Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Di era Revolusi Industri 4.0, banyak sarjana menganggur karena dunia kerja lebih menilai keterampilan teknologis praktis dan jejaring elit daripada kedalaman ilmu, sehingga keserjanaan yang tidak terhubung dengan kebutuhan pasar digital sering terpinggirkan oleh logika efisiensi dan seleksi eksklusif.

Dalam konteks ini, muncul konsep industri meritokrasi elitis, yakni suatu sistem sosial dan ekonomi yang didorong oleh logika meritokrasi—di mana individu memperoleh posisi atau status berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kompetensi—namun hanya dalam kerangka yang menguntungkan kelompok elit tertentu.

Sistem ini tampaknya adil di permukaan karena menekankan usaha dan pencapaian, tetapi dalam praktiknya bersifat eksklusif dan mempersempit mobilitas sosial karena akses terhadap sumber daya (seperti pendidikan berkualitas, jaringan, atau pelatihan) hanya tersedia bagi kalangan terbatas.

Akibatnya, industri meritokrasi elitis dalam tatanan Sarnaja cenderung mereproduksi ketimpangan dan mempertahankan dominasi kelompok tertentu sambil tetap mempertahankan citra keadilan dan objektivitas.

Logika Meritokrasi Elitis

Kata meritokrasi berasal dari bahasa Latin meritum yang berarti “jasa” atau “layak” dan akhiran Yunani -kratia yang berarti “kekuasaan”, sehingga secara operasional meritokrasi didefinisikan sebagai sistem sosial atau politik di mana individu memperoleh posisi, status, atau penghargaan berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kompetensi yang terukur, bukan berdasarkan kekayaan, keturunan, atau koneksi sosial, kedekatan keluarga, anak, sanak saudara atau keponakan.

Meritokrasi elitis di era Industri 4.0 adalah sistem seleksi dan distribusi peluang kerja yang didasarkan pada kemampuan dan prestasi, namun dikuasai dan dikendalikan oleh standar tinggi yang ditetapkan oleh kelompok elit tertentu, seperti korporasi global, lembaga pendidikan unggulan, dan pusat teknologi.

Ciri-ciri utamanya meliputi: ketergantungan pada sertifikasi digital dan keterampilan teknologi mutakhir, penggunaan algoritma dan sistem otomatisasi dalam rekrutmen yang memprioritaskan profil tertentu, serta ekspektasi multiskill yang tinggi dengan minimnya pelatihan langsung di tempat kerja.

Hal ini menyebabkan banyak sarjana dari latar belakang pendidikan umum atau kampus non-elit tersingkir, karena tidak memiliki akses terhadap sumber daya pelengkap seperti jaringan profesional, portofolio digital, atau pelatihan teknologi terbaru.

Akibatnya, mereka bahkan tidak memenuhi syarat untuk menjadi buruh perusahaan sekalipun, karena posisi dasar kini seringkali membutuhkan keterampilan teknis yang dulunya hanya dibutuhkan pada level menengah, sementara pekerjaan kasual dan manual semakin digantikan oleh otomatisasi.

Berwajah Keadilan Semu

Meritokrasi, dalam konteks ideologi neoliberalisme, telah menjadi alat hegemoni yang membungkus ketimpangan struktural dalam wajah keadilan semu, terutama melalui dunia pendidikan yang banal—yaitu sistem yang tampak netral dan rutin, tetapi sesungguhnya mereproduksi ketidakadilan kelas.

Michael Sandel dalam bukunya The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? (2020), mengkritik bagaimana meritokrasi di bawah neoliberalisme menanamkan keyakinan bahwa keberhasilan individu adalah hasil kerja keras pribadi semata, sehingga kegagalan dianggap sebagai kesalahan individu, bukan akibat sistem yang timpang atau ketidakadilan struktural.

Dalam pendidikan, ide ini merasuk dalam bentuk standar ujian, peringkat sekolah, dan kompetisi antar-siswa yang menutupi fakta bahwa akses terhadap pendidikan berkualitas sangat tidak merata. Henry A. Giroux juga dalam Neoliberalism’s War on Higher Education (2014) menegaskan bahwa universitas telah direduksi menjadi pabrik pencetak tenaga kerja untuk pasar, bukan lagi ruang emansipasi.

Meritokrasi dalam neoliberalisme pendidikan menekankan bahwa keberhasilan individu ditentukan oleh kemampuan, usaha, dan prestasi pribadi, bukan latar belakang sosial atau ekonomi.

Sistem ini sering kali mengabaikan ketimpangan struktural, sehingga siswa dari keluarga mampu memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya pendidikan seperti les privat atau sekolah unggulan.

Contohnya, ujian masuk perguruan tinggi yang dianggap “adil” padahal lebih mudah diakses dan dipersiapkan oleh siswa dari kelas menengah ke atas.

Maka, meritokrasi sebagai ideologi neoliberalisme bukan sekadar sistem penilaian, tetapi telah menjadi mekanisme kultural yang menjustifikasi eksklusi sosial dan membungkam kritik terhadap struktur dominan.

Bahaya Logika Meritokrasi Elitis

Paus Fransiskus dalam berbagai ensiklik dan pernyataannya telah menyoroti bahaya dari logika meritokrasi elitis, yakni sistem sosial yang tampak menjunjung tinggi keadilan dan usaha pribadi, namun dalam praktiknya justru memperdalam ketimpangan sosial.

Ia menegaskan bahwa sistem ini seringkali meminggirkan kelompok miskin dan rentan karena hanya mengakui nilai individu berdasarkan produktivitas ekonomi atau pencapaian teknis, tanpa mempertimbangkan kondisi struktural yang membatasi akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja.

Meritokrasi elitis, menurut Paus Fransiskus, mengabaikan dimensi moral dan spiritual dari martabat manusia, karena mengukur manusia semata dari manfaat ekonomi dan efisiensi pasar, sehingga memperlebar jurang antara kelas pekerja miskin dengan pemilik modal dan teknologi.

Dalam dunia yang makin terdigitalisasi dan terdorong oleh logika pasar bebas, ia menyerukan sistem ekonomi yang lebih inklusif dan berbelas kasih.

Semangat kritik terhadap meritokrasi elitis ini diharapkan dilanjutkan dan diperluas oleh Paus Leo XIV (hipotetis), terutama dalam menyoroti dampaknya terhadap negara-negara di belahan bumi selatan.

Di wilayah-wilayah tersebut, banyak sarjana dan kaum intelektual muda yang telah berjuang memperoleh pendidikan tinggi, justru terjebak dalam pengangguran struktural karena pasar tenaga kerja global lebih menghargai afiliasi institusional, sertifikasi internasional, dan pengalaman global yang tidak mudah diakses oleh mereka.

Paus Leo XIV dapat melanjutkan warisan moral ini dengan menekankan bahwa jebakan meritokrasi elitis bukan hanya soal ketidakadilan ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap keutuhan manusia dan harapan kolektif masyarakat miskin untuk bangkit.

Gereja Katolik, dalam semangat sosialnya, berpotensi menjadi suara profetik yang mendorong reformasi sistem kerja dan pendidikan global agar tidak lagi menjadi alat eksklusif, melainkan sarana pemberdayaan yang sejati, terutama bagi mereka yang hidup di pinggiran ekonomi dunia.

Pendidikan yang Membebaskan

Pendidikan berkualitas unggul untuk semua, terutama bagi masyarakat rentan, adalah cita-cita luhur yang bertujuan membebaskan manusia dari struktur ketimpangan dan penindasan sistemik, termasuk pola pikir meritokrasi elitis.

Pendidikan semacam ini tidak hanya berfokus pada capaian akademik atau keterampilan teknis semata, tetapi juga menanamkan kesadaran kritis, empati sosial, dan nilai-nilai keadilan.

Tujuannya adalah menciptakan manusia yang merdeka berpikir, bukan sekadar “produk” yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.

Dalam konteks masyarakat rentan, pendidikan unggul harus hadir dengan pendekatan yang inklusif dan transformatif—menghapus hambatan akses, memperkuat identitas budaya lokal, serta menghidupkan semangat kolektif untuk mengatasi ketidakadilan struktural.

Pendidikan semacam ini menolak logika seleksi sempit dan kompetisi individualistik yang selama ini membelenggu generasi muda dalam sistem meritokrasi elitis.

Namun tantangan besar muncul karena sistem pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, semakin berwatak korporat dan berideologi neoliberalisme.

Lembaga pendidikan kini cenderung mengadopsi model manajemen perusahaan, mengutamakan efisiensi, akreditasi, ranking global, dan orientasi pasar kerja semata.

Kurikulum dan sistem evaluasi lebih menekankan output yang terukur secara statistik ketimbang proses pembelajaran yang membebaskan.

Hal ini menjadikan pendidikan sebagai alat reproduksi kelas, bukan sebagai sarana mobilitas sosial. Akibatnya, siswa dan mahasiswa dari kelompok rentan seringkali tersingkir karena tidak mampu memenuhi standar yang ditentukan oleh pasar dan lembaga elit.

Oleh karena itu, perjuangan untuk pendidikan unggul yang membebaskan tidak bisa dilepaskan dari kritik terhadap neoliberalisme dalam dunia pendidikan, dan harus menjadi gerakan kolektif yang menuntut reformasi struktural demi memastikan bahwa pendidikan sungguh menjadi hak, bukan privilese.