Oleh: Alfred Tuname*
Politik ternyata tidak hanya melebarkan jejaring kekuasaan. Politik juga dapat memutuskan benang-benang kekuasaan itu.
Politik memanjakan penguasa ketika ia menjadi sentral sumber kekuasaan. Privilege dan perlakuan istimewa menjadi menu harian seorang penguasa. Apa pun keinginan seorang penguasa, sepertinya begitu mudah dikabulkan.
Akan tetapi, ketika kekuasaan politik itu terlepas dari tangan, semua privilege dan perlakuan istimewa akan berangsur-angsur hilang. Puja-puji hilang serentak. Tak ada lagi yang mau menjadi hamba atau pelayan atas kehendak seorang yang kehilangan kekuasaan.
Seorang yang pernah berkuasa lama paling rentan terhadap situasi itu. Jika tidak disikapi secara bijak, seseorang akan mengalami gangguan psikologis. Dalam kondisi tidak sedang berkuasa, ia masih merasa berkuasa. Inilah yang disebut dengan sindrom pasca berkuasa atau post power syndrome.
Membayangkan diri masih berkuasa, padahal sudah “pensiun” adalah gejala psikologis yang menyakitkan. Tetapi itu menyakitkan bagi seorang penguasa yang haus akan kekausaan. Seorang pemimpin yang selalu ingin menjadi pusat perhatian publik dan media masa akan rentan terhadap post power syndrome.
Akan lebih buruk bila seorang pemimpin tidak mewariskan nilai-nilai kebijaksanaan selain bertumpuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Seorang pemimpin yang dimanjakan dengan praktik KKN akan menerima risiko sosial dan politik ketika ia digantikan. Secara sosial ia tidak akan dianggap; secara politik semua jaring kekausaan, kaki-tangan, dan penjilatnya akan dibabat habis.
Konteks Nasional
Dalam konteks nasional, pengaruh politik mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah habis. Dalam banyak penilaian para pakar politik, ia disinyalir mengidap “penyakit” post power syndrome.
Determinasi keterlibatan SBY dalam pencalonan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (paket Agus-Sylvi) dinilai sebagai hasrat SBY untuk kembali berkuasa. Tentu hal itu berarti SBY menjadi “the godfahter” bila saja Agus-Sylvi lolos dalam putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017.
Selain itu, cuitan-cuitan SBY di twitter (@SBYudhoyono) dinilai sebagai upaya mencari perhatian publik. SBY masih dinilai sebagai mantan presiden yang haus akan puja-puji, sebab ia dibesarkan dari politik pencitraan. Oleh karena itu, kehilangan kekuasaan sebagai presiden membuat jaring-jaring kekuasaan SBY terlihat rapuh, rontok dan patah. Dalam urusan politik nasional, kekuasaan politik SBY sudah habis.
Kerapuhan SBY itu berbeda jauh dengan keteguhan mantan Presiden Amerika George W. Bush. Di tengah gempita politik sambut kemenangan Barack Obama sebagai presiden Amerika, Bush malah bersyukur karena ia bebas dari beban dan tanggung jawab. Ia bisa bangun pagi, ngopi, baca koran dan lain sebagainya. Ia bahkan sangat bahagia kembali menjadi warga Amerika biasa. Bush tak lagi berpolitik praktis di negara super power itu. Ia tampak bebas dari post power syndrome.
Karier politik seorang penguasa yang mengidap post power syndrome akan habis dan terhenti. Ketika ia memiliki legacy yang buruk selama kepemimpinannya, generasi akan menjadikannya sebagai simbol kehancuran dan perusak nilai-nilai demokrasi.
Konteks Lokal
Dalam sistem demokrasi politik, seorang pemimpin (presiden, gubernur, walikota, dan bupati) hanya dapat memegang jabatan yang sama selama 10 tahun. Setelah dua periode kepemimpin politik, seorang tidak dapat mencalonkan diri lagi dalam pemilu dengan jabatan yang sama.
Sepuluh tahun dalam kepemimpinan politik adalah rentang waktu yang tidak terasa. Tetapi bagi seorang pengausa, waktu itu akan semakin terasa di jelang ia tidak lagi berkuasa. Celakanya, dijelang ketidakberkuasaannya, ia tidak mampu menerima calon pemimpin politik yang lain. Bayang-bayang kuasa dan kehebatan muncul di tengah proses regenerasi kemimpinan politik.
Dalam konteks Pilkada, seorang gubernur atau bupati yang sudah berkuasa dua periode tampak kelabakan ketika merasa ia akan digantikan. Biasanya di jelang Pilkada mulai memaksimalkan kekuasaan politiknya untuk menjegal pihak-pihak yang dirasa mengancam kenyamanan politiknya. Ia pun mulai mencari pion-pion politik yang bisa dimanfaatkan. Pion-pion politik tersebut adalah orang-orang yang bisa dikuasai dan diatur.
Gubernur atau bupati membentuk pion-pion politik jelang Pilkada adalah gubernur atau bupati yang bisa disinyalir mengidap post power syndrome. Ia tidak siap menerima kenyataan politik dan ingin terus berkuasa melalui pion-pion politik. Sayangnya, pion-pion politik tersebut adalah orang-orang oportunis yang hanya bisa diandalkan ketika “sang master” masih berkuasa. Ketika sang master lengser, pion-pion politik pun akan tumbang dan bahkan saling tabrak.
Sang master adalah gubernur atau bupati itu sendiri. Gubernur atau bupati yang mewarisi tertidakbecusan politik kebijakan akan dengan sendirinya ditinggalkan masyarakat. Karier politiknya akan habis dan kandas seturut usianya yang uzur.
Post power syndrome muncul dari situasi ini, yakni situasi merasa tidak dianggap, tidak memiliki fungsi eksekutif, tidak diakui dan lain sebagainya. Sindrom pasca berkuasa lahir dari situasi tidak lagi berkuasa.
Sindrom pasca berkuasa adalah penyakit orang-orang yang haus akan kekausaan. Gubernur atau bupati yang mengidap sindrom tersebut hanya akan terus berkuasa dalam hayalan. Jika di purna tugasnya ia tidak bijak membawa diri dan menerima kenyataan, maka ia cenderung paranoid dan gagal “move on” politik.
Pesannya adalah gunakan kekuasaan itu sebaik mungkin demi kebaikan bersama. Kekuasaan politik itu amanah yang ditata kurun waktu tertentu. Selebihnya, kekuasaan tidak lebih dari cara menguasai diri dari ego untuk terus berkuasa.
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)