Oleh: Alfred Tuname*
Menulis tentang pulau Sabu adalah mengurai kerinduan ingin pulang bagi para dohawu (orang Sabu; Dou: orang, Hawu: Sabu) perantuan.
Kerinduan itu selalu penuh dengan ingatan dan kenangan. Semua itu tergambar jelas pada urai air mata bagi dohawuyang berbicara tentang Rai Hawu dan ingin pulang.
Di sana ada bau siri pinang, tanah berpasir, ribuan pohon tuak yang menjulang, gula air (donahu), tarian pedo’a, pantai yang indah, laut yang tenang, buah bidara, rumah panggung, ina-ina sabu yang manis, ama-ama sabu yang senantiasa bawa tudi (pisau sabu), sabung ayam (seperti kebiasaan orang Bali) dan lain sebagainya.
Konon, dohawu itu keturuan India Selatan. Dulu, para pedagang Gujarat India pernah terdampar di pulau Sabu.
Mereka terdampar setelah gelombang laut Sabu (Savu Sea) mengamuk menghantam perahu mereka.
Begitu juga para prajurit Gajah Mada yang hendak menguasai nusantara pernah terdampar di Pulau Sabu dan (seperti pulau Solor) dijadikan pangkalan armada Majapahit. Adapun bekas Majapahit berupa wowadu maja(batu Majapahit) dan sumur maja di wilayah Daihuli.
Itu menjadi bukti arkeologis sejarah historis-arkeologisdohawu. Memang ada banyak versi cerita asal-usul orang Sabu. Semua itu menambah keunikan orang Sabu.
Sederhananya, bukti-bukti itu membuat orang Sabu “tampak lain” dari ciri-ciri orang NTT pada umumnya.
Muncullah stereotipe nona-nona Sabu pasti manis, persis gula sabu. Tetapi stereotipe itu berbarengan dengan stereotipe ina-ina Sabu yang cerewet.
Hal itu tidak bisa dipungkiri kalau melihat pengaruh topografi dan dominan cuaca panas-kering di pulau Sabu.
Itulah yang berpengaruh pada cara berbicara orang Sabu yang cepat dan lancar, terkesan buru-buru.
Orang Sabu tidak mengenal huruf S, F dan V. Karenanya, Sabu tetap dibaca “hawu”. Orang Portugis dulu menyebutnya dengan Savo, dan Belanda menyebut Savu.
Bahasa Inggris mengikuti penyebutan Belanda, Savu.Ada anekdot lama, mengapa orang Sabu dan Timur Leste tidak akan pernah sampai ke Irian (sekarang Papua).
Sebab, orang Sabu menyebut Irian dengan “Iria”, sendangkan orang Timor Leste dengan “Iriang”.
Kalau berlayar, orang Sabu tidak pernah sampai ke Irian karena kekuarangan hurun “n”, sedangankan orang Timor Leste melampaui Irian sebab kelebihan huruf “g”. Kecurigaan sementera, akhiran kata dalam bahasa Sabu (li Hawu) selalu didominasi oleh huruf vokal.
Karenanya penggunaan bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh bahasa ibu orang Sabu.
Meskipun “kura-kura huru” (kurang-kurang huruf), dohawu selalu berusaha menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Bagi orang Sabu, bahasa Indonesia bukan saja hanya untuk aktivitas perdagangan, tetapi juga aktvitas merantau.
Panasnya daerah sabu (dengan tanah dominan kapur dan tanah merah) dan “sempitnya” urusan dagang, membuat merantau adalah pilihan logis dan logika survive.
Orang Sabu merantau ke Kupang, Sumba dan Flores. Banyak perantau Sabu yang sangat sukses setidaknya hidup survive di luar pulau Sabu.
Paling banyak di antaranya di Kupang. Mereka menekuni bisnis, pejabat pemerintah serta berbagai pekerjaan minor lainnya.
Spirit Calvinis dan protestanisme membuat mereka sukses di tempat lain.
Di Flores, “komune” orang Sabu dijumpai di kota Ende (Kabupaten Ende) dan Aimere (Kabupaten Ngada).
“Naluri” maritim orang Sabu, kata cerita, masih kuat sehingga mereka mampu menyeberangi laut Sawu dengan enteng. Hanya dengan perahu layar (kowa) mereka sampai ke Flores.
Angin menuntun mereka mencapai Ende dan Aimere. Kota dagang Ende membuat banyak orang Sabu betah dan bertahan.
Sendang di Aimere, topografi yang cukup kering dan ribuan pohon tuak membuat orang Sabu hidup persis di Rai Hawu (Pulau Sabu).
Mereka mengiris tuak, membuat sopi (arak) dan gula sabu (khusus untuk kepentingan sendiri). Ada juga yang berprofesi sebagai nelayan di pantai Aimere.
Itulah orang Sabu di luar pulau Sabu. Di luar pulau Sabu, mereka masih menikmati hujan dan air melimpah.
Di pulau Sabu, kekeringan adalah kawan yang senantiasa hadir. Sudah lama hujan tak pernah datang.
Ketersediaan air sangat tipis. Embung-embung yang dibangun semata proyek kamuflase. Lubangnya terlampau menggaga sebab tak ada hujan. Tak berguna.
Air minum bersih kian mahal. Air sungai sangat dangkal. Sawah terbengkelai. Tak ada air sama sekali di sawah.
Di Sabu, air menjadi barang mewah. Sumur-sumur warga kering. Ada sumur yang penuh air, tetapi semuanya asin.
Ada produk air kemasan yang diproduksi di Sabu, tetapi bukan untuk kebaikan bersama.
Air kemasan bermerk OASA itu hanya untuk kepentingan politik elite yang hendak maju Pilgub NTT 2018.
Sabu darurat air bersih. Air hilang tersapu bersih tambak garam. Tambak garam membuat air sumur warga jadi asin.
Tambak garam menghilangkan hujan.Sebelum ada tambak garam, orang Sabu masih menikmati hujan.
Tambak garam mendambakan rendahnya curah hujan. Air luat butuh pemanasan tinggi untuk jadi garam.
Musim panas dan kering membuat produksi garam meningkat. Tampaknya, musim kering lebih menguntungkan produksi garam milik Pemda Sabu Raijua itu.
Boleh jadi, garam Sabu berkontribusi bagi stok garam nasional. Garam Sabu “diekspor” ke Sulawesi dan Surabaya.
Sayangnya, orang Sabu tidak hidup dari garam. Setelah ada tambak garam, kesejahteraan orang Sabu tidak berubah.
Upah para pekerja tambang sangat minim, sekitar Rp 1.200.000. Masyarakat lebih menikmati hidup dari mengiris tuak.
Sayangnya, demi ambisi garam, pemerintah telah “merampas” hak atas tanah rakyat dan membasmi ribuan pohon tuak dan kelapa demi tambak garam.
Padahal, dari pohon tuak, pendapatan masyarakat bisa mencapai Rp 100.000 per hari. Pendapatan itu dari membuat gula Sabu (donahu), gula lempeng atau minuman tuak.
Di Sabu, persoalan agraria masih terus terjadi. Persoalan itu seiring ambisi ekspansi tambak garam yang dilakukan oleh pemerintah.
Pencaplokan tanah dan pengusiran warga sering dilakukan pemerintah Sabu demi tambak garam.
Atas ambisi itu, konflik vertikal dan horisontal sering terjadi. Kadang konflik-konflik tersebut direkayasa dalam skema pencaplokan tanah rakyat.
Ambisi tambak garam, pencaplokan tanah rakyat, pembabatan pohon tuak adalah bentuk penindasan negara di Sabu.
Masyarakat semakin menderita dengan adanya musim kering yang berkepanjangan, harga besin yang menjulang, ketiadaan pupuk dan praktik korupsi pejabat pemerintah. Banyak pejabat korup di seputar produksi garam Sabu.
Sabu nyaris kehilangan identitas manakala tambak garam merajalela. Tambak garam hanya menghidupi pejabat yang korup.
Identitas orang Sabu adalah pohon tuak. Pohon tuak adalah simbol kehidupan dan budaya orang Sabu.
Ketika pohon tuak roboh-karena garam- denyut kehidupan orang Sabu pun hilang dan budaya pun punah.
Penulis adalah Esais