Oleh: Inosentius Mansur *
Seiring dengan semakin dekatnya pesta demokrasi lokal di Nusa Tenggara Timur (NTT), beberapa partai politik (parpol) melakukan konsolidasi untuk mencari figur yang akan dicalonkan menjadi pemimpin.
Ini merupakan bentuk tanggung jawab sosial-politik dari parpol. Bahwasannya, parpol harus mencari sosok yang tepat, alternatif sekaligus solutif di tengah “kegalauan” sosial NTT.
Tentu saja kita berharap, agar pilihan parpol terhadap figur tertentu tidak diseting oleh kepentingan parsial ataupun tidak “dibelis” oleh mahar politik, tetapi berlandaskan akal sehat demokrasi.
Salah satu pertimbangan yang berlandaskan akal sehat demokrasi dalam menentukan pilihan adalah tingkat elektabilitas. Siapa yang memiliki tingkat elektabilitas tertinggi, dialah yang layak direkomendasikan untuk bertarung menjadi kontestan demokrasi.
Mungkin juga ada pertimbangan lain. Yang paling pentingnya adalah pertimbangan itu masih dalam koridor dan dapat diterima oleh akal sehat berdemokrasi.
Namun demikian, ada satu hal yang tidak boleh diabaikan begitu saja oleh parpol-parpol yaitu mencari figur atau mendesain cara agar bisa mengakomodasi generasi milenial.
Dikatakan demikian, karena generasi milenial merupakan salah satu kekuatan sosial. Parpol-parpol harus memikirkan bagaimana caranya agar generasi milenial menjadi kekuatan dalam melakukan konsolidasi perpolitikan.
“Konsolidasi” ala Generasi Milenial
Politikus muda Partai Solidaritas Indonesia, Tsamara Amany (Tsamara), adalah salah satu contoh “idola” generasi milenial. Tergolong pendatang baru dan partainya juga masih sangat baru, Tsamara justru berhasil menjadi anti-thesis ditengah ketidakpercayaan publik terhadap parpol.
Ia mampu memikat hati publik terutama generasi milenial. Hal ini dukung oleh keberanian sikap dan orientasi politiknya. Ia tegas dan selalu memihak pada kepentingan rakyat. Eksistensinya dalam perpolitikan nasional berhasil memberi efek publik, terutama bagi generasi milenial. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini juga mendatangkan efek positif bagi partainya.
Dalam konteks Pilkada kita di NTT, parpol-parpol juga mesti mendesain cara agar bisa memikat hati generasi milenial. Meskipun sampai saat ini, belum ada tesis ilmiah yang mempresentasikan seberapa signifikan efek kehadiran generasi milenial NTT dalam konstelasi politik, tetapi saya meyakini bahwa mereka tetap dan akan tetap memiliki pengaruh bagi pesta demokrasi lokal kita.
Generasi milenial memiliki gaya yang khas. Soliditas dan solidaritas sosial mereka bahkan lebih ekspansif. Karenanya, parpol-parpol tidak boleh memandang sebelah mata efek kehadiran mereka dalam perhelatan politik. Parpol-parpol sebaiknya “mengikat” dan berusaha untuk menarik simpati generasi milenial.
Tentu saja ada banyak cara untuk menarik simpati mereka. Bisa dengan cara menyiapkan seorang figur yang dipercayai bisa mempersatukan anak muda/generasi milenial dan memantik energi politik yang ada pada mereka sebagaimana Tsamara. Atau juga bisa dengan kampanya-kampanye yang kreatif, progresif, dinamis dengan menggunakan media sosial ataupun dengan berbagai modifikasi lainnya.
Menurut saya, hal seperti ini urgen dilakukan, karena bagaimanapun juga generasi milenial kita pasti memiliki kemampuan untuk melakukan mobilisasi dalam ruang sosial. Gaya mereka memang tidak seperti gaya konvensional sebagaimana yang acapkali dilakukan oleh elite-elite politik.
Tetapi perlu diingat bahwa mereka mampu untuk melakukan “konsolidasi” politik melalui media sosial ataupun lewat gerakan-gerakan tertentu seturut “selera” anak muda. Generasi milenial memiliki cara kreatif, dinamis dan efektif dalam mengkampanyekan maksud tertentu. Inilah konsolidasi ruang publik ala generasi milenial.
Dimensi Edukatif
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa parpol-parpol tidak boleh menjadikan generasi milenial sebagai alat politik untuk mencapai kepentingan pragmatis semata. Artinya, parpol-parpol tidak menginstrumentalisasi generasi milenial untuk mendukung hasrat parsial tertentu.
Jangan sampai generasi milenial diarahkan dan disetir untuk memenuhi kepentingan politik parpol-parpol dan bukannya diarahkan untuk berpartisipai dalam pembangunan. Parpol-parpol tidak boleh mereduksi idealisme dan semangat generasi milenial kedalam kerangka dan paradigma politik jangka pendek.
Mengakomodasi generasi milenial dalam setiap gerakan politik tidak sama dengan memposisikan mereka sebagai obyek politik yang bisa dipakai sesuai dengan agenda seting politik. Mengintegrasikan mereka kedalam gerakan politik harus dilandasi oleh kepedulian dan kesadaran bahwa mereka merupakan generasi masa depan bangsa. Merekalah agen-agen transformasi sosial.
Nasib bangsa ini berada di tangan mereka. Karenanya, harus disadari bahwa mereka bukanlah komoditas politik untuk memback-up hasrat parsial tertentu. Segala usaha untuk menarik simpati mereka, mesti dilandasi oleh niat tulus untuk memberikan nilai edukasi politik. Justru inilah yang merupakan tanggung jawab dan afirmasi dimensi sosial dari parpol-parpol.
Atas dasar itulah, cukup masuk akal jika mereka perlu diikutsertakan dalam memikirkan problem sosial dan bersama-sama pula berusaha mencari solusinya. Generasi milenial bisa mencegah terjadinya distorsi sosial atau “krisis ruang publik” – meminjam istilah Hannah Arendt – (Hardiman, 2009) sekaligus mengatasi krisis itu dengan menjadikannya sebagai ruang bermartabat, forum mendiskusikan persoalan-persoalan sosial secara kritis dan progresif.
Untuk maksud ini, parpol-parpol harus menyediakan ruang bagi generasi milenial untuk mengekspresikan potensi mereka. Generasi milenial harus dimotivasi untuk mengelaborasi problem sosial secara komprehensif lalu mencari solusinya dengan berbagai macam kajian dan perspektif.
Mereka harus disadarkan bahwa melibatkan diri dalam perpolitikan ataupun dalam konsolidasi ruang sosial-publik adalah bentuk afirmasi kecintaan terhadap daerah dan Negara. Mereka harus tahu bahwa politik itu pada hakikatnya suci karena berkaitan dengan kebijakan liberatif. Posisi mereka amat strategis dalam mencapai liberalisasi sosial.
Bahkan, generasi milenial bisa membantu parpol-parpol untuk mengefektifkan public relations yang berusaha menyampaikan ide/gagasan kepada masyarakat (Arifin, 2011). Atau juga bisa menjembatani jarak antara rakyat dan parpol-parpol, sebab selama ini parpol-parpol seringkali bertolak belakang dengan keinginan rakyat.
Parpol-parpol mesti mengajak generasi milenial untuk melibatkan diri dalam diskursus sosial-politik dan mencari jalan keluarnya. Parpol-parpol harus membantu generasi milenial untuk berpartisipasi dalam usaha menciptakan kebaikan bersama.
Mereka harus menjadi subyek yang dilibatkan dalam merancang agenda pembangunan. Generasi milenial layak diberi porsi dan ruang untuk mengekspresikan kesanggupan politik dan kepekaan sosial mereka.
Generasi milenial membutuhkan ruang afirmasi diri dan keterlibatan dalam politik merupakan salah satu bentuknya. Di sinilah peran parpol dibutuhkan. Saya meyakini bahwa ketulusan parpol-parpol dalam memperhatikan serta memperhitungkan kehadiran mereka akan mendatangkan efek elektoral yang positif.
* Pemerhati sosial-politik, dari Ritapiret – Maumere