Ruteng, Vox NTT- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus menyatakan, Kapolres Manggarai AKBP Cliffry Steiny Lapian harus dicopot dari jabatannya jika gagal mengungkapkan pelaku penembakan Almarhum Ferdinandus Taruk (27).
Warga Kelurahan Karot Kecamatan Langke Rembong Kabupaten Manggarai itu menjadi korban penembakan misterius di Karot Sondeng, pada 27 Maret 2018 lalu.
Ferdy Taruk akhirnya meninggal dunia di ruangan Dahlia RSUD dr. Ben Mboi Ruteng, Sabtu, 7 April 2018 sekitar pukul 09.30 Wita. Dia meninggal dengan kondisi peluru masih bersarang di kepalanya.
“Masyarakat Manggarai dan seluruh keluarga besar Alm. Ferdinandus Taruk, masih menyimpan rasa sedih yang mendalam bukan saja karena kehilangan Alm. Ferdinandus Taruk, akan tetapi juga penyidikan untuk mengungkap sebab-sebab kematiannya belum menemukan titik terang,” ujar Salestinus dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Minggu (15/04/2018).
Hingga kini, peristiwa penembakan misterius tersebut masih dalam penyelidikan pihak Polres Manggarai. Padahal menurut Salestinus proses penyidikan sudah berjalan selama tiga minggu, namun pelaku penembakan masih misterius.
Dia mengatakan, masyarakat kian penasaran karena tidak mendapatkan akses informasi terkait proses penyelidikan pihak pusat laboratorium forensik (puslabfor). Yang lebih penasaran lagi yakni kapan penyidik Polres Manggarai mengumumkan hasil autopsi jenazah Almarhum Ferdy Taruk.
“Penyidik sepertinya hanya mengandalkan jenis dan asal usul kepemilikan peluru, guna menentukan sekaligus memastikan apakah peluru itu bersumber dari senjata yang dimiliki oleh oknum aparat yang pada malam itu, (yang) disebut-sebut sedang melakukan operasi pembasmian anjing rabies,” tukas salah satu advokat Peradi itu.
Menurut Salestinus, jika penyidik hanya mengandalkan pembuktian dari jenis, nomor dan ukuran peluru yang bersarang di kepala korban, maka dikhawatirkan akan ada permainan untuk menghilangkan jejak pelaku.
Dia beralasan, selain karena faktor mentalitas oknum aparat, juga pengawasan hampir tidak ada untuk mencegah terjadinya manipulasi.
“Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam proses Puslabfor,” tandasnya.
Belajar dari Kasus Pastor Faustin
Masyarakat Flores, contoh Salestinus, pernah ada pengalaman tidak menyenangkan ketika proses penyidikan terhadap sebab-sebab kematian Almarhum Pastor Faustin Sega di Ngada, Bajawa pada tahun 2008 lalu.
Dia mengisahkan, kala itu jenazah Pastor Faustin berujung diautopsi pada 14 Februari 2009.
Semula penyidik Polres Ngada menyatakan, Almarhum Pastor Faustin meninggal dengan wajar karena mengidap penyakit. Atas kesimpulan itu, jasad Pastor Faustin pun langsung dikuburkan.
Namun, pihak-pihak Gereja dan JPIC yang mengurusi jenazah Pastor Faustin melihat sejumlah tanda mencurigakan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah timbulnya perbedaan pendapat terkait penyebab kematian Pastor Faustin. Perbedaan pendapat tersebut antara penyidik Polres Ngada dengan TPDI dan JPIC Keuskupan Agung Ende.
“Karena kinerja sangat buruk aparat Kepolisian Ngada, Bajawa, sehingga bukan saja tuntutan agar jenazah Alm. Romo Faustin digali untuk diautopsi semakin menguat, tetapi juga Kapolres Nagada dan beberapa penyidik yang nakal yang mempersulit pengungkapan kematian Alm. Romo Faustin harus dicopot,” tutur Salestinus.
Dia melanjutkan, tuntutan ini rupanya didengar pimpinan Polri. Alhasil, Kapolres Ngada dan sejumlah penyidik diganti. Selanjutnya, Tim Dokter Forensik dr. Mu’nim Idris (Alm.) dari Jakarta didatangkan untuk melakukan autopsi jenazah Pastor Faustin.
Menurut Salestinus, sebagian hasil autopsi langsung diumumkan pada 14 Februari 2009 juga. Dokter Mu’nim Idris menyatakan, Pastor Faustin meninggal karena benturan kekerasan di kepala alias dipukul dengan benda keras.
“Lalu bagaimana dengan sebab-sebab kematian Alm. Ferdinandus Taruk yang hingga saat ini Polres Manggarai seolah-olah hanya mengandalkan peluru yang dioperasikan dan saat ini masih di Puslabfor Denpasar Bali?” demikian Petrus kembali ke soal kematian Ferdy Taruk.
Menurut dia, proses penyelidikan itu harus ada pengawasan internal Polda NTT. Salestinus juga meminta harus ada pengawasan dari masyarakat, advokat, pers dan gereja.
Pengawasan penting dilakukan agar hak-hak korban dan keluarganya, serta masyarakat Manggarai tidak dirugikan hanya karena rendahnya rasa tanggung jawab Polisi.
Salestinus menegaskan, ada banyak pengalaman dalam menghadapi kasus-kasus terkait upaya mendapatkan keadilan bagi rakyat kecil di NTT. Ketika harus berhadapan dengan kinerja dan mentalitas aparat seakan-akan harga orang NTT tidak lebih baik dari manusia di belahan yang lain.
“Negara sudah keluarkan anggaran belanja untuk Polri guna meningkatkan pelayanan keadilan dan ketertiban masyarakat, mengapa ketika menyangkut Alm. Ferdinandus Taruk dan lain-lain, ko susuahnya bukan main,” tandas Salestinus.
Menurutnya, Pimpinan Polri tidak boleh memandang remeh persolan pelayanan publik yang sangat buruk bagi kepentingan warga. Itu masyarakat terutama rakyat kecil yang memiliki hak yang sama.
“Hentikanlah diskriminasi dalam pelayanan publik khsusnya bagi rakyat kecil. Ciptakan dan kembalikan budaya kerja dan budaya hukum dengan menghargai, serta memperlalukan semua orang sama di hadapan hukum, apalagi rakyat kecil juga sama-sama membayar pajak termasuk untuk menggaji Polisi. Mengapa rakyat sulit mendapatkan pelayanan keadilan secara proporsional,” tutupnya.
Baca: Kapolres Manggarai Tanggapi Permintaan TPDI
Penulis: Adrianus Aba