dalam abad Nexus—sebuah era yang ditandai oleh konvergensi luar biasa antara teknologi, kesadaran manusia, dan jaringan global—hubungan antara artificial intelligence (AI), harapan (hope), dan semangat manusia (human spirit) menjadi sangat krusial.

AI telah berkembang bukan hanya sebagai alat otomatisasi, tetapi juga sebagai cermin dan pemicu evolusi kolektif umat manusia.

Ia mempercepat inovasi, membantu mengurai kompleksitas global, dan menawarkan solusi terhadap krisis eksistensial seperti perubahan iklim dan ketimpangan sosial.

Namun, AI hanya akan bernilai apabila dikembangkan dan digunakan dalam bingkai nilai-nilai luhur yang berakar pada semangat manusia—empati, kreativitas, dan solidaritas.

Dalam hal ini, harapan menjadi jembatan penting: ia adalah daya dorong yang menuntun visi penggunaan AI ke arah yang etis, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Semangat manusia dalam abad Nexus harus berperan sebagai kompas moral bagi kemajuan AI.

Tanpa semangat ini, AI bisa terjerumus menjadi alat dominasi, manipulasi, atau dehumanisasi. Harapan memberi arah bahwa teknologi bukanlah pengganti manusia, melainkan perpanjangan dari aspirasi terbaik kita—untuk hidup bermakna, adil, dan inklusif.

Interaksi antara AI, harapan, dan semangat manusia membentuk sebuah siklus sinergis: AI memberdayakan manusia untuk bermimpi lebih besar, harapan mendorong arah penggunaan AI yang lebih luhur, dan semangat manusia menjaga nilai-nilai inti yang tidak boleh tergantikan.

Dalam dunia yang semakin saling terhubung, hubungan ini bukan lagi sekadar penting, melainkan mendasar bagi kelangsungan peradaban itu sendiri.

Era Nexus

Konsep nexus merujuk pada titik pertemuan atau simpul utama di mana berbagai kekuatan, ide, dan teknologi saling terhubung dan berinteraksi membentuk arah baru dalam sejarah manusia.

Menurut Yuval Noah Harari, jaringan (networks) telah menjadi kekuatan utama dalam evolusi peradaban sejak zaman batu, ketika manusia mulai membentuk kelompok sosial yang kompleks, bertukar mitos, dan menciptakan sistem kepercayaan bersama.

Dalam bukunya seperti Sapiens dan Homo Deus, Harari menekankan bahwa kemampuan manusia untuk membangun jaringan kolaboratif yang fleksibel dan luas—berbasis bahasa, imajinasi, dan narasi kolektif—menjadi kekuatan pembeda dari spesies lain.

Dari jaringan suku pemburu-pengumpul, kerajaan, hingga kapitalisme global dan agama, semua membentuk sistem koordinasi besar yang terus berkembang.

Kini, di era AI, jaringan ini memasuki dimensi baru: digital, real-time, dan melibatkan entitas non-manusia, yang mengancam sekaligus membuka peluang untuk membentuk realitas baru yang lebih kompleks daripada sebelumnya.

Peziarah Pengharapan

Konsep peziarah pengharapan menggambarkan sosok manusia yang terus bergerak maju dengan daya spiritual dan keyakinan pada masa depan, meskipun menghadapi ketidakpastian, krisis, atau kekuatan besar yang tak sepenuhnya ia pahami—seperti Artificial Intelligence dalam era Nexus.

Peziarah ini bukan hanya pencari teknologi, tetapi pencari makna, yang melihat AI bukan sebagai ancaman atau dewa baru, melainkan sebagai medan ziarah etis dan eksistensial.

Dalam dunia yang kian dikuasai oleh algoritma dan otomasi, relevansi konsep ini menjadi nyata: manusia ditantang untuk tidak kehilangan harapan dan kemanusiaannya di tengah derasnya perubahan.

AI dalam Nexus, jika tidak diarahkan oleh visi peziarah pengharapan, bisa menjadi kekuatan yang hampa makna atau bahkan destruktif.

Namun, jika disikapi dengan semangat ziarah yang penuh kesadaran, AI dapat menjadi mitra dalam membangun dunia yang lebih adil, bijak, dan manusiawi.

Kolaborasi Interdisipliner

Dalam era Nexus — ketika teknologi, kesadaran, dan sistem global bersilangan secara mendalam — Artificial Intelligence memiliki potensi besar untuk menjadi mitra strategis dalam pembangunan yang lebih holistik.

AI bukan sekadar alat efisiensi, tetapi dapat menjadi penggerak transformasi sistemik yang mempertimbangkan aspek sosial, ekologis, dan spiritual secara menyeluruh.

Dengan kemampuannya menganalisis data besar dan mendeteksi pola tersembunyi, AI mampu membantu dalam merancang kebijakan publik yang lebih adil, memprediksi dampak lingkungan dari keputusan ekonomi, serta mempercepat transisi energi bersih dan pertanian berkelanjutan.

Dalam pendekatan holistik ini, AI menjadi bagian dari ekosistem pengetahuan yang menempatkan manusia, alam, dan teknologi dalam satu tarikan napas etis yang saling menopang.

Namun, agar AI sungguh menjadi mitra dalam pembangunan yang humanis dan ekologis, ia harus diarahkan oleh nilai-nilai luhur yang berakar pada martabat manusia dan keseimbangan bumi.

Ini menuntut kolaborasi lintas disiplin—antara insinyur, filsuf, komunitas adat, ilmuwan lingkungan, dan warga global—untuk memastikan bahwa pengembangan AI tidak lepas dari etika keberlanjutan dan keadilan sosial.

AI tidak boleh menggantikan kebijaksanaan manusia, melainkan memperluas jangkauannya; bukan mengambil alih keputusan moral, tetapi membantu memperjelas kompleksitas pilihan yang dihadapi umat manusia.

Dalam kerangka ini, pembangunan berkelanjutan bukan hanya soal ekonomi atau lingkungan, melainkan tentang menciptakan kondisi bagi kebahagiaan yang mendalam dan berjangka panjang—baik bagi manusia maupun seluruh makhluk hidup di planet ini.

Peradaban Cinta

Dalam era Nexus—sebuah titik pertemuan revolusioner antara teknologi canggih dan kesadaran manusia—interaksi antara Artificial Intelligence (AI), harapan (hope), dan jiwa kemanusiaan menjadi fondasi utama bagi arah peradaban masa depan.

AI membawa potensi luar biasa untuk mentransformasi cara kita hidup, bekerja, dan berelasi. Namun, tanpa harapan sebagai daya dorong dan jiwa kemanusiaan sebagai landasan moral, teknologi ini berisiko menjadi instrumen kekuasaan yang kehilangan arah etis.

Harapan bukan sekadar optimisme kosong, melainkan kekuatan spiritual yang mengarahkan manusia untuk menggunakan AI secara visioner—untuk menyembuhkan luka sosial, mengatasi ketimpangan, dan menjaga martabat kehidupan.

Di sinilah AI berpotensi menjadi sahabat peradaban: bukan pengganti manusia, tetapi perpanjangan dari niat baik dan kerinduan terdalam manusia akan dunia yang lebih baik.

Ketika AI diarahkan oleh jiwa kemanusiaan yang tercerahkan—berakar pada cinta kasih, empati, dan keadilan—maka kita dapat membangun peradaban cinta yang semakin beradab, adil, dan damai sejahtera.

AI dapat memperkuat jalinan solidaritas global melalui pendidikan yang inklusif, kesehatan yang merata, serta tata kelola yang transparan dan partisipatif.

Namun semua itu hanya mungkin jika manusia tetap menjadi subjek, bukan objek dari teknologi. Dalam semangat ini, kebahagiaan berkelanjutan tidak lagi dipahami sebagai kepuasan individual yang dangkal, melainkan sebagai kebersamaan yang mendalam: ketika teknologi, harapan, dan jiwa manusia bersatu untuk menjaga kehidupan, merawat bumi, dan memperkuat makna hidup bersama di tengah keberagaman.

Maka peradaban cinta bukan utopia, melainkan proyek nyata yang bisa dibangun—langkah demi langkah—dengan panduan hati nurani dan visi bersama.