Ruteng, Vox NTT- Forum Pemuda Peduli Demokrasi (FP2D) menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Mencari Pemimpin NTT Yang Negarawan”. Seminar itu dilaksanakan pada Sabtu, 17 Maret 2018 di Aula Missio STKIP Santo Paulus Ruteng.
Seminar yang dibuka pada pukul 10.00 itu diikuti segenap elemen masyarakat yaitu Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP), Organisasi intra dan ekstra kampus, mahasiswa tiga perguruan tinggi di Ruteng, OSIS SMA/SMK dan Lurah se-Kecamatan Langke Rembong.
Seminar itu menghadirkan pembicara lokal dan nasional, diantaranya pengamat politik Romo Max Regus, pengamat sosial Gracia Paramitha dan praktisi pendidikan Romo John Boy Lon.
Dalam pemaparannya, Romo Max Regus mengkaji Pilgub NTT dari perspektif sosiologi politik. Menurutnya, ada tiga prinsip dan kekuatan utama dalam sebuah pembangunan, yakni negara (state), pasar (market) dan masyarakat (civil society).
“Sinergi tiga kekuatan ini akan menentukan apa yang disebut dengan ‘ruang publik’. Dalam konteks pembangunan, ‘ruang publik’ adalah arena kontestasi kepentingan tiga kekuatan,” katanya.
“Pemimpin politik mempresentasikan kehadiran negara yang merujuk pada birokrasi, pemerintahan, institusi wakil rakyat dan lain-lain yang memiliki klaim utama dalam bidang regulasi (UU), wewenang untuk menyusun dan mengatur kebijakan politik,” tambahnya.
Romo Max menjelaskan, masyarakat NTT membutuhkan pemimpin yang paham dan mampu menggabungkan tiga kekuatan utama tersebut. Ditanya soal pemimpin yang layak dari keempat kandidat yang akan bertarung dalam Pilgub NTT 2018, Romo Max mengatakan semua kandidat mendapat predikat cukup layak.
Sedangkan, Gracia Paramitha mengangkat topik “NTT dan Masa Depan Sosial Budaya Masyarakat”. Melalui topik itu, Gracia menyoroti persoalan kesejahteraan dan ketimpangan sosial yang melanda masyarakat NTT.
Padahal, kata Paramitha, NTT memiliki potensi dan sumber daya berlimpah yang dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat NTT.
Gracia juga menekankan kesiapan dan kesanggupan masyarakat NTT menghadapi tantangan yang diakibatkan laju global yang semakin masif.
“Ini wajib mendapat perhatian penuh dari calon pemimpin yang akan datang,” tegas Gracia.
Sebab itu, dia merekomendasikan beberapa hal yang wajib mendapat perhatian pemimpin NTT diantaranya pembangunan SDM (termasuk anak-anak dan perempuan), pemerataan ekonomi, fasilitas dan pelayanan kesehatan lebih memadai, konektivitas-digitalisasi sosial dan pembangunan sosial budaya yang berkelanjutan.
Pada kesempatan yang sama, praktisi pendidikan Romo John Boy Lon, mengangkat beberapa fakta buruknya kualitas pendidikan di NTT seraya menyinggung soal munculnya predikat yang melekat bagi provinsi NTT yakni terkebelakang, tertinggal, termiskin.
“Sejak 2010, IPM NTT berada di urutan 30 dari 34 provinsi di seluruh Indonesia dan di tahun 2016 berada di urutan 32, nilai 63, 13 % ; sementara rata-rata nasional nilai 70, 18%, dan meningkatnya usia anak putus sekolah,” jelas Boy Lon.
Menurut Romo John, ada beberapa persoalan yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di NTT, yakni profesionalisme guru, rendahnya pendapatan ekonomi masyarakat, kepemimpinan dan manajemen sekolah yang kurang profesional dan tidak visioner.
Selain itu, dia juga mengatakan hal lain yang menyebabkan buruknya kualitas pendidikan NTT adalah keberpihakan dan komitmen pemerintah terhadap pendidikan tidak tuntas dan futuristik, terkesan pragmatis dan rendahnya budaya mutu di sekolah.
“Rentetatan fakta buruk tersebut wajib mendapat perhatian dari calon pemimpin NTT lima tahun kedepan. Pemimpin yang mampu membawa perubahan, pembaharuan, terobosan dan harapan dalam peningkatan mutu pendidikan NTT adalah beberapa kriteria calon yang layak memimpin NTT,” ujarnya.
“Harapannya, pada tahun 2028 yang bertepatan dengan 100 tahun sumpah pemuda, muncul kelompok muda yang mampu mengubah Indonesia, kesejahteraan orang NTT bukan lagi di buntut tetapi di puncak, predikat 3 T menjadi tertinggi, terbaik dan terunggul,” imbuhnya.
Kontributor: Ano Parman
Editor: Adrianus Aba