Kupang. VoxNTT.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menilai bahwa pengembangan proyek geotermal di wilayah tersebut berpotensi menggagalkan program hilirisasi non-tambang yang sedang digalakkan oleh Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena.
Program hilirisasi non-tambang ini merupakan bentuk investasi yang menjadi fokus utama Gubernur bersama Wakil Gubernur dalam upaya meningkatkan sektor perekonomian di NTT.
Program ini memprioritaskan pengelolaan produk-produk lokal dari bahan mentah menjadi setengah jadi, dengan menggerakkan sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan pariwisata.
Namun menurut Walhi, keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada terjaganya kondisi sosial dan ekologi yang sehat di NTT.
Direktur Walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengatakan, proyek geothermal dapat membawa dampak buruk bagi kondisi ekologis di NTT, merusak tanah dan air, lingkungan sosial, budaya, spiritual dan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Itu sudah terbukti di Mataloko, Kabupaten Ngada, akibat kesalahan yang dibuat pemerintah pusat, gubernur yang sekarang menanggung beban ekologis yang lebih besar,” tutur Umbu Wulang usai audiensi dengan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM di Gedung Sasando, Kupang, Senin, 28 April 2025.
Ia mengatakan, untuk konteks geothermal Poco Leok, Kabupaten Manggarai saat ini masyarakat Poco Leok sedang mengeluh adanya pengurangan debit air sejak Ulumbu beroperasi.
Demikian dengan hasil pertanian seperti kopi, cengkeh, vanili sangat menurun dari tahun ke tahun.
Karena itu, kata Umbu Wulang, program hilirisasi non tambang Gubernur NTT tidak akan berjalan dengan baik sepanjang kebijakan pengembangan proyek geothermal terus dilakukan.
Saat ini sebanyak 28 titik potensial pengembangan proyek geothermal yang akan dilakukan di NTT, yakni tersebar di Pulau Flores-Lembata sebanyak 21 titik, Pulau Alor sebanyak 6 titik dan Kabupaten Kupang 1 titik.
Umbu Wulang berkata bahwa pengembangan proyek geothermal ini merupakan sikap pemaksaan kehendak yang dilakukan Kementrian ESDM dan PLN yang bernuansa mental orde baru dan tidak menghormati mandat reformasi.
“Bayangkan saja ESDM mengeluarkan kebijakan tanpa permisi ke rakyat NTT dan selanjutnya mereka datang mengimingi warga lokal serta mengabaikan hak tolak rakyat atas kebijakan geotermal,” ungkap Umbu Wulang.
Ia menambahkan, publik NTT akan terus melakukan pengawasan terhadap proyek pemerintah agar kerusakan ekologis tidak makin meluas, apalagi proyek geothermal yang rakus lahan dan rakus air.
Sebelumnya Walhi secara tegas menyatakan penolakan terhadap 28 titik proyek pengembangan energi panas bumi (geotermal) yang tersebar di Pulau Flores, Lembata, Alor, dan Kabupaten Kupang.
Penolakan ini didasarkan pada kekhawatiran terhadap dampak ekologis serta minimnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan proyek.
Walhi NTT juga meminta pemerintah pusat dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) menghormati sikap para Uskup di Flores yang secara konsisten menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pengembangan geothermal.
Divisi Advokasi Walhi NTT, Gres Gracelia, mengatakan masyarakat di lokasi proyek tidak pernah dilibatkan dalam proses pemetaan dan sosialisasi, yang menjadi dasar keberatan terhadap proyek-proyek tersebut.
“Sejak awal, masyarakat tidak pernah dimintai izin, padahal mereka yang akan terdampak langsung,” ujar Gres.
Dalam pernyataan sikapnya, Walhi NTT menyampaikan sejumlah poin kritis, antara lain:
Pertama, Keputusan sepihak: Penetapan Flores sebagai pulau panas bumi oleh pemerintah pusat dianggap tanpa melibatkan masyarakat lokal.
Kedua, Benturan kebijakan energi: Kebijakan geothermal pusat dinilai bertentangan dengan Rencana Umum Energi Daerah NTT (RUED NTT) yang lebih menekankan pada pemanfaatan energi terbarukan seperti matahari, angin, dan arus laut.
Ketiga, Kondisi geografis rentan: Sebagai provinsi kepulauan yang berada di jalur cincin api (Ring of Fire), NTT memiliki risiko tinggi terhadap dampak eksplorasi geothermal.
Keempat, Konflik horizontal: PLN dituding menciptakan konflik antarwarga dengan memberikan insentif kepada pihak yang mendukung proyek dan mengabaikan aspirasi penolak.
Kelima, Dampak ekologis dan sosial: Di lokasi seperti Poco Leok, pengembangan geothermal berdampak pada penurunan debit air, degradasi hasil pertanian, dan dugaan pelanggaran hak warga, termasuk pelecehan verbal terhadap perempuan.
Keenam, Ketidaktransparanan: Walhi menuntut transparansi sejak awal terkait potensi risiko geothermal, seperti kasus semburan lumpur panas di Mataloko.
Berdasarkan temuan di lapangan, Walhi NTT menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, Menolak proyek geothermal oleh Kementerian ESDM karena dinilai bertentangan dengan prinsip energi bersih dan berkeadilan.
Kedua, Mendesak evaluasi dan penghentian seluruh proyek geothermal serta pencabutan Keputusan Menteri ESDM No. 2268/K/30/MEM/2017.
Ketiga, Meminta pemerintah pusat tidak mengabaikan RUED NTT 2025–2034 yang tidak mencantumkan geothermal sebagai prioritas.
Keempat, Mengimbau pemerintah untuk menghormati sikap para Uskup.
Kelima, Menuntut PLN menghentikan proyek yang mengabaikan suara warga dan mengancam lingkungan.
Keenam, Meminta penghormatan terhadap UU Otonomi Daerah dan UU Desa serta kebijakan gubernur terkait hilirisasi ekonomi non-tambang.
Ketujuh, Mengajak seluruh pemerintah daerah di NTT menolak kebijakan pusat yang bersifat top-down dan tidak berdasarkan aspirasi masyarakat.
Kedelapan, Walhi NTT menegaskan akan terus mengadvokasi isu ini dan mendampingi masyarakat terdampak di berbagai wilayah.
Penulis: Berto Davids
Tinggalkan Balasan