Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM

Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)

Di tengah turbulensi dunia VUCA dan serbuan kecerdasan buatan, pemimpin palsu yang hanya pandai berbicara tanpa substansi tak lagi relevan.

Era ini menuntut pemimpin yang hadir dengan integritas, empati, dan sepuluh keterampilan nyata yang mampu menjawab tantangan kompleks, bukan sekadar jargon.
Inilah saatnya mengucapkan selamat tinggal pada kepemimpinan kosong dan menyambut jurus-jurus otentik yang membawa dampak nyata.

Hidup sepenuh jiwa di era kecerdasan buatan bukan sekadar mengikuti arus teknologi, tetapi menegaskan kembali makna menjadi manusia di tengah kecanggihan yang serba otomatis.

Ini berarti hadir secara utuh dalam setiap pengalaman—merasakan, merenung, dan berempati sekaligus terus belajar, beradaptasi, dan mengasah kebijaksanaan yang tidak bisa digantikan oleh algoritma.

Di zaman ketika data melimpah dan informasi mudah diakses, tantangan terbesarnya justru adalah menjaga kedalaman hati, integritas, kejujuran dan kemampuan untuk berpikir kritis serta bertindak dengan nurani.

Menjadi manusia sepenuhnya kini menuntut keseimbangan antara rasionalitas dan kepekaan, antara efisiensi digital dan kehangatan relasi, agar kita tidak sekadar hidup, tetapi benar-benar menghidupi hidup itu sendiri.

VUCA

Abad ke-21 ditandai dengan hadirnya Era VUCA singkatan dari Volatility (gejolak), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity (ambiguitas) yang mencerminkan dunia yang cepat berubah, sulit diprediksi, dan penuh tantangan multidimensional.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh militer Amerika Serikat setelah Perang Dingin, namun kemudian diadopsi secara luas dalam dunia bisnis dan kepemimpinan untuk menggambarkan dinamika global yang serba tidak pasti.

The Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for an Uncertain World adalah buku karya Bob Johansen yang menyoroti pentingnya pengembangan keterampilan kepemimpinan baru dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks, tidak pasti, dan cepat berubah.

Dalam buku ini, Johansen memperkenalkan sepuluh keterampilan utama yang harus dimiliki oleh para pemimpin agar mampu bertahan dan berhasil di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).

Keterampilan tersebut mencakup hal-hal antara lain  seperti maker instinct (naluri untuk mencipta), clarity (kemampuan untuk menjaga kejernihan di tengah kekacauan), dilemma flipping (kemampuan mengubah dilema menjadi peluang), dan immersive learning ability (kemampuan belajar dari pengalaman langsung).

Johansen menekankan bahwa pemimpin masa depan harus menjadi agen perubahan yang mampu memanfaatkan teknologi, membangun jejaring kolaboratif, serta menjaga nilai dan tujuan di tengah gejolak zaman.
10 Keterampilan

Dalam bukunya “Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for an Uncertain World“, Bob Johansen mengemukakan sepuluh keterampilan kepemimpinan baru yang penting untuk menghadapi dunia yang ditandai oleh ketidakpastian, kompleksitas, dan perubahan cepat ciri khas Era VUCA.

Keterampilan pertama adalah maker instinct, yaitu  esensi pokoknya adalah dorongan mendalam untuk secara proaktif mencipta, membangun, dan mewujudkan sesuatu yang bermakna sebagai respons terhadap tantangan zaman.

Pemimpin masa depan juga perlu memiliki clarity yaitu kemampuan untuk memiliki visi yang jelas di tengah kekacauan informasi dan ambiguitas.

Di samping itu, dilemma flipping menjadi penting, yaitu kemampuan untuk mengubah dilema menjadi peluang pembelajaran dan inovasi.

Dilemma flipping adalah keterampilan untuk mengubah dilemma, situasi sulit yang tampaknya tak memiliki solusi ideal menjadi peluang kreatif untuk inovasi dan pembelajaran.

Alih-alih terjebak dalam pilihan yang saling bertentangan, pemimpin mampu menemukan sudut pandang baru yang menciptakan nilai dari ketegangan atau konflik tersebut.

Keterampilan lainnya adalah immersion, yaitu kemampuan untuk terjun langsung ke dalam lingkungan atau konteks baru untuk memahami tantangan dari dalam, bukan hanya dari teori.

Kepemimpinan immersion atau blusukan bermakna keterlibatan langsung dan mendalam seorang pemimpin dalam realitas lapangan untuk memahami persoalan secara autentik, membangun empati, dan merumuskan solusi yang relevan dan kontekstual atau tepat sasaran.

Lalu ada bio-empathy, yaitu kemampuan untuk memahami dunia dari perspektif makhluk hidup lainnya, yang penting dalam konteks keberlanjutan dan ekologi.

Johansen juga menekankan pentingnya constructive depolarization, kemampuan untuk menjembatani perbedaan dan menciptakan ruang dialog di tengah polarisasi yang ekstrem.

Keterampilan ini sangat relevan dalam dunia yang kian terpecah oleh ideologi, budaya, dan kepentingan politik.

Tiga keterampilan terakhir adalah quiet transparency yaitu kemampuan untuk menunjukkan keaslian dan keterbukaan tanpa bersikap egois; Rapid prototyping yaitu kemampuan untuk bereksperimen cepat, belajar dari kegagalan, dan memperbaiki secara iterative serta smart mob organizing, yaitu kemampuan untuk memanfaatkan teknologi digital dan jejaring sosial untuk menggerakkan perubahan kolektif.

Kepemimpinan dengan keterampilan smart mob organizing mampu menggerakkan sekelompok orang secara cepat dan terkoordinasi melalui pemanfaatan teknologi digital dan jejaring sosial.

Pemimpin seperti ini tidak hanya mengandalkan otoritas formal, tetapi juga membangun partisipasi, kepercayaan, dan kolaborasi dalam komunitas yang tersebar luas.

Dengan keterampilan ini, pemimpin dapat menciptakan gerakan yang gesit, responsif, dan berdampak besar dalam menghadapi tantangan global yang kompleks.

Kesepuluh keterampilan ini menuntut pemimpin untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga luwes secara emosional dan sosial.

Dalam dunia yang terus berubah, pemimpin perlu menjadi pembelajar seumur hidup yang tidak hanya memimpin dengan otoritas, tetapi juga dengan keteladanan, empati, dan visi yang membumi.

Pemimpin Bernyawa

Pemimpin bernyawa ditandai oleh lima ketumaan utama yang menjadi fondasi kepemimpinan autentik di era penuh disrupsi.

Dalam konteks ini, tiga nilai luhur veritas (kebenaran), unitas (kesatuan), dan caritas (kasih) menjadi fondasi moral dan spiritual yang membimbing pemimpin dalam mengambil keputusan yang adil dan visioner.

Veritas (kebenaran) menuntut pemimpin untuk jujur, transparan, dan berani menghadapi realitas, bukan menyembunyikannya di balik retorika.

Pemimpin yang haus akan kebenaran akan terus mencari pemahaman yang jernih, menghindari manipulasi informasi, serta berani berdiri untuk yang benar, meskipun tidak populer.

Unitas (kesatuan) menekankan pentingnya membangun sinergi dan merangkul keberagaman demi tujuan bersama.

Unitas, atau semangat kesatuan, mendorong pemimpin untuk merangkul perbedaan dan membangun jembatan antar kelompok, budaya, dan bangsa.

Di tengah dunia yang sering kali terpecah oleh polarisasi, intoleransi, dan ego sektoral, pemimpin yang menghidupi nilai unitas akan menjadi perekat sosial yang menyatukan umat manusia dalam semangat kolaboratif.

Yang tak kalah penting adalah caritas, kasih yang melampaui kepentingan pribadi dan kelompok. Pemimpin yang menjadikan kasih sebagai inti kepemimpinannya akan menempatkan kesejahteraan bersama di atas ambisi kekuasaan atau keuntungan material.

Kesatuan bukan berarti menyeragamkan, tetapi justru merayakan keberagaman sebagai kekayaan kolektif yang harus dijaga dan dikelola secara inklusif.

Compassion (belas kasih) mengingatkan pemimpin untuk tidak kehilangan sisi manusiawi dalam setiap keputusan dan tindakan.

Dan akhirnya, community mengajak pemimpin untuk hadir bukan hanya sebagai pengarah, tapi sebagai bagian dari komunitas yang tumbuh dan berkembang bersama.

Melalui pendekatan ini, pemimpin menanamkan semangat solidaritas dan saling pengertian, dua hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun dunia yang damai dan adil.

Ia hadir bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai pelayan yang peka terhadap penderitaan, cepat tanggap terhadap ketidakadilan, dan tulus dalam memperjuangkan harkat dan martabat setiap manusia serta kelestarian alam.

Melalui integrasi nilai veritas, unitas, dan caritas, compassion dan community pemimpin menjadi agen transformasi yang tidak hanya mengelola sistem, tetapi juga membentuk jiwa zaman, membangun peradaban cinta yang menghormati manusia dan seluruh ciptaan sebagai satu kesatuan yang utuh.

Di era VUCA yang penuh ketidakpastian, pekerjaan omong kosong tak lagi punya tempat yang dibutuhkan adalah pemimpin bernyawa dengan 10 keterampilan nyata dan lima keutamaan sebagai fondasi.

Veritas, unitas, caritas, compassion, dan community menjadi penuntun moral, sementara keterampilan seperti berpikir kritis, komunikasi empatik, dan kepemimpinan adaptif menjadi alat navigasi.

Semua ini bukan sekadar untuk bertahan, tapi untuk menciptakan kebaikan bersama dan kebahagiaan yang berkelanjutan bagi semua.