Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Membiasakan murid berpikir kritis tingkat tinggi sejak dini adalah kunci pembentukan akal budi yang reflektif dan rasional, sebagaimana ditekankan dalam filsafat bahwa berpikir adalah hakikat manusia yang membedakannya dari makhluk lain.
Pola pikir humanis etis perlu dilatih dan dibiasakan sejak dini melalui kebiasaan bertanya dan bercerita, karena keduanya menumbuhkan empati, refleksi moral, dan pemahaman antarindividu.
Dalam perspektif cognitive science, keterampilan berpikir kompleks berkembang melalui stimulasi aktif otak, yang diperoleh dari kebiasaan bertanya dan berceritera sebagai bentuk eksplorasi dan integrasi pengetahuan.
Oleh karena itu, latihan bertanya dan berceritera baik di rumah maupun di sekolah bukan sekadar aktivitas verbal, melainkan fondasi neurologis dan filosofis untuk membangun generasi yang mampu menilai, menganalisis, dan mencipta secara mendalam.
Filsafat dan ilmu kognitif (cognitive science) memiliki hubungan yang erat karena keduanya sama-sama berusaha memahami hakikat pikiran, kesadaran, dan proses berpikir manusia.
Filsafat, terutama cabang filsafat pikiran, menyumbangkan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti “Apa itu kesadaran?”, “Bagaimana pikiran bisa muncul dari otak fisik?”, dan “Apakah manusia memiliki kehendak bebas?”.
Sementara itu, ilmu kognitif menggabungkan pendekatan empiris dari berbagai disiplin seperti psikologi, neurosains, linguistik, dan kecerdasan buatan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan data dan eksperimen.
Dalam sinergi ini, filsafat menyediakan kerangka konseptual dan klarifikasi logis, sedangkan ilmu kognitif menyediakan bukti empiris dan model fungsional dari cara kerja pikiran.
Beberapa pakar terkemuka yang menjembatani antara filsafat dan ilmu kognitif adalah Daniel Dennett dan Patricia Churchland.
Daniel Dennett, melalui bukunya Consciousness Explained (1991), berusaha menjelaskan fenomena kesadaran dengan pendekatan ilmiah dan eliminasi konsep “homunculus” atau pusat kendali pikiran. Ia berargumen bahwa kesadaran adalah hasil dari proses paralel dalam otak, bukan satu titik pusat kendali.
Sementara itu, Patricia Churchland, dalam karyanya Neurophilosophy (1986), memperkenalkan pendekatan integratif antara filsafat dan neurosains. Ia menolak dualisme dan menekankan bahwa pemahaman tentang pikiran manusia hanya bisa dicapai dengan memahami dasar biologisnya.
Kedua tokoh ini menunjukkan bagaimana filsafat tidak hanya berfungsi sebagai kritik, tetapi juga sebagai mitra dialog dalam mengembangkan pemahaman ilmiah tentang pikiran.
Pola Pikir Humanis dan etis
Filsafat, khususnya cabang epistemologi dan etika rasional, memainkan peran penting dalam membentuk pola pikir yang humanis dan etis.
Epistemologi, sebagai studi tentang pengetahuan—asal usul, batas, dan validitasnya—mengajarkan manusia untuk berpikir kritis, tidak menerima informasi secara mentah, dan mencari kebenaran melalui penalaran dan bukti.
Dalam masyarakat yang dipenuhi oleh informasi dan klaim kebenaran yang bersaing, epistemologi membantu individu mengembangkan sikap intelektual yang terbuka, reflektif, dan bertanggung jawab.
Ini menjadi fondasi pola pikir humanis karena menghargai martabat manusia sebagai makhluk rasional yang mampu berpikir, belajar, dan memahami dunia secara mendalam.
Sementara itu, etika rasional—yang mengandalkan akal budi dan pertimbangan moral yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis—memberi arah dalam tindakan manusia agar tidak sekadar mengikuti naluri atau norma sosial yang berlaku, melainkan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang adil dan universal.
Ketika digabungkan, epistemologi dan etika rasional membentuk kerangka berpikir yang tidak hanya mendorong pemahaman yang jernih tentang realitas, tetapi juga komitmen untuk bertindak dengan integritas, empati, dan tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, pola pikir humanis dan etis bukan hanya soal belas kasih, tetapi hasil dari latihan berpikir yang mendalam, kritis, dan terarah demi kemanusiaan bersama.
Bertanya
Pola pikir humanis dan etis perlu dibentuk sejak dini di ruang kelas karena masa pendidikan dasar dan menengah merupakan periode emas dalam perkembangan karakter dan cara berpikir anak.
Guru memiliki peran sentral sebagai model, fasilitator, dan pembimbing dalam proses ini. Seorang guru yang berpola pikir humanis dan etis akan memandang setiap peserta didik sebagai pribadi yang unik, bermartabat, dan memiliki potensi yang perlu dikembangkan secara utuh, bukan sekadar sebagai objek transfer pengetahuan.
Dengan pendekatan ini, pembelajaran tidak hanya berfokus pada capaian akademik, tetapi juga pada pembentukan karakter, empati, dan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari kecerdasan emosional dan moral.
Untuk membentuk peserta didik yang berpikir tingkat tinggi serta memiliki kreativitas, kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, komunikatif, dan adaptif—kompetensi utama abad ke-21—guru perlu menerapkan metode pembelajaran yang partisipatif dan reflektif.
Misalnya, dalam pelajaran Bahasa Indonesia atau PPKn, guru bisa mengajak siswa menganalisis isu sosial melalui diskusi kelompok dengan pendekatan debat etis: siswa belajar menyampaikan pendapat dengan argumentasi logis sambil menghargai pandangan orang lain.
Dalam pelajaran sains, guru bisa memfasilitasi eksperimen terbuka yang mendorong siswa mengeksplorasi solusi inovatif terhadap masalah lingkungan.
Kegiatan seperti projek layanan masyarakat (service learning) juga memberi ruang bagi siswa untuk mengintegrasikan pengetahuan dengan aksi nyata yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan.
Kelas yang ditanamkan nilai humanis dan etis sejak dini akan membentuk ekosistem pembelajaran yang inklusif, dialogis, dan penuh rasa hormat.
Guru tidak hanya memberi perintah, tetapi menjadi pendamping yang mendorong siswa untuk bertanya, berpikir terbuka, dan menilai konsekuensi moral dari tindakan mereka.
Hasilnya adalah generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara emosional, bijak dalam bersikap, dan siap menghadapi kompleksitas dunia global dengan nilai-nilai kemanusiaan yang kuat.
Pendidikan seperti ini bukan hanya membekali siswa untuk sukses secara akademik, tetapi juga membentuk mereka menjadi warga dunia yang bertanggung jawab, peduli, dan berdaya guna.
Bercerita
Membiasakan anak-anak sejak dini untuk bercerita dan bertanya memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk pola pikir humanis dan etis, terutama jika dilihat dari perspektif ilmu kognitif dan neurosains.
Dalam tahap perkembangan otak anak, masa kanak-kanak adalah periode kritis di mana koneksi antar neuron berkembang sangat cepat, dan stimulasi kognitif yang tepat akan membentuk fondasi berpikir jangka panjang.
Aktivitas bercerita dan bertanya melibatkan berbagai fungsi otak, termasuk memori, imajinasi, empati, dan kemampuan berpikir logis.
Ketika anak bercerita, mereka belajar menyusun pikiran secara runtut dan memahami sudut pandang orang lain, sementara bertanya melatih mereka untuk berpikir kritis, meragukan asumsi, dan mencari kebenaran.
Dari sisi ilmu kognitif, proses bertanya dan bercerita juga memperkuat executive function—fungsi otak yang berkaitan dengan perencanaan, pengambilan keputusan, dan kontrol emosi.
Anak-anak yang terbiasa bertanya cenderung tumbuh menjadi pembelajar aktif yang memiliki rasa ingin tahu tinggi dan mampu mengevaluasi informasi secara mandiri.
Sedangkan bercerita melatih mereka untuk menyampaikan pengalaman secara reflektif, memahami nilai-nilai dalam kisah, dan mengembangkan empati—semua ini adalah komponen penting dalam pola pikir humanis dan etis.
Contoh konkret penerapan di ruang kelas antara lain adalah kegiatan “cerita pagi” di mana anak-anak diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman mereka, atau sesi tanya-jawab terbuka setelah membaca buku cerita yang memuat dilema moral, sehingga anak diajak berpikir: “Apa yang bisa kita pelajari dari tokoh ini?” atau “Apakah tindakan tokoh itu adil?”.
Lebih jauh lagi, kegiatan seperti membuat jurnal harian bergambar, drama sederhana, atau bermain peran dapat memperkuat integrasi antara proses kognitif dan pembentukan nilai-nilai etis.
Misalnya, dalam pelajaran IPS atau agama, anak diminta bercerita tentang pengalaman membantu teman, lalu guru memfasilitasi diskusi tentang nilai kejujuran, keberanian, atau solidaritas.
Anak yang terbiasa menyuarakan pikirannya dan diajak merenung secara aktif akan lebih mudah membentuk kepekaan sosial dan rasa tanggung jawab terhadap sesama.
Dari perspektif neurosains, kebiasaan ini mengaktifkan area otak seperti prefrontal cortex (pengambilan keputusan dan kontrol sosial) dan temporoparietal junction (empati dan perspektif sosial), sehingga pola pikir humanis dan etis bukan hanya terbentuk secara konseptual, tetapi juga tercetak secara biologis dalam jaringan otak mereka.
Pola pikir humanis etis perlu dilatih dan dibiasakan sejak dini melalui kebiasaan bertanya dan bercerita, karena keduanya menumbuhkan empati, refleksi moral, dan pemahaman antarindividu.
Di era teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI), keterampilan ini menjadi sangat penting untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang tidak dapat direplikasi sepenuhnya oleh mesin.
Oleh karena itu, peran orang tua dan guru tetap tak tergantikan sebagai pendidik nilai, penuntun moral, dan fasilitator dialog manusiawi.
Tinggalkan Balasan