Oleh Inosentius Mansur *
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menekankan perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan politik.
Sebagian orang mengecam pernyataan tersebut sambil memberi argumentasi bahwa politik tidak bisa terlepas dari agama. Memang benar bahwa tanpa basis etis-religius (agama), politik akan menjadi instrumen sekular belaka dan tidak berorientasi humanis.
Sementara agama tanpa politik akan menyebabkan ajaran agama kehilangan sarana artikulatif. Sebab dalam dan melalui politiklah, ajaran agama dapat direalisasikan.
Dengan demikian, tidak perlu ada dikotomi ekstrem antara agama dan politik. Keduanya berjalan dalam relasi simbiosis-mutualisme. Namun demikian, apakah pernyataan Jokowi itu bermaksud untuk menegasi relasi antara agama dan politik? Hal itulah yang coba saya elaborasi dalam ulasan ini sambil mengaitkannya dengan fakta intoleran yang akhir-akhir ini semakin massif.
Kritik
Saya meyakini bahwa pernyataan Presiden Jokowi merupakan kritik atas “keterlibatan” agama dalam mendesain upaya-upaya provokatif di dalam ruang publik kita.
Adalah fakta bahwa beberapa orang yang beragama seringkali tidak menjabarkan ajaran agama mereka sesuai nalar dan etika publik, tetapi dipakai untuk merancang ekses-ekses distortif.
Memang benar bahwa marwah agama dapat menjadi rujukan nalar keadaban (public use of reason). Agama, kata Habermas, dalam Zwischen Naturalismus und Religion (2005), memiliki posisi vital karena sensibilitasnya terhadap berbagai “kegagapan”.
Namun, hal seperti inilah yang sedang diuji dalam ruang publik bangsa Indonesia saat ini. Agama tidak hanya hadir sebagai elemen solutif di tengah pluralisme bangsa, tetapi juga acapkali menjadi monster yang memporak-porandakan integrasi dan kebinekaan.
Agama diinstrumentalisasi untuk mendukung hasrat sekular. Agama malah mempertajam polarisasi dan menjadi rahim bagi cikal-bakal gerakan-gerakan diisintegratif. Agama terjebak atau dijebak ke dalam orientasi pragmatis. Ajaran agama didekonstruksi demi mendukung cita-cita politik. Ajaran agama ditafsir dan dipelintir untuk memback-up praksis politik konspiratif bahkan anarkis.
Agama pun seringkali dijadikan sebagai dasar untuk melegitimasi tindakan-tindakan salah kaprah. Agama yang diharapkan mengembalikan sakralitas ruang publik, malah secara sistematis mendesakralisasi ruang publik tersebut.
Apa yang disinyalir oleh Franz Magnis-Suseno dalam Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme (2015) bahwa agama menjadi titik lemah bangsa Indonesia, kini mendapat jawabannya dalam realitas keterlibatan agama dalam mendukung upaya nirpolitik.
Agama kini menjadi biang perpecahan bangsa, terkadang menjadi rujukan untuk menolak Pancasila dan mengeliminasi kebhinekaan. Hal itu dapat kita lihat dalam organisasi-organisasi masyarakat (ormas) radikal yang mengaku sebagai acuan kebenaran dan kesucian sambil secara anarkis mengkafirkan yang (agama) lain.
Integrasi Ruang Publik
Dalam konteks Negara Republik Indonesia yang terdiri dari banyak agama, suku, pulau dan ras, kehadiran agama dan eksekusi ajarannya mesti berorientasi pada terciptanya integrasi dalam ruang publik.
Ruang publik, demikian Habermas dalam “The Public Sphere”, Rethingking Popular Culture: Contemporary Perspective in Culture Studies (C. Murkerji&M.Schudson [Eds.] 1991), adalah tempat berkumpul bersama guna mendiskusikan berbagai persoalan sosial secara bebas tanpa represi.
Itu berarti memberi kebebasan dan kesempatan bagi terciptanya diskursus bermartabat dengan penguatan civil society tanpa intervensi represif termasuk yang berkedok agama/dogma religius.
Ruang publik adalah “ruang bersama” dan tidak boleh diprivatisasi apalagi dipolitisasi. Tentu saja dengan harapan bahwa hal tersebut memungkinkan terselenggaranya komunikasi dialektis rasional demi mendukung keadaban ruang public itu sendiri.
Hal seperti itu dapat tercapai jika agama tetap berperan kritis dan tidak mudah digiring ke ranah politik praktis. Dengan begitu, agama terhindar dari jebakan sistematis yang justru mereproduksi sistem-sistem represif.
Agama mesti menjadi “rahim” bagi setiap orang untuk menyadari tanggung jawab publiknya melalui pelibatan aktif dalam diskursus rasional dan tindakan pluralis. Ajaran agama mesti memungkinkan tersedianya ruang rasional-partisipatif dimana semua orang merasa berkewajiban untuk berpartisipasi demi penguatan keutuhan bangsa.
Adalah tanggung jawab agama untuk “memobilisasi” umatnya agar berpartisipasi dalam diskursus sehat dan mendukung integrasi ruang publik yang telah dicabik-cabik dan dirobek oleh libido politik pragmatis. Dengan demikian, agama turut menjaga integrasi ruang publik sekaligus melindungi bangsa dan Negara dari bahaya disintegrasi.
Hermeneutika Berdimensi Kebhinekaan
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, setiap pemeluk agama perlu menyadari bahwa kita beragama dalam konteks Indonesia dan bukan ber-Indonesia dalam konteks agama tertentu.
Konsekuensinya, agama mesti memperkuat ke-Indonesiaan dan menjaga kebinekaan sebagai aset bangsa. Untuk itu, agama perlu merancang metode kontekstual agar “maklumat-maklumatnya” menjadi solusi atas berbagai problem yang menyangkal pluralisme.
Persoalan-persoalan sosial-politik yang berpotensi memecah-belah bangsa mesti menjadi pijakan refleksi setiap agama. Agama mesti menjadi pilar etik yang memperkuat sistem kebinekaan dan menjadai elemen pendukung integrasi sosial.
Agama perlu mengagendakan terciptanya kesadaran kolektif untuk melawan segala upaya yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena itu, ajaran agama perlu ditafsir secara progresif-kontekstual. Kajian-kajian hermeneutis agama mesti merujuk pada fakta kebinekaan/pluralisme, sehingga mampu menciptakan iklim kehidupan bersama yang solid dan Pancasilais.
Agama perlu mengelaborasi fakta kebinekaan sambil mencari format hermeneutika yang tepat agar tidak terperangkap dalam desain parsial kelompok-kelompok tertentu.
Hermeneutika agama perlu memahami sistem nilai yang menjadi rujukan kehidupan berbangsa. Sistem nilai yang mendasari kehidupan bernegara, demikian Franz Magnis-Suseno dalam Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1999), harus berorientasi pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan bukan sebaliknya.
Jika tidak, agama dan keberagamaan akan terjebak dalam orientasi politik pragmatis yang justru menyangkal nilai-nilai kemasyarakatan dan mengorbankan esensi kebinekaan. Dengan demikian, ada rujukan etik-moral yang berusaha untuk memposisikan agama pada tataran solutif.
Dengan begitu pula, agama tidak dikuasai oleh kelompok-kelompok radikal dan intoleran yang berusaha untuk menggempur dan menyetir hukum dan politik berdasarkan kepentingan mereka.
Kita berharap agar agama tidak (lagi) dipakai untuk menekan kelompok-kelompok minoritas apalagi mencap mereka sebagai golongan kafir. Agama yang benar adalah agama yang ajarannya tidak melawan semangat persatuan.
Agama yang benar adalah agama yang tidak memperlakukan kebenaran secara tidak benar dan memperlukakan keadilan secara tidak adil.
Agama mesti menampilkan dimensi Ilahi yang berusaha untuk menjunjung tinggi toleransi, cinta kasih, kedamaian dan saling menghargai.
The last but no least, kita berharap agar para politikus tidak lagi menjadikan agama sebagai “basis etik-religius” untuk mendukung kepentingan politik yang tentu saja mengancam martabat hukum dan demokrasi.
Elite-elite politik bertanggung jawab untuk menjaga nalar publik agar tidak terkooptase paham-paham radikal dan intoleran dari pemeluk agama tertentu.***
*Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere