Oleh: Edi Hardum
Wartawan dan advokat, saat ini sedang menyelesaikan tesis (S2) di Ilmu Hukum UGM
Hari-hari kampanye Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk periode 2018 – 2023 sangat berbeda dengan hari-hari kampanye Pilgub NTT periode-periode yang telah lewat.
Perbedaan sangat utama adalah salah satu calon Gubernur NTT periode 2018 – 20203 diduga kuat telah melakukan perbuatan tercela, bahkan amoral yakni menghamili pembantunya (pekerja rumah tangga-PRT).
Ia melakukan itu di saat ia masih sebagai pejabat negara. Sebagian masyarakat NTT yang tidak permisif dengan kejahatan seperti ini tentu merasa sedih, prihatin dan menyayangkan parpol yang meloloskan orang seperti ini menjadi calon Gubernur NTT.
Kasus ini sudah diangkat ke publik. Sudah ada media terbitan Jakarta (nasional) yang memberitakannya.
Bahkan beberapa hari sebelum sang calon ditetapkan menjadi calon gubernur oleh parpol tertentu, masyarakat dari daerah yang bersangkutan berunjuk rasa di depan kantor parpol yang mencalonkannya.
Namun, pihak parpol tidak gubris. Memang informasi yang dikumpulkan penulis bahwa kasus ini benar terjadi, namun telah diselesaikan secara hukum adat setempat.
Kasus ini memang termasuk kasus pidana yang harus diperiksa dan diadili secara hukum pidana. Namun, kasus ini merupakan delik aduan, dimana harus korban atau keluarga korban yang mengadu ke polisi, baru polisi mengusutnya.
Kalau tidak, tidak bisa diproses secara hukum negara. Penulis menduga mengapa kasus ini tidak dilaporkan ke polisi.
Pertama, patut diduga korban dan keluarganya buta hukum. Kedua, korban dan keluarga takut melaporkan ke polisi karena pelaku dan orang-orang di sekitarnya mengancam korban dan keluarga, apalagi pelaku adalah seorang pemimpin pemerintahan, pejabat.
Hal seperti ini sering terjadi di daerah terpencil terutama Flores. Contoh adalah kasus pembunuhan tiga warga Kampung Longge serta membakar sejumlah rumah warga Kampung Longge oleh warga Kampung Raba, Desa Raba, Kecamatan Masang Pacar tahun 2002.
Sampai saat ini para korban belum lapor ke polisi karena takut. Kasus ini diduga kuat didalangi Ketua DPRD Manggarai waktu itu.
Ketiga, korban menerima kasus ini diselesaikan secara adat dengan imbalan uang yang besar, serta korban menjamin hak keperdataan anak yang dilahirkan dari hasil hubungan intim mereka.
Hukum Adat (Manggarai)
Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Ada dua jenis hukum di Indonesia yakni hukum negara dan hukum adat (Ade Saptono, 2010:17).
Hukum negara adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah. Pemerintah di sini dalam arti yang luas yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Sedangkan hukum adat adalah hukum yang berlaku turun temurun sejak dulu. Pakar hukum Belanda Snouck Hurgronje mendefenisikan hukum adat sebagai hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasikan (tidak dibukukan dan disatukan).
Sedangkan Ter Haar Bzn mengatakan bahwa hukum adat adalah hasil keputusan kepala-kepala adat (Nico Ngani, 2012: 3 & 6).
Di Manggarai sudah ada hukum adat sejak dulu. Namun penulis belum menemukan sumber sejak kapan Hukum Adat Manggarai ada.
Namun, mengacu pada defenisi di atas, jelas Hukum Adat Manggarai ada sejak adanya persekutuan adat di Manggarai seperti kampung, kedahuluan dan kerajaan (adak Manggarai).
Semua kesalahan atau pelanggaran adat di Manggarai, ada semua mekanisme jalan keluarnya. Khusus dalam skandal seks, adat Manggarai dikenal istilah “tena”.
Contoh si A sudah beristri, berhubungan intim dengan seorang seorang gadis B. Si A tidak bisa menikahi si B, karena, pertama, istri sah si A tidak mengizinkan.
Kedua, si A beragama Katolik Roma, tidak mengizinkan menikahi dua perempuan atau berpoligami dan poliandri.
Maka permasalahan di si A dan B diselesaikan secara adat, dengan mekanisme “tena” yakni si A harus membayar seekor kerbau dan uang sebesar Rp 5 juta kepada si B dan keluarganya.
Jenis hewan dan besarnya uang umumnya tergantung kesepakatan dua belah pihaknya. Tapi umumnya paling tinggi satu ekor kerbau dan Rp 5 juta uang.
Selanjutnya pihak si A dan si B tidak ada ikatan apa-apa secara adat dan hukum termasuk anak yang dilahirkan dari hubungan intim mereka, hidupnya ditangggung si B atau si perempuan. Kembali ke salah satu calon Gubernur NTT yang diduga menghamil PRT di atas, penyelesaian adatnya lebih kurang seperti penyelesaian Adat Manggarai di atas.
Moralitas Pemimpin
Siapa pun bisa membaca buku atau literatur, dan akan mendapatkan banyak pemikir kebangsaan di sejumlah negara bahwa salah satu syarat bahkan syarat utama untuk menjadi pemimpin masyarakat dan negara adalah memiliki moralitas yang bagus. Sebabnya, seorang pemimpin sudah pasti menjadi panutan dan acuan bagi mereka yang dilayani, yang diperintah.
Kata moral mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia (Franz Magnis Suseno, 1989:19). Moralitas artinya kesusilaan (Kamus Ilmiah Populer).
Pemimpin yang tidak bermoral bisa, pertama, akan tidak berwibawa dan tidak dihargai oleh masyarakat.
Kedua, akan menjadi ikutan masyarakat untuk tidak bermoral seperti dia. Hal seperti ini bahaya !
Kalau seorang bupati kemudian menjadi gubernur pernah menghamili pembantu atau bahkan memperkosanya, maka bisa saja selanjutnya pemimpin di bawahnya melakukan hal yang sama bahkan lebih kejam.
Mereka akan berdalih,”Pak Bupati atau Gubernur saja pernah menghamili pembantunya kok, dan cuma diselesaikan secara hukum adat”. Kalau ini terjadi sungguh bahaya !!
Belajar ke Negara Lain
Indonesia adalah negara demokrasi. Oleh karena itu kita perlu belajar ke negara lain (demokrasi) mengenai skandal seks ini.
Di negara demokrasi seperti negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) pejabat yang merasa skandal seksnya tercium oleh publik maka sang pejabat akan mundur dari jabatannya.
Bukan melakukan bantahan sana-sini apalagi sampai mengancam membunuh orang-orang yang mendiskusikannya.
Contoh, pertama, Brooks Newmark, menteri berusia 56 tahun yang membidangi masyarakat madani, kabinet pimpinan PM Inggris David Cameron. Ia mengundurkan diri pada 29 September 2015 setelah ketahuan mengirim pesan-pesan porno kepada seorang wartawan yang menyamar sebagai aktivis.
“Ini semata-mata karena kekhilafan saya … saya telah bertindak bodoh,” kata Newmark, seperti dikutip BBC Indonesia.
Kedua, Gary Hart (51) seorang calon Presiden AS dari Partai Demokrat bersaing dengan George HW Bush dari Partai Republik dalam Pilpres AS 1988, harus mengundurkan diri dari pencalonannya karena ketahuan pernah melakukan skandal seks dengan seorang seorang wanita, Donna Rice, seorang model 29 tahun.
Padahal waktu itu Hart sangat fenomenal dan harapan besar bagi AS untuk membawa perubahan (M Subhan SD, Kompas, 11/1/2018).
Sebenarnya ada banyak pejabat Indonesia yang terlibat skandal seks, yang diawal-awal diketahui masyarakat akan skandal yang mereka perbuat, mereka membantah namun akhirnya mengaku dan mundur dari jabatan mereka.
Para pejabat itu antara lain, pertama, anggota DPR dari Partai Golkar, Yahya Zaini berbuat mesum dengan Maria Eva tahun 2006.
Kedua, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Max Moein berbuat mesum dengan Desi Firdiyanti tahun 2008.
Dua anggota DPR ini awalnya membantah keras dengan dugaan tindakan skandal seks yang mereka lakukan.
Namun, karena gencarnya pemberitaan media, maka akhirnya mereka akui juga, dan harus kehilangan jabatan sebagai anggota DPR.
Lalu bagaimana dengan salah satu calon Gubernur NTT yang diduga menghamili PRT-nya ? Menurut saya, pertama, sang calon sebaiknya mengundurkan diri dari pencalonannya.
Pasalnya, sepandai-pandainya ia membungkus akan berbau juga. Mungkin ia dan pendukungnya beralasan masalah itu sudah selesai secara hukum adat, tetapi perbuatannya akan menjadi preseden buruk ke depan.
Bisa saja anak muda daerahnya atau pejabat di bawahnya nanti, akan melakukan yang sama karena mengacu pada perbuatannya dan hanya harus diselesaikan secara hukum adat.
Kedua, kepada masyarakat NTT sebaiknya tidak memilih calon gubernur NTT yang diduga menghamili PRT-nya.
Ingat, beberapa hari lalu, seorang anggota DPRD di NTT dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan skandal seks dengan istri seorang PNS di daerahnya.
Saya pikir, bukan tidak mungkin kalau seorang calon gubernur yang diduga melakukan skandal seks dengan PRT-nya terpilih sebagai gubernur, maka semakin banyak pejabat di NTT, gubernur, kepala dinas dan bupati melakukan skandal seks.
Sekarang saja, sebagian pendukung sang calon gubernur yang dimaksud mengatakan, skandal seks yang dilakukannya tidak perlu dipersoalkan karena hal seperti itu biasa bagi seorang pejabat, sebagaimana dilakukan oleh Presiden pertama RI, Soekarno yang banyak istrinya.
Perlu diketahui, pertama, Soekarno menikahi semua perempuan yang disukainya. Beliau tidak hanya menghamili atau meniduri mereka saja. Kedua, Soekarno beragama Islam dimana dalam agama Islam membolehkan berpoligami.
Sementara sang calon yang dimaksud beragama Katolik, dan ia juga tidak menikahi PRT yang dimaksud. Perlu diketahui, saya menyampaikan ini dalam tulisan karena cinta akan NTT khususnya dan Indonesia umumnya.
Saya yakin masyarakat Indonesia umumnya dan NTT khususnya tidak ingin NTT dihuni pejabat-pejabat yang tidak menghargai perempuan apalagi pekerja rumah tangga.***