Oleh: Inosentius Mansur *
Bagi umat katolik, bulan Mei dan Oktober merupakan bulan Maria. Dikatakan demikian, karena pada kedua bulan ini, seluruh umat katolik melaksanakan doa rosario bergilir untuk menghormati bunda Maria.
Maria dijadikan sebagai model iman, karena “bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas” (LG 56). Ia taat kepada kehendak Allah. Tulisan ini berusaha merefleksikan dimensi sosial-politik dari peran Maria seturut keyakinan umat katolik itu.
Alasan
Menurut saya, ada dua alasan mengapa Maria harus dihormati secara khusus. Pertama, sebagai pengantara, umat katolik meyakini bahwa permohonan manusia akan sampai kepada Yesus jika disampaikan lewat Maria (Per Mariam Ad Jesum).
Maria adalah sebagai “orang dalam” yang “melobi” Kristus untuk segera merespons dan mengartikulasikan harapan manusia. Maria diyakini akan menggunakan “otoritasnya” sebagai “ibu Tuhan” untuk membawa segala permohonan manusia kepada Puteranya.
Banyak kesaksian iman yang memperkuat hal ini. Seringkali doa yang disampaikan lewat Bunda Maria (misalnnya novena 3 kali Salam Maria), terkabulkan. Paus Yohanes Paulus II, ketika selamat dari tembakan maut Mehmet Ali Aqca, meyakini bahwa ia selamat karena ditolong oleh Bunda Maria.
Kedua, kesediaan Maria lewat jawabannya: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk.1:38) merupakan bukti bahwa dia siap menjadi sarana keselamatan Allah dan hanya memikirkan keselamatan manusia.
Jawaban ini memiliki konsekuensi, sebab ia harus siap dicap melakukan “affair” dan tidak menghormati Yusuf yang bertunangan dengannya. Ia juga harus menerima hukuman sosial, karena dianggap melawan tradisi Yahudi.
Di sini, kita melihat bahwa Maria tidak berpikir untuk dirinya sendiri, untuk keamanan diri, untuk martabatnya sebagai perempuan. Maria hanya berpikir dan bertindak untuk kebaikan (keselamatan) umat manusia.
Politik “Keselamatan”
Dari narasi ini, ada dua hal yang kiranya bisa menjadi rujukan permenungan politik kita. Pertama, seperti Bunda Maria, elite-elite publik juga mesti menjadi “pengantara” rakyat untuk mendapatkan apa yang seharusya diperoleh.
Mereka harus menjadi sandaran, menjadi andalan, menjadi pribadi-pribadi yang berbicara atas nama dan untuk kepentingan rakyat. Mereka harus bisa membuktikan bahwa “keluhan-keluhan”, “permohonan-permohonan” dan cita-cita rakyat termanifestasi dalam kebijakan sosial.
Elite-elite publik mesti mampu meyakinkan rakyat agar bersandar dan percaya penuh kepada mereka. Kiprah publik mereka mesti mengakomodir cita-cita rakyat. Namun demikian, hal seperti ini selalu menjadi problem dalam perpolitikan kita. Adalah tak terbantahkan lagi bahwa elite-elite publik acapkali berpikir dan bertindak kontradiktoris.
Rakyat yang seharusnya menjadi fokus kiblat mereka seringkali disingkirkan. Alhasil, rakyat seringkali pesimis dan tidak percaya lagi kepada elit-elite sosial lantaran apa yang mereka perjuangkan mengabaikan harapan rakyat.
Kedua, sebagaimana Bunda Maria, orientasi perjuangan dan esensi eksistensi elite-elite politik (publik) juga adalah demi “keselamatan (baca: kebaikan)” rakyat. Apa pun tantangannya, mereka harus menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan invidual ataupun kelompok tertentu.
Referensi perjuangan politik mereka adalah fakta-fakta keprihatian kolektif seperti ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran, ketidakpastian hukum, perdagangan manusia. Dengan kata lain, mereka harus menciptakan budaya politik yang oleh Rosenbaum dalam Politic Culture (1975) merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politik.
Orientasi kolektif itu adalah bonum commune. Adalah sungguh tidak elok, jika elite-elite publik mencaplok hak rakyat. Sungguh tak etis jika rujukan perjuangan elite-elite politik adalah hasrat politik parsial lantas “mendiskualifikasi” desakan-desakan rakyat. Memang, hal seperti seringkali menjadi persoalan dalam praksis perpolitikan kita.
Jika Bunda Maria mengutamakan kepentingan banyak orang, elite-elite publik kita kerapkali sebaliknya. Paradigma dan tindakan politik mereka malah mengorbankan rakyat. Politik yang seharusnya menjadi sarana untuk melahirkan kebijakan-kebijakan pro rakyat, justru menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan parsial.
Sebentar lagi, kita akan memasuki tahun politik. Kita berharap agar mereka yang ikut dalam kompetisi demokrasi nanti mesti berpikir dan bertindak bagi kebaikan (keselamatan) rakyat. Mereka harus seperti Bunda Maria, yang mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan umat manusia.
Rakyat adalah subjek dan titik pijak perjuangan politik dan bukannya menjadi objek elaborasi untuk memenuhi kepentingan politik semata. Substansi politik adalah kebaikan rakyat. Karena itu, para politikus mesti memiliki rancangan politiki yang bertujuan “menyelamatkan” rakyat dari berbagai persoalan publik.***
*Penulis adalah Rohaniwan dan pemerhati sosial-politik dari Seminari Ritapiret, Maumere.