Sebuah refleksi di HUT RI ke-72
Oleh: Ignasius Padur
Sudahkah Indonesia merdeka dari kejahatan kerah putih (white collar crime) yang namanya korupsi itu? Saya tentu langsung menjawab belum merdeka.
Perilaku pejabat publik baik politik maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar ingin memperkaya diri dengan menyalah gunakan kekuasaan masih menjamur di setiap sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Sudah 72 tahun Indonesia merdeka pada 17 Agustus 2017. Namun, salah satu potret penyakit yang melekat dalam diri Ibu Pertiwi ini yakni masih berkutat pada persoalan korupsi.
Para koruptor masih mengekek di tengah kemisikinan rakyat Indonesia.
Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi budaya hingga ke masyarakat akar rumput.
Penyakit ini telah menghancurkan sistem perekonomian, demokrasi, politik, hukum, pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan.
Di lain pihak upaya pemberantasan pun terus menerus dilakukan, namun belum menunjukkan hasil yang optimal.
Korupsi dalam berbagai tingkatan tetap saja banyak terjadi, seolah-olah telah menjadi bagian dari kehidupan para penguasa, bahkan sudah dianggap sebagai hal yang biasa.
Lembaga Swadaya Masyarakat Komite Anti korupsi Indonesia (LSM KAKI) Indonesia, misalnya, menilai bahwa korupsi yang menyerang kalangan kerah putih legislatif, eksekutif dan yudikatif sangat sulit untuk dicegah.
LSM KAKI mencatat bahwa dari anggota DPRD I dan II, baik masih aktif maupun tidak, sebagai pelaku korupsi terbanyak.
Tidak terkecuali di lingkungan DPR RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) hingga saat ini dinilai terkorup se-Asia Tenggara.
Fathullah S. Donggo. Mkom, Direktur Peneliti Pusat Kajian LSM KAKI, mengungkapkan bahwa dari sekitar 126 kasus dugaan korupsi yang dihimpun, baik melalui media lokal di sejumlah daerah maupun media nasional, sebanyak 89 koruptor berasal dari kalangan legislatif daerah.
Selanjutnya, disusul pejabat atau mantan pejabat pemerintah daerah sebanyak 65 orang.
Adapun dari swasta atau rekanan sebanyak 40 orang. Sedangkan korupsi oleh anggota atau mantan anggota DPR RI ada sembilan kasus pada tahun 2016 lalu.
Pada posisi di tahun 2017, sebanyak 38 orang dari DPR-RI yang saat ini ramai dimunculkan disejumlah media massa dalam kasus korupsi E-KTP. (Koran Stabilitas, Sabtu 11/03/2017).
Bertolak pada kasus korupsi tersebut, maka pertanyaan penting untuk kita refleksikan bersama adalah apakah bangsa Indonesia sudah sepenuhnya merdeka dari korupsi? Pertanyaan ini dianggap relevan mengingat sekarang usia kemerdekaan Indonesia sudah menggenapi 72 tahun.
Berangkat dari pertanyaan refleksi itu, saya tentu menegaskan bangsa ini belum merdeka dari serangan kejahatan korupsi. Para penjahat kerah putih masih tertawa terbahak-bahak di atas penderitaan rakyatnya.
Mereka masih buta hati. Buta hati adalah sebuah kiasan yang bertolak belakang dengan kiasan mata hati.
Mata hati mengandung arti melihat dengan mata hati dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar kita.
Bagi seorang pemimpin mata hati berarti kemampuan merasakan apa yang dirasakan atau dialami bawahan atau rakyat yang dipimpinnya, (Musakabe, 2001).
Sedangkan buta hati merupakan tumpulnya sikap kepekaan seorang pemimpin untuk menangkap aspirasi dan perasaan rakyat yang dipimpinnya sehingga kepemimpinannya tidak mengakar ke bawah tetapi justru melahirkan kesengsaraan dan malapetaka.
Pemimpin yang seharusnya menjalankan amanah untuk menyejahterakan rakyat, tetapi malah menyengsarakan rakyat dengan melakukan tindak korupsi untuk kepentingan pribadi atau golongannya.
Para wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat justru sibuk dengan menghitung berapa banyak penghasilan yang harus ia terima. Dia hampir pasti melupakan rakyat yang memilihnya.
Inilah potret penyakit yang sudah menjerat pemimpin yang rakus dan tamak.
Sehingga tidak berlebihan jika saya menyampaikan bahwa di usia kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai 72 tahun ini kita sebenarnya belum merdeka secara utuh.
Memang, kita tidak lagi mengalami penjajahan fisik dari bangsa kolonial. Tetapi yang perlu kita sadari bersama adalah kita masih dijajah oleh persoalan multidimensi yang melanda bangsa ini.
Money Politic dan Budaya Topeng
Bertolak pada refleksi tersebut, maka asumsi tentang praktik money politic atau yang lazim dikenal sebagai politik uang bisa dibenarkan.
Selain itu, asumsi tentang adanya budaya topeng juga bisa dibenarkan.
Topeng di sini berfungsi untuk menyembunyikan wajah asli dan menampilkan wajah semu dengan tujuan untuk mengelabui massa dengan berpura-pura atau berdusta agar tercapainya tujuan pribadi atau kelompoknya.
Inilah yang dilakukan para pemimpin koruptor kita saat ini. Mereka doyan dengan uang. Menghalalkan segala cara termasuk menggunakan topeng menjadi hal yang harus dilakukan.
Memang sungguh memprihatinkan ketika dalam mengawali tugasnya seorang pemimpin menggunakan praktik money politic, maka dapat dipastikan selama masa kepemimpinannya, ia akan cendrung memakai topeng dan beranggapan bahwa segala sesuatu, termasuk mempertahankan kekuasaan, dapat dilakukan dengan politik uang.
Mengakhiri tulisan ini, penulis sangat mengharapkan agar praktik-praktik penyimpangan seperti korupsi menjadi pelajaran berharga bagi para pemimpin ke depannya Hal itu agar tidak terulang kembali terutama pada pemilu 2019 nanti. ***
Penulis adalah Biro Pustaka Marga PMKRI Cabang Ruteng St. Agustinus