Oleh: Inosentius Mansur *
Beberapa waktu lalu, Forum Keadilan untuk Lewo Tanah Flores Timur (FOKAL-FOLTIM) melakukan gerakan mengeritisi beberapa kebijakan pemerintah dan DPRD Flores Timur yang dinilai tidak pro rakyat dan berpotensi korupsi (VoxNTT, 19/05/2017).
Esensi gerakan itu adalah meminta agar penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagaimana telah ditetapkan oleh Bupati Yosep Lagadoni Herin benar-benar dipergunakan untuk kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 (pasal 12 ayat 1) dan bukannya lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan elite-elite (penguasa).
Memprihatinkan, karena ternyata dari postur anggaran yang ada, diketahui lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan operasional elite-elite politik dan penguasa.
Sedangkan untuk rakyat, hanya sebagian kecilnya. Padahal APBD, pertama-tama mesti dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Konsekuensinya, desain penjabaran dan penggunaan APBD mesti berdasarkan “fakta-kerakyatan”.
Dengan kata lain, APBD harus dipergunakan untuk membebaskan rakyat dari problem sosial yang seringkali membelenggu mereka. Patut dicurigai apa yang terjadi di Flotim itu merupakan salah satu bukti bahwa seringkali APBD “diselewengkan” untuk kepentingan-kepentingan parsial.
APBD bukan lagi digunakan untuk menjawab harapan masyarakat, tetapi malah dipakai untuk mengakomodir harapan elite-elite publik. Harapan publik agar APBD menjadi matra solutif di tengah problematikan sosial pun masih jauh panggang dari api.
Saya takut, hal semacam ini bukan hanya terjadi di Flotim saja, tetapi terjadi di hampir semua daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Adalah benar bahwa setiap pemimpin daerah memiliki otoritas untuk menetapkan dan mendesain penggunaan anggaran. Itu adalah hak “prerogatifnya”.
Namun demikian, otoritas seperti itu tidak boleh hanya mengartikulasikan hasrat-hasrat sekunder yang tidak bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat. Otoritas seorang pemimpin tidak pernah bertolak belakang dengan kondisi riil rakyatnya. Sungguh ironis, karena alih-alih dipakai untuk kepentingan rakyat, APBD justru lebih banyak dipakai untuk kepentingan orang-orang yang memiliki posisi publik.
Mestinya, penggunaan dana itu merujuk pada kajian dan analisis atas apa yang terjadi dan apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat akar rumput.
Pada kenyataanya, rakyat lebih membutuhkan dana itu daripada hanya sekadar diperbelanjakan untuk “memudahkan” elite-elite melakukan mobilisasi atau pun untuk “memanjakan” diri dengan fasilitas-fasilitas mewah.
Skala Prioritas
Dari perspektif politik, seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis mesti memiliki agenda liberatif, terutama untuk membebaskan rakyat dari derita sosial. Ia ada hanya untuk rakyat. Rakyat adalah “belahan jiwanya”.
Ia mesti mampu membantu rakyatnya keluar dari kegeisahan-kegelisahan dan kegalauan-kegalauan yang disebabkan oleh banyak distorsi dan kepincangan sosial. Eksistensinya tak boleh terlepas apalagi secara tega “melepaskan rakyat”.
Jika demikian, adalah sungguh naif jika agenda pembangunan pemimpin tidak menjadikan kepentingan rakyat sebagai skala prioritas.
Memang benar bahwa fasiltas-fasilitas mewah untuk memperlancar mobilisasi publik seorang pemimpin itu sangat penting. Tetapi alangkah tidak eloknya, jika fasilitas seperti itu digunakan untuk kepentingan elite sementara masyarakat sedang menderita.
Sungguh tidak etis, jika elite-elite publik mendapatkan fasilitas serba mewah, sedangkan rakyat “menjerit-jerit” karena dikepung oleh berbagai kesulitan hidup.
Alangkah menyedihkan jika di tengah pembangunan yang tidak merata, infrastruktur yang tidak memadai, pengangguran yang semakin meningkat, human trafficking yang semakin menjadi-jadi, disparitas yang semakin melebar, justru tampil para elite publik dengan segala kemudahan yang ada bahkan terkesan hedonis dan materialis.
Elite-elite publik semestinya memikirkan agenda yang urgen atau yang menjadi skala prioritas. Mereka mesti memiliki kemampuan untuk meredam segala bentuk keinginan-keinginan yang tidak bersifat liberatif. Elite publik mesti memiliki sense of crisis di tengah kebangkrutan sosial rakyat. Untuk itu, rujukan utama dalam menggunakan APBD adalah kepentingan rakyat.
Hendaknya pemerintah secara arif menentukan, mana yang paling utama dan siapa yang paling membutuhkan dana itu, apakah para elite ataukah rakyat. Jangan sampai ada kapitalisasi APBD dan dikapling-kapling untuk memenuhi apa yang tidak terlalu penting untuk dipenuhi.
Pengawasan Publik
Kita semua patut mewaspadai, jangan kejadian seperti ini terjadi secara terus-menerus di beberapa daerah di NTT. Amat boleh jadi, ke depannya muncul berbagai manipulasi dan desain-desain pragmatis yang berusaha untuk “merampok” APBD secara sistematis. Karena itulah, apa yang telah dilakukan oleh FOKAL-FLOTIM mesti menginspirasi kita semua.
Kita mesti secara kolektif membangun peradaban kritis dengan selalu mencermati penggunaan APBD agar benar-benar dipakai untuk kepentingan rakyat. Elemen-elemen sosial mesti bersinergi mengawasi rancangan dan penggunaan dana APBD.
Kita berhak meminta agar APBD dikelola secara transparan dan mesti dipergunakan bagi kepentingan rakyat. Hal ini juga merupakan bentuk tanggung jawab publik kita sebagaimana esensi dari demokrasi itu sendiri. Publik juga berhak untuk mendesak agar sejak awal, perencanaan penggunaan APBD benar-benar melibatkan rakyat dan bukannya hanya melibatkan sebagian elite saja. Sebab seringkali apa yang disuarakan oleh elite-elite publik bertolak belakang dengan apa yang menjadi harapan rakyat.
Tentu saja kita berharap, agar setiap kepala daerah tidak merancang penggunaan APBD dalam kolaborasi dengan elite-elite saja. Setiap kepala daerah harus menyelami dan memanifetasikan cita-cita rakyat dengan menggunakan APBD sesuai esensinya. APBD tidak boleh diprivatisasi apalagi “dicaplok” untuk memenuhi keinginan segelintir orang, lantas mengabaikan apa yang menjadi harapan bersama. APBD tidak boleh “dibajak” secara sistematis lantas tidak mengindahkan realitas ketertinggalan rakyat dalam segala aspek kehidupan. Kita tidak akan bisa maju jika APBD selalu “dirampok” untuk hal-hal yang tidak urgen.***
*Ino Mansur, Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere.