Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Esensi sejati pendidikan adalah menumbuhkan kedewasaan anak manusia agar ia mampu menjalani hidup yang bahagia dan berkelanjutan dalam harmoni dengan dirinya sendiri, sesama, alam semesta, dan Sang Pencipta.

Saat ini, anak yang dianggap “nakal” dan bandel di sekolah diwacanakan untuk dibina di barak militer agar terjamin kesehatan fisik, mental spiritualnya, dan karakter disiplinya ditegakkan.

Ketika sekolah gagal menanamkan karakter, maka barak militer menjadi jalan sunyi penuh disiplin tempat anak-anak nakal, bandel, dan terlambat ditempa menjadi insan tangguh yang sehat, demokratis, dan bertanggung jawab bagi tanah air Indonesia.

Akan tetapi anak-anak yang nakal, bandel, dan sering terlambat sebaiknya dibina karakter disiplinnya melalui pendekatan pendidikan di sekolah, bukan melalui lembaga militer yang tidak dirancang untuk perkembangan psikologis dan emosional anak.

Kita perlu  menimbang jernihkan dari sudut tumbuh kembang anak sebagai pribadi manusia yang sedang mencari arah masa depan bahagia berkelanjutan sebagai warga negara Indonesia yang Pancasilais.

Dalam dunia pendidikan di sekolah dan keluarga, mereka  dipeluk oleh bapak dan ibu guru dengan disiplin positif yang penuh kasih dan strategi saintifik.

Di lain pihak sekolah bukanlah mesin industri yang semata mata menyeleksi anak anak yang dianggap baik baik saja dan pintar cerdas, dan yang lain dibuang sebagai sampah masyarakat.

Anak adalah buah cinta papa dan mama, anugerah kehidupan yang lahir dari kasih yang tulus, tumbuh dalam pelukan harapan, dan hidup untuk melanjutkan cerita cinta yang abadi di planet bumi manusia di sini dan kini demi kebebasan, damai abadi dan keadilan sosial ekologis.

Pendekatan ini tidak hanya bersandar pada conditional learning atau hukuman dan hadiah semata, tetapi mengandalkan pendekatan holistik berbasis cognitive science, neuroscience, dan behavioral science, yang memahami perilaku sebagai hasil interaksi kompleks antara pikiran, emosi, dan lingkungan.

Guru dan orang tua dilatih untuk memahami latar belakang perilaku, membangun relasi aman, serta menciptakan struktur kelas yang mendukung regulasi diri dan pertumbuhan karakter.

Integrasi Otak

Salah satu pakar yang menekankan pendekatan ini adalah Dr. Daniel J. Siegel melalui bukunya The Whole-Brain Child (2011), yang bersama Tina Payne Bryson menjelaskan bagaimana pendekatan yang berbasis pada perkembangan otak anak dapat membantu guru dan orang tua menumbuhkan anak-anak yang tangguh, sadar diri, dan mampu mengelola emosinya dengan sehat.

The Whole-Brain Child karya Dr. Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson adalah pendekatan revolusioner dalam memahami dan mendidik anak berdasarkan ilmu otak yang terkini.

Siegel dan Bryson menjelaskan bagaimana otak anak berkembang dan bagaimana orang dewasa baik orang tua maupun guru—dapat merespons perilaku anak dengan cara yang selaras dengan proses neurologis yang sedang tumbuh.

Siegel menekankan pentingnya integrasi otak, yakni menyatukan berbagai bagian otak (otak kiri dan kanan, otak atas dan bawah) agar anak dapat berpikir jernih, mengelola emosi, dan bertindak dengan bijak.

Pendekatan ini menolak metode pengasuhan reaktif berbasis hukuman, dan mendorong strategi seperti connect and redirect (menghubungkan secara emosional sebelum mengarahkan perilaku) serta name it to tame it (memberi nama pada emosi untuk mengelolanya).

Dengan memahami bagaimana otak bekerja, guru dan orang tua dapat menciptakan lingkungan yang aman, penuh kasih, dan efektif dalam menumbuhkan anak-anak yang sehat secara emosional dan sosial.

Marah dan Lempar Buku

Contoh konkret penerapan The Whole-Brain Child di ruang kelas antara lain ketika seorang siswa tiba-tiba marah dan melempar buku, guru tidak langsung menghukum, tetapi mendekatinya dengan tenang dan berkata, “Kamu kelihatan sangat kesal. Mau cerita apa yang kamu rasakan?”  ini adalah strategi connect and redirect, menghubungkan emosi dulu sebelum memberi arahan.

Saat ada anak yang menangis karena dipermalukan temannya, guru membantu dengan name it to tame it, misalnya: “Kamu merasa sedih dan malu, ya? Itu wajar. Yuk kita atur napas dulu.”

Untuk membantu siswa yang sering gelisah saat belajar, guru bisa mengajarkan strategi menenangkan diri, seperti brain breaks atau latihan pernapasan, yang mendukung integrasi otak atas (berpikir logis) dan otak bawah (emosi dan insting).

Saat murid bertengkar, guru bisa mengajak mereka berdialog untuk memahami perspektif satu sama lain, memperkuat empati dan kerja sama antar bagian otak kanan dan kiri.

Semua ini membangun disiplin positif yang mendorong regulasi diri, bukan sekadar kepatuhan.

Disiplin Cinta

Mempromosikan disiplin positif dengan fokus cinta merupakan langkah maha penting dalam membentuk lingkungan belajar yang benar-benar mendukung tumbuh kembang anak secara holistik—mencakup aspek kognitif, emosional, sosial, dan moral.

Disiplin yang berakar pada cinta bukan berarti tanpa batas, melainkan menghadirkan struktur yang jelas, penuh empati, dan dialog yang membangun, sehingga anak belajar memahami konsekuensi, bukan takut pada hukuman.

Dari, oleh, dan untuk anak, pendekatan ini menghargai mereka sebagai individu utuh yang layak didengar dan dibimbing, bukan dikendalikan.

Dengan menciptakan ruang aman dan penuh kasih di rumah maupun sekolah, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, mandiri, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi sebagai pondasi bagi kebahagiaan yang berkelanjutan dalam hidup mereka di masa kini dan masa depan.

Inilah esensi pendidikan: Esensi sejati pendidikan adalah menumbuhkan kedewasaan anak manusia agar ia mampu menjalani hidup yang bahagia dan berkelanjutan dalam harmoni dengan dirinya sendiri, sesama, alam semesta, dan Sang Pencipta.

Cinta Tanpa Batas

Disiplin positif adalah wujud nyata mencintai anak-anak tanpa syarat, terutama mereka yang tampak “nakal,” rentan, atau rapuh, bukan karena mereka ingin melawan, tetapi karena mereka sedang berjuang memahami diri dan dunia di sekitarnya.

Dalam keluarga dan rumah, cinta sejati tidak selalu tampil lembut, tetapi hadir melalui bimbingan yang konsisten, penuh kesabaran, dan tidak melukai martabat anak.

Disiplin positif menolak kekerasan fisik maupun verbal, dan sebagai gantinya, membangun relasi yang kokoh melalui empati, keterlibatan emosional, dan komunikasi yang memulihkan.

Ini bukan tentang memberi kelonggaran tanpa arah, tetapi menghadirkan batas yang manusiawi dan membimbing anak mengenali akibat dari pilihan mereka secara bijaksana.

Di tengah dunia yang semakin keras, penuh tekanan sosial, bullying, dan intoleransi, anak-anak perlu belajar sejak dini cara mengelola emosi, berempati, dan mengambil tanggung jawab secara sehat.

Disiplin positif membekali mereka dengan keterampilan hidup seperti regulasi diri, keberanian moral, serta kemampuan menyelesaikan konflik secara damai yang sangat dibutuhkan untuk bertahan dan tumbuh tanpa menjadi keras atau kehilangan nurani.

Orang tua dan guru yang menerapkan pendekatan ini sedang menyiapkan anak-anak tidak hanya untuk bertahan, tetapi untuk menjadi agen kebaikan dalam masyarakat yang sering tidak adil.

Cinta melalui disiplin positif bukan kelembutan yang lemah, tetapi kekuatan hati yang membentuk karakter tangguh dan berbelas kasih.