Oleh: Alfred Tuname***
Sejak dilantik sebagai Kapolri pada 13 Juli 2016, Jenderal Tito Karnavian berpikir keras memberantas “budaya” korupsi di tubuh internal Kepolisian RI. Rekening gendut para personil polisi masih menjadi momok dan preseden buruk pada institusi kepolisian.
Sebagai insititusi penegak hukum, polisi tidak mungkin bekerja profesional dan optimal apabila masih ada gurita korupsi di tubuh internal kepolisian. Untuk memerangi korupsi, polisi harus bersih dari korupsi. Dengan begitu, tidak ada lagi “maling teriak maling” atau “air kotor membersihkan piring yang kotor”.
Karenanya, langkah tepat yang dilakukan oleh Kapolri Tito Karnavian adalah kewajiban melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bagi personel Polri, khususnya para perwira polisi (bdk. kompas.com, 31/7/2016).
LHKPN merupakan “alat” deteksi dini dan alarm bagi polisi-polisi yang gemar korupsi. Sebab, LHKPN berpengaruh signifikan pada promosi jabatan/pangkat, mutasi, sekolah dan lain-lain.
Jika LHKPN dilakukan secara benar dan serius, maka tidak akan ada lagi fenomena rekening gendut di institusi kepolisian; tidak akan ada oknum polisi yang berkoar-koar tentang harta kekayaannya; tidak akan ada lagi oknum polisi yang naik pangkat dengan uang sogokan atau sering disinis dengan istilah “polisi teken”.
Polisi adalah kawan masyarakat. Polisi bukan rentenir yang memanfaatkan KUHP dan peraturan lalu lintas untuk memeras masyarakat. Polisi adalah pelindung masyarakat dari pelaku kekerasan dan teror, bukan bagian dari pelaku kekerasan dan teror itu sendiri. Tito Karnavian mengatakan, “ini (kekerasan) tak boleh lagi melekat sebagai budaya polri” (CNN Indonesia, 28/8/2016).
Massa membakar markas Kepolisian Sektor Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua (27/8/2016) menjadi dasar pernyataan Kapolri Tito Karnavian. Boleh jadi, tindakan polisi yang intimidatif, represif dan koruptif membuat yang sang jenderal geram dan marah. Masyarakat Papua pun marah.
Di Papua, masyarakat membalas tindakan represif anggota kepolisian dengan melakukan demostrasi dan bahkan membakar kantor polisi. Kejadian seperti itu sering terjadi berulang-ulang di tanah Papua dan beberapa daerah di Indonesia. Misalnya, kisruh masyarakat versus polisi terjadi Meranti, Riau (25/8/2016).
Kisruh masyarakat versus polisi tidak akan terjadi apabila polisi memilih pendekatan kemanusiaan dalam menyelesaikan berbagai soal pidana/kiriminal di masyarakat. Meniru pendekatan intimidatif, represif, koersif dan koruptif seperti yang biasa dilakukan polisi-polisi di tanah Papua tidak akan menyelesaikan soal, justru semakin membuat chaos di masyarakat.
Setelah pemisahan dengan TNI pasca Inpres No.2 Tahun 1999, praktik kekerasan mestinya dieliminasi dari tugas dan fungsi kepolisian dalam mengamankan dan menertibkan masyarakat. Sebagai alat negara, polisi menggunakan pendekatan kekerasan manakala negara sedang dalam keadaan krisis dan bahaya disintegrasi, sejauh tidak melanggar HAM.
Di tengah masyarakat yang beradab, polisi tidak boleh menggunakan cara-cara biadab meski demi melindungi masyarakat. Selalu ada cara yang manusiawi dalam mengurus dan mengendalikan kehidupan sosial bermasyarakat.
Ada ungkapan sinis, “polisi yang paling setia adalah polisi tidur”. Ungkapan sinistik ini mesti menjadi bahan evaluasi bagi para elite kepolisian tentang budaya polisi di negeri ini. Para elite kepolisian dan Kompolnas perlu mengevaluasi praktik-praktik kekerasan dalam pelaksaan fungsi dan tugas polisi.
Bahwa wajah kemanusiaan polisi mesti benar-benar hadir dalam melaksanakan titah Tribrata dan Catur Prasetya Polri. Wajah kemanusiaan polisi dapat menyelamatkan image polri dari berbagai stigma negatif. Tentu bukan hanya untuk image positif, tetapi demi profesionalitas dan integritas, polisi mesti menggunakan pendekatan manusiawi dalam menjalankan fungsi dan tugas.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan polisi yang berwajah manusia, di samping melindungi masyarakat, polisi mesti berkawan dengan masyarakat dalam memerangi berbagai tindakan kejahatan. Hesta Groenewald dan Gordon Peake (2004) menyebutnya dengan istilah “community-based policing”.
Prinsip dasarnya adalah policing by consent, not coercion; the police as part of the community, not apart from it; the police and community working together to find out what communities needs are; the police, public and other agencies working together in partnership. Singkatnya, dalam mengemban tugas dan fungsi sesuai amanah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, polisi perlu bekerja sama dengan semua pihak demi keamanan dan ketertiban dalam sebuah komunitas masyarakat.
Tanpa kerja sama yang baik dengan masyarakat, polisi akan dianggap sebagai seriga dan vampir dalam sebuah ruang sosial. Polisi ada dalam masyarakat tetapi keberadaannya itu menjadi “teror” yang manakutkan bagi masyarakat itu sendiri. Sebab dalam praktiknya, semboyan Tribrata dan Catur Prasetya Polri terasa jauh panggang dari api. Polisi menjadi penghisap, pemeras, pelaku pungli dan korup, dsb di masyarakat.
Akan lebih fatal lagi bila ada polisi yang memiliki jabatan struktural Polri terlibat dalam politik praktis. Segenap sumber daya kepolisian akan digunakan untuk meloloskan kepentingan politik sang oknum polisi.
Ada pun metode politik Machiavellian yang digunakan sebagai berikut: menyebarkan intel ke seluruh wilayah, menempatkan personel polisi/Brimob tidak sesuai aturan, “melegalkan” perjudian dan hiburan malam asal ada upeti, meningkatkan “ritual” tilang, memeras pejabat pemerintah dengan berbagai dalil ancaman, dll. Semua itu dilakukan demi kepentingan politik sang oknum “pejabat” polisi.
Di awal kejatuhan Soeharto, ketika polisi mulai menangani kasus Tommy Soeharto, sejarawan Onghokham pernah menulis, “dengan adanya kasus Tommy Soeharto, daftar hitam polisi bukan lagi daerah mesum seperti Kampungbali atau Senen yang mereka awasi, tetapi daerah-daerah hunian elit di Jakarta”. Mutatis-mutandis Onghokham, dengan adanya polisi telibat politik praktis, “daftar hitam” polisi bukan hanya elite-elite lawan politik. Masyarakat itu sendiri dan semua jenis perjudian serta tempat-tempat mesum menjadi “daftar hitam” untuk di-fait accompli dan diperas demi profit politik sang oknum pejabat polisi.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 (pasal 28, ayat 1-3) memang melarang polisi berpolitik praktis dan tidak memiliki hak memilih dan dipilih, kecuali setelah pensiun. Akan tetapi, bagi oknum pejabat polisi aktif yang haus kekuasaan, samar-samar aksi ‘pseudo” politik praktis dilakukan. Hal itu terjadi meskipun sering luput dari kesadaran politik masyarakat dan perhatian Propam Polda/Mabes Polri, Kapolri dan Kompolnas.
Di bawah kendali Kapolri Jenderal Tito Karnvian, publik terus berharap agar Kepolisian RI benar-benar bersih, berintegritas dan profesional. Adalah sebuah kehormatan bagi insan Bhayangkara bila dapat berkoban demi masyarakat, bangsa dan negara. Untuk itu, amanah undang-undang kepolisian mesti dijalankan sungguh-sunguh. Bahwa pelaku kriminal dan polisi “nakal” mesti ditindak tegas sesuai aturan perundang-undangan.
Akan tetapi, dalam melaksakan fungsi dan tugas kepolisian itu, pendekatan kemanusiaan harus diutamakan. Polisi mesti ikut memanusiakan manusia, bukan membinatangkan manusia. Akhirnya, bravo Kepolisian Republik Indonesia!***
——————————————————–
Alfred Tuname
Penulis dan esais