Oleh: Alfred Tuname
Mengenal Gusty Fahik (selanjutnya Gusty) menuntun saya pada keterpesonaan intelektual. Itu terjadi pada suatu ketika pada momen diskusi di Forum Batu Tulis Nusantara-Yogyakarta di Café Lidah Ibu, Mrican. Dengan bahasa yang lugas dan renyah, ia mengurai soal lantas menyuguhkan polemik. Lalu terjadilah perbincangan yang rasional, kadang sentimental, atas tawaran-tawaran pikiran yang berkembang.
Gusty yang melenggang dalam ingatan nostalgis itu, kini menyejarah dalam bangunan postalgis yang tersusun atas fundasi pikiran yang matang. Itu tersusun apik dalam bukunya yang berjudul “Membaca Jejak Kekuasaan” (Kandil Semesta, 2017). Runcing-runcing pikiran “yang politis” Gusty bisa bikin merinding penguasa politik. Ide-dea bernasnya bisa bikin senang pembaca.
Di buku “Membaca Jejak Kekuasaan”, Alexander Aur mendeteksi detak-detak demokrasi dengan pikiran Pierre Bourdieu sebagai stetoskop. Kecurigaannya, praktik-praktik manipulatif dan dominatif juga membuat sesak nafas demokrasi (bdk. Hal xv). Padahal demokrasi seharusnya memuat nafas politik semakin lega. Kebebasan berpendapat dan berekspresi mesti berjalan lancar sebagi nadi peradaban politik.
Sayangnya, kuasa-kuasa simbolik juga mengalir seperti darah dalam kehidupan berpolitik. Kuasa simbolik itu tak tampak (invisible power istilah Bourdieu), tetapi kuat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak dalam actus politik.
Karenanya, penghinaan terhadap bendara Merah Putih bisa diartikan sebagai penghinaan terhadap bangsa dan negara Indonesia. Atau pengibaran bendera Bintang Kejora adalah bentuk proses atas pelanggaran HAM dan ketidakadilan di tanah Papua.
Sesuatu yang simbolik juga muncul manakala anggaran pembelian senjata TNI dan perlengkapan polisi dialokasi sangat besar. Itu berarti ada ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan berpikir. Represivitas negara akan lebih agresif terhadap masyarakat. Sebab, dengan anggaran itu, negara sedang membangun kekuasaan yang totaliter. Pada negara cenderung totaliter, kata lebih berbahaya dari pada senjata.
Kontrasnya, ketika porsi anggaran APBN untuk Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama dinaikan, Indonesia justru menjadi negara dengan IQ terendah dan tinggat intoleransi tertinggi. Uang memang tidak berpengaruh positif pada prestasi. Nalar pikir orang kementerian mungkin bukan visioner, tetapi proyek. Karenanya, anggaran pendidikan lebih lebih cenderung membangun proyek fisik, ketimbang karakter, mental dan IQ. Anggaran Kementerian Agama lebih untuk proyek naik haji, ketimbang diseminasi nalar kritis dan sikap toleransi beragama.
Maka untuk menerabas kekuasaan simbolik yang dominatif, perlawan juga bisa dilakukan dengan kekuasaan simbolik publik. Demonstrasi aksi dan aksara menjadi pilihan rasional. Di situlah sisa-sisa kebebasan demokrasi yang diekspresikan oleh publik.
Warta Oenbit dan jaringan kelompok solidaritas (LSM dan Mahasiswa) di TTU bisa mengusir pelaku tambang PT. ERI dengan melakukan aksi masa, aksi kata dan aksi simbolik dalam misa ekologis di wilayah tambang mangan. Cara ini efektif untuk melawan kekuasaan simbolik yang dimainkan korporasi dan diaminkan penguasa politik lokal.
Gusty, seperti para intelektual lainnya, memilih berekspresi dengan kata. Dengan kata, ia merobek sesat-sesat pikir kekuasaan dan merobohkan tembok kebijakan publik yang korutif. Dengan kata, penulis mengambil posisi setara dengan penguasan (the ruling class) untuk mematahkan kekuasaan yang destruktif.
Kaum intelektual tidak membela siapa-siapa, selain kebenaran dan keadilan. Mereka pun sedang membela kebebasan. Dengan begitu, kesetaraan tak raib ke tangan penguasa. Dengan mengekspresikan pendapatnya, kaum intelektual tidak masuk dalam perangkap kebebasan semu yang dikendalikan oleh kepentingan kelas menengah (bdk. Hal 59). Kejujuran adalah prinsip moral sang intelektual.
Melalui pembacan novel Dostoyevsky berjudul Crime and Punishment, Gusty juga menggugah setiap pribadi untuk jujur. Kejujuran bukan lagi hanya persoalan privat tetapi juga publik. Jujur itu berdampak pada diri sendiri dan sosial. Ketika Rodion Raskolnikov mengkui kesalahannya dalam pembunuhan dua perempuan, ia memenangkan pertarungan batin demi kebenaran (bdk. Hal 69). Kebenaran itu selalu bersinggungan dengan rasa keadilan banyak orang.
Benarlah apa yang dikatakan Gusty, bahwa klaim kebenaran apapun ketika dikorupsi untuk dimiliki sendiri dan dipaksakan pada orang lain akan berimbas pada konflik dan kekerasan. Munculnya konflik SARA di negeri adalah resultante klaim kebenaran yang dipaksakan kepada orang atau kelompok lain.
Seperti itulah cara-cara kerja kelompok intoleran yang menggunakan perangkat doktrin dan ideologi theokratis untuk mengekslusi kelompok atau masyarakat lain. Mereka mengingikan negara berubah menjadi penjual tiket surga yang bersifat “nanti dan di sana”, ketimbang urusan kesejahteraan yang harus “kini dan di sini” (hic et nunc).
Sebagai seorang intelektual, Gusty protes keras atas aksi dan atraksi doktrinal kaum-kuam fundamental dan kelompok intoleran. Bahwa urusan privat seperti itu seharusnya disimpan di kamar pribadi dan ruang doa, bukan digotong ke ruang publik Agama hanya boleh dimelewati jendela kamar ketika ia bersedia dipertentangkan secara rasional di ruang publik (bdk. Hal 99).
Akhirnya, setiap catatan Gusty dalam “Membaca Jejak Kekuasaan” bukanlah kumpulan pedagogi yang cari pengakuan. Pikirannya adalah satir yang bikin merah telinga para penguasa yang tak adil dan bikin berang kaum intoleran yang malas berpikir. Selebihnya, sang intelektual itu menghadirkan sajian pikiran yang menggugah kemapanan cara berpikir publik.
Teruslah menulis, intelektual muda!!
Alfred Tuname
Penulis dan Esais