Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Leo XIV membawa harapan baru bagi dunia dengan menyalakan kembali semangat kebebasan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial umat manusia melalui sintesis yang harmonis antara iman, akal budi, dan budaya cinta kasih.
Seorang sarjana matematika, yang dahulu menghitung angka dan menyelami rumus-rumus semesta, mendapati bahwa keindahan angka hanyalah bayang-bayang dari Kebenaran yang lebih tinggi.
Berkat literasi numerasinya, Robert Francis Prevost melangkah masuk ke dalam sunyi biara Ordo Agustinian, tempat di mana logika berpadu dengan cinta, dan kontemplasi menjadi bahasa jiwa.
Dalam keheningan doa dan cahaya lilin yang redup, benih panggilan bertumbuh, menjadikannya gembala bagi banyak jiwa.
Tak lama, ia diangkat menjadi kardinal—saksi kebijaksanaan yang lahir dari perpaduan ilmu dan iman.
Dan akhirnya, dalam satu momen rahmat yang menggetarkan sejarah, ia terpilih sebagai Paus ke 267, mengambil nama Leo XIV—sang pemikir yang kini memimpin Gereja bukan hanya dengan akal budi, tetapi dengan hati yang menyala oleh kasih dan kebijaksanaan surgawi.
Paus Leo XIV menjadi harapan baru bagi dunia, membangun jembatan peradaban cinta melalui dialog yang terbuka dan kepemimpinan pengurus (administrator) yang bijak serta dapat dipercaya.
Pola Pikir Roh Kudus
Tak seorang pun menyangka bahwa Kardinal Robert Francis Prevost akan terpilih menjadi Paus ke-267 untuk memimpin 1,4 miliar umat Katolik di seluruh dunia, sebab di mata banyak orang, ia bukanlah sosok yang menonjol dalam prediksi atau spekulasi publik.
Namun, pilihan ini sekali lagi mengingatkan kita bahwa pola pikir manusia sering kali berbeda dengan pola pikir Roh Kudus, yang bekerja melampaui kalkulasi rasional dan strategi duniawi.
Roh Kudus menuntun Gereja dengan cara yang misterius namun penuh hikmat, memilih pemimpin bukan semata karena popularitas atau kekuasaan, melainkan karena kesiapan hati, kerendahan, dan kesediaan untuk melayani dalam terang iman dan kasih Kristus.
Gereja adalah komunitas yang dijiwai oleh Roh Kudus, diutus untuk membaharui dunia menuju kehidupan yang lebih beradab, manusiawi, adil, dan dipenuhi damai sejahtera.
Melayani Dunia
Paus Leo XIV mungkin merujuk pada warisan besar para pendahulunya, seperti Paus Leo Agung yang membela martabat Gereja dan kemanusiaan di tengah ancaman kekuasaan duniawi, serta Paus Leo XIII yang dikenal sebagai pelopor ajaran sosial Gereja melalui ensiklik Rerum Novarum yang menekankan hak-hak buruh, keadilan sosial, dan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.
Dengan mewarisi semangat keduanya, Leo XIV diharapkan membawa pembaruan bagi dunia melalui visi yang meneguhkan kebebasan sejati, membangun perdamaian yang abadi, serta memperjuangkan keadilan sosial secara nyata di setiap penjuru dunia—sebuah misi profetik yang menjawab kegelisahan manusia modern dalam terang Injil dan kasih Kristus.
Gereja, sebagai sahabat Kristus yang setia, dipanggil untuk tetap melayani dunia meskipun sering dipandang asing atau bahkan ditolak oleh mereka yang menganggap iman Kristen sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, hanya layak bagi mereka yang lemah, kurang cerdas, atau takut menghadapi kenyataan hidup yang real.
Di tengah arus zaman yang mengagungkan teknologi, uang, kesuksesan, kekuasaan, dan kesenangan sebagai jaminan hidup dan makna kebahagiaan, Gereja justru hadir untuk mewartakan nilai-nilai yang berakar pada Salib Yesus Kristus—kasih yang berkorban, pengharapan dalam penderitaan, dan kebijaksanaan yang lahir dari keheningan dan doa.
Gereja tidak melawan dunia, tetapi merangkulnya dengan hati Kristus yang bangkit, menunjukkan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kuasa lahiriah, melainkan pada keberanian untuk mengasihi tanpa syarat, untuk percaya di tengah keraguan, dan untuk tetap setia pada kebenaran meski dianggap bodoh oleh dunia.
Kekudusan Manusia
Paus Leo XIV tampil sebagai suara profetik di tengah dunia yang dilanda perendahan martabat manusia oleh mesin perang, kekuasaan yang menindas, serta kerakusan ekonomi yang kejam dan membuang mereka yang lemah, miskin, dan tersisih.
Ia menegaskan kembali bahwa setiap manusia, tanpa kecuali, adalah pribadi yang kudus karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, dan karena itu memiliki martabat yang tak dapat diganggu gugat.
Dalam dunia yang semakin mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi ambisi politik dan keuntungan material, Leo XIV mengajak Gereja dan seluruh umat manusia untuk kembali kepada nilai inti Injil: menghormati, melindungi, dan mengangkat setiap pribadi manusia, terutama yang paling rapuh, sebagai jalan menuju kekudusan dan pembaruan dunia.
Dalam Misa Pontifikal perdananya di Kapel Sistina yang megah dan penuh khidmat, beliau menekankan satu pesan utama: kekudusan manusia sebagai panggilan terdalam setiap insan.
“Manusia,” sabda beliau dalam homilinya, “bukan sekadar ciptaan di antara ciptaan, melainkan bait Allah yang hidup, yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, dipanggil untuk menjadi kudus sebagaimana Bapa di surga adalah kudus.”
Ia mengajak Gereja untuk kembali menatap martabat manusia dengan mata belas kasih dan hormat yang dalam, bukan karena keberhasilannya, tetapi karena panggilannya yang ilahi.
Dalam dunia yang sering lupa pada keheningan jiwa, Paus Leo XIV menyerukan kebangkitan hati nurani, agar Gereja menjadi saksi akan kebenaran bahwa kekudusan bukanlah hak istimewa segelintir orang, melainkan tugas setiap manusia yang berjalan bersama Kristus yang bangkit di tengah dunia.
Administrator yang Andal
Menurut Robert Greenleaf, kepemimpinan dalam Gereja Katolik mencakup tiga dimensi utama: kegembalaan (shepherdship), pelayanan (servantship), dan pengelolaan atau pengurus yang bertanggung jawab (stewardship).
Seorang pemimpin Gereja idealnya hadir seperti gembala yang membimbing umat dengan kasih, menjadi pelayan yang mendahulukan kebutuhan orang lain, serta pengelola yang bijak dan dapat dipercaya dalam mengatur sumber daya demi kesejahteraan bersama.
Dalam terang pemikiran ini, Paus Leo XIV tampil sebagai figur pemimpin yang menekankan aspek stewardship, yakni peran sebagai administrator yang bertanggung jawab terhadap dunia yang sedang berada dalam kegelapan—baik secara moral, sosial, maupun spiritual.
Dengan menegaskan pentingnya tata kelola yang adil dan transparan, Paus Leo XIV mengajak umat manusia untuk membangun masa depan yang bercahaya melalui kepemimpinan yang jujur, dialog yang terbuka, dan tanggung jawab yang mendalam terhadap sesama dan ciptaan.
Bukan Berwajah Tembok
Paus Leo XIV mengungkapkan harapannya agar Gereja tidak lagi dipahami sebagai institusi tertutup yang berwajah tembok, melainkan sebagai sosok yang terbuka dan dinamis—seorang administrator yang andal dalam mengelola peran spiritual dan sosialnya di tengah dunia yang kompleks.
Ia menegaskan bahwa Gereja harus hadir sebagai penggerak utama dalam membangun jembatan peradaban cinta dan persaudaraan manusia, bukan sebagai benteng eksklusif yang menjaga diri dari dunia, melainkan sebagai rumah bagi semua, khususnya mereka yang terluka, tersisih, dan kehilangan harapan.
Gereja dipanggil untuk menjadi ruang dialog yang hidup, tempat nilai-nilai kemanusiaan dipertemukan dengan kebenaran Injil dalam semangat pelayanan dan kerendahan hati.
Dalam visi Leo XIV, peran Gereja sebagai administrator bukan sekadar manajemen internal, tetapi kepemimpinan global yang bijaksana dan bertanggung jawab dalam menata dunia yang haus akan makna dan keadilan.
Gereja harus mampu mengelola kebebasan dalam semangat kasih, memelihara perdamaian yang abadi melalui kerja sama lintas batas, dan menegakkan keadilan sosial dengan keberpihakan pada kaum kecil.
Semua itu tidak hanya demi tatanan dunia yang lebih baik, tetapi demi kebahagiaan manusia yang berkelanjutan, di mana iman, harapan, dan kasih menjadi fondasi utama bagi peradaban yang lebih manusiawi dan ilahi sekaligus.
Bunda Maria di Kaki Salib
Paus Leo XIV dipanggil untuk memimpin
Gereja Universal dalam kasih, bukan sebagai penguasa duniawi, tetapi sebagai gembala yang menuntun umat menuju Kristus, dengan hati yang lembut dan setia seperti milik Bunda Maria, Bunda Gereja.
Dalam langkah-langkahnya, ia menyerahkan pelayanannya kepada perantaraan penuh kasih Maria, yang senantiasa mendampingi Gereja di tengah pergolakan zaman, menuntun dengan kelembutan seorang ibu yang tak pernah meninggalkan anak-anaknya.
Di bawah naungan Maria, Leo XIV menapaki jalan kepausan sebagai jalan pengorbanan dan pelayanan, membiarkan hatinya dibentuk oleh kasih yang sabar, rendah hati, dan penuh pengharapan.
Seperti Maria yang berdiri di kaki salib, ia pun siap berdiri bersama Gereja di tengah penderitaan dunia, menjadi tanda harapan bahwa kasih Allah tak pernah meninggalkan umat-Nya.
Tinggalkan Balasan