Ruteng, Vox NTT- Pada Kamis, 26 Oktober 2017, publik lagi-lagi dikejutkan dengan kasus bunuh diri yang menimpa Maria Intan Leda (14), seorang siswi di salah satu SMP Swasta di Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Kasus serupa bukan hanya terjadi sekali atau dua kali saja. Sebelumnya, sudah banyak terjadi kasus bunuh diri di kota dingin itu.
Peneliti dan Psikolog pada Lembaga Jefrin Haryanto Research Centre (JHRC), Albina Redempta Umen saat ditemui di kantornya, Kamis mengaku tidak terlalu heran dengan kasus bunuh diri tersebut.
Bulan April 2017, kata Albina, JHRC telah merilis tren patologi sosial pada remaja di Kota Ruteng. Hasil rilis tersebut menunjukka kecenderungan tingginya potensi bunuh diri pada anak-anak remaja dan mahasiswa di Ruteng.
“Pada kasus bunuh diri yang ke- enam, kami sudah pernah mengatakan bahwa 60% klien kami datang dalam keadaan depresi sampai depresi akut dan kebanyakan adalah remaja,” jelas Albina.
Menurut dia kasus itu adalah fenomena gunung es. Sama halnya dengan fenomena bunuh diri yang kerap terjadi di Kota Ruteng belakangan ini.
“Kami melihat pada kasus ketujuh ini , sesungguhnya keputusan melakukan bunuh diri adalah puncak dari masalah yang tidak terlihat, seperti babak eksekusi dari sebuah penyelesaian masalah yang tidak mendapat edukasi yang benar,” tukas dia.
Kejadian bunuh diri ini lanjut Albina, seharusnya menjadi alarm untuk semua pihak.
Pemerintah dan masyarakat harus lebih serius melihat dan mengantisipasi situasi ini. Jika tetap terlena, maka Albina memprediksi akan banyak kasus serupa yang akan muncul dalam beberapa waktu ke depan.
Albina menjelaskan, bunuh diri pada kelompok anak remaja paling banyak didrive oleh rendahnya kemampuan menyelesaikan masalah pada anak.
“Yah kita semua kalah. Kalah dalam pencegahan dini! Meskinya semua orang tua memiliki pengetahuan kepentingan yang memadai. Anak-anak remaja awal seperti MI ini adalah kelompok anak yang harus mendapat porsi pendampingan perkembangan yang lebih banyak,” tegas Albina.
Lebih lanjut ujar dia, pada usia remaja awal anak biasanya mengalami krisis dalam self esteem, self image dan cendrung merasionalkan pemikiran egosentris yang ada dalam pemikiran mereka sendiri. Hal ini tentu saja menyebabkan salah dalam pengambilan tindakan peyelesaian masalah.
Pada tugas perkembangan seperti inilah pentingnya kehadiran orang tua secara intens.
Tantangan perkembangan anak-anak hari ini jauh lebih berat karena lingkungan yang sangat subur menyumbang pengaruh negatif.
Menurut Albina kondisi inilah yang menyebabkan ketahanan psikologis anak sangat ringkih dan mental disorder. Ditambah lagi dengan ketidakmampuan menghadapi tekanan sosial ekonomi, dan persaingan dengan teman sebaya.
“Akar masalah ini akan tersimpan secara tidak sadar di dalam alam bawah sadar sebagai manusia dan menjadi pemicu dalam kehidupan. Pemicu- pemicu tersebut bisa berupa masalah percintaan (putus cinta), bully, dikucilkan dari pergaulan, masalah punishment yang tidak relevan dari guru, judjing (menghakimi), penolakan-pengabaian, pola asuh otoriter, kekerasan orang tua, dan lainnya,” pungkas Albina mengakhiri pembicaraannya.
Penulis: Nansianus Taris
Editor: Adrianus Aba