Oleh: Alfred Tuname*
Diskursus Pilkada 2018 khususnya di NTT masih berpilin pada wara-wiri para politisi di media, medsos atau safari politik.
Anak muda menyebutnya sebagai “tepe-tepe” atau tebar pesona. Jam tayang tebar persona ini genjar dilakukan untuk menjemput simpati dan memupuk empati masyarakat.
Tentang itu ada quote menarik datang dari politisi PBB Manggarai Timur, Sipri Habur: “politisi punya panggung, masyarakat punya (roeng) punya hati. Politik punya kebijakan, masyarakat punya pilihan”.
Tebar pesona politik terkait dengan konteks itu, yaitu panggung dan pilihan. Empati dan simpati selalu datang dari bisikan hati masyarakat atas sepak-terjang dan kedekatan emosional kepada sang figur.
Pada alas itulah popularitas seorang kandidat dipertaruhkan. Partai politik (parpol) juga meletakan pilihan dukungannya atas dasar tingkat popularitas itu.
Rumusnya, popularitas berkorelasi linear dengan elektabilitas. Meskipun tak selamanya itu menjadi “rumus identitas”, tetapi korelasi itu ada. Karenanya survei-survei popularitas calon selalu jadi pegangan parpol untuk memastikan dukungannya.
Oleh karena itu, menuju pilkada tahun 2018, baliho-baliho calon kandidat bertebaran di pasang di mana-mana.
Baliho bisanya hanya dipasang di jalan-jalan strategis, jalan kabupaten, provinsi atau negara.
Maksudnya adalah agar baliho-baliho tersebut berdampak pada survei-survei popularitas bakal (pasangan) kandidat. Ujungnya adalah dukungan parpol.
Pada konteks NTT, parpol hanya berfungsi sebagai “kendaraan politik” untuk syarat pencalonan pasangan calon dalam Pilkada.
Di luar konteks jalur independen, pencalonan jalur parpol mensyaratkan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pemilu DPRD. Untuk memenuhi persentasi itu, koalisi beberapa partai bisa dilakukan untuk mengusung kandidat tertentu.
Komposisi parpol pengusung sangat penting dalam syarat pencalonan. Calon yang kuat sekalipun bisa saja gagal daftar apabila syarat persentasi parpol pengusung tidak mencukupi.
Di sini, parpol (hanya) sebagai kendaraaan politik, tetapi sangat penting untuk menghantarkan calon menuju kekuasaan politik.
Karena pemilih(voter) di NTT cenderung pada pemilih emosional dan primordial, parpol hanya menghantarkan kandidat pada gerbang pesta demokrasi Pilkada.
Selanjutnya, masyarakatlah yang menentukan pemimpin terbaik dari yang baik. Volatilitas pemilih (voter volatility) pada Pilkada sangat tinggi.
Nyaris tak ada pemilih yang dekat dengan basis idologis parpol. Pemilih cenderung mengikuti sentimen wilayah, budaya dan agama dalam menentukan pilihan.
Oleh karena itu, parpol juga perlu berhati-hati dalam berkoalisi untuk mengusung paket pasangan tertentu.
Pemetaaan politik (political mapping) untuk menentukan mengusung paket Pilkada perlu dipertimbangkan secara matang. Dengan begitu, parpol dapat secara bijak menetukan dukungan.
Semua itu tentu karena parpol tidak saja sekadar mengusung paket tertentu, melainkan berimbas pada politik kekuasaan dan pengaruh politik di daerah.
Tentu dalam menentukan dukungan parpol, pimpinan pusat parpol harus mempertimbangankan suara-suara pimpinan parpol di daerah.
Kedekatan pimpinan pusat dengan kandidat tertentu dan mahar politik seharusnya menjadi pertimbangan terakhir dalam menentukan dukungan.
Jika SK (surat keputusan) parpol pusat salah menentukan dukungan, maka kader-kader partai di daerah tidak akan mengikuti keputusan itu.
Kader parpol di daerah pasti mengikuti feeling politik sendiri. Sebab, kader parpol daerah punya matematika politik sendiri untuk keterpilihan di Pileg 2019.
Jelas, kemenangan paket Pilkada 2018 yang didukungnya berpengaruh besar pada keterpilihannya di Pileg 2019.
Pilkada 2018 di NTT
Pilgub NTT dan Pilkada di beberapa kabupaten di NTT akan berlangsung bersamaan di tahun 2018.
Pada Pilgub, pasangan kandidat harus memperoleh 13 kursi DPRD provinsi. Sementara di tingkat kabupaten, pasangan kandidat harus mendapat dukungan 20 persen kursi DPRD kabupaten bersangkutan.
Sebagai contoh, pada Pilkada Kabupaten Manggarai Timur (Matim) tahun 2018, pasangan kandidat harus mendapat 6 kursi DPRD kabupaten.
Pada Pilgub NTT dan Pilkada Matim 2018, tidak ada parpol yang dapat mencalonkan pasangan kandidat tunggal.
Di tingkat provinsi, kursi terbanyak adalah 11 kursi (Partai Golkar), diikuti 10 kursi (PDIP), 8 kursi (Demokrat, Gerindra, Nasdem) dari total 65 kursi DPRD Provinsi NTT.
Partai Gerindra sudah mengusung Esthon Fuenay-Christian Rotok (Esthon-Christ). Benny K Harman (BKH) berpeluang mendapat partai Demokrat.
Sementara PDIP masih dipusingkan dengan empat figur kuat, yakni Raymundus Sau Fernandes, Lusia Adinda Leburaya, Kristo Blasin dan Daniel Tugu Dedo. Masing-masing DPC PDIP di daerah menjagokan pilihannya masing-masing.
Partai Golkar mengusung Ibrahim A. Medah, tetapi dukungan itu sepertinya tidak kuat. Tampak ia berjuangan sendiri setelah lamarannya kepada Marianus Sae, bupati Ngada, ditolak. Artinya partai Golkar tidak bisa berkoalisi dengan partai PAN (5 kursi DPRD provinsi).
Boleh jadi, koalisi parpol pusat akan terjadi juga di NTT. Partai PAN, Demokrat, PKS dan PKB akan mendukung BKH (20 kursi); Hanura dan Nasdem akan mengusung kader PDIP (23 kursi).
Gerindra bila merebut kursi PKPI (3 krusi) tetap saja masih gantung (hanya 11 kursi). Eston-Crist harus merebut dukungan partai PKS dan PKB untuk bisa mencalonkan diri dalam Pilgub. Sebab, partai PAN dan Demokrat nyaris sudah jadi koalisi yang intim (13 kursi).
Sementara Golkar mungkin akan bergabung dengan koalisi yang ada sebab Golkar belum memiliki kader yang populis dan muda.
Perilaku politik Partai Golkar biasanya membebek pada kandidat yang dianggap kuat atau disebut “Hotel California syndrome”.
Komposisi matematis kolisi parpol tersebut bisa saja berubah. Semua tergantung pada kalkulasi politik kekuasaan. Tentu logika politik adalah logika kekuasaan. Everthing is possible.
Dari komposisi parpol yang ada, koalisi parpol di Pilgub NTT tentu tidak mesti simetris dengan koalisi parpol di Pilkada kabupaten.
Jika saja ada perbedaan komposisi koalisi parpol di Pilgub NTT dan Pilkada kabupaten, perbedaan itu belum tentu berpengaruh signifikan.
Sebab, perilaku pemilih lebih condong pada kedekatan emosional, sentimen wilayah dan popularitas kandidat. Pemilih di daerah memiliki “rasionalitas” politiknya sendiri sehingga politik pun tidak sanggup memahaminya.
Dalam event demokrasi, parpol dan tim kerja pemenangan boleh saja mengatur irama politik, tetapi akhirnya masyarakat (voters) yang menentukan.
Harapanya, rencana kebijakan dan pengalaman para kandidat menjadi bahan baku pertimbangan, di samping sisi emosionalistas dan sentimen. Lagi, menyitir poltisi Sipri Habur, “politik punya kebijakan, masyarakat punya pilihan”. ***
Alfred Tuname, Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)