Oleh: Har Yansen
Mahasiswa STFK Ledalero
Tinggal di Unit Yosef Freinademetz-Ledalero
Pada awal abad ke-20 filsuf perempuan berkebangsaan Yahudi, Hannah Arendt, pernah mendiagnosis adanya patologi masyarakat modern. Patologi itu bernama “perasaan ditinggalkan” (Gefuhl der Verlassenheit).
Perasaan ini muncul ketika manusia tidak mampu beradaptasi dengan gaya hidup modern. Manusia merasa ditinggalkan karena peradaban modern telah menghancurkan cara-cara hidup tradisional, adat istiadat, kebiasaan dan institusi yang diwariskan turun temurun.
Manusia yang dirundung “perasaan ditinggalkan” mulai mencari perlindungan pada komunitas primodialnya. Maka lahirlah kelompok-kelompok primodial seperti sosialisme, nasionalsosialisme dan fasisme. Sosialisme, nasionalsosialisme dan fasisme memberikan penekanan pada komunitas atas dasar kesadaran kelas, ras, atau bangsa.
Diagnosa yang dikemukakan oleh Hannah Arendt di atas tampaknya kembali aktual saat ini. Salah satu fenomena yang menarik yang hampir mirip ialah munculnya fenomena populisme. Patut diakui bahwa narasi populisme diperbincangkan banyak kalangan. Bahkan di beberapa negara maju seperti daratan Eropa, populisme menjadi semacam “hantu sosial” yang dianggap merusak peradaban dunia.
Kekhawatiran terhadap bercokolnya populisme pun dirasakan oleh Sekertaris Jenderal Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres. Dalam Pidato pertama di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia di Genewa, Swiss (27/2/2017), Guterres menyampaikan bahwa kita semakin sering menyaksikan fenomena negatif populisme dan ekstremisme yang saling mendukung, menyuburkan rasisme, xenophobia, antisemitisme dan bentuk lain dari toleransi.
Lantas pertanyaan mendasar di sini, apa itu populisme?
Populisme menurut Cambridge Dictionary Online adalah “political ideas and activities that are intended to get support ordinary people by giving them what they want”, jika diterjemahkan berarti “ide dan kegiatan politik yang bertujuan untuk memperoleh dukungan dari rakyat dengan cara memberikan apa yang mereka inginkan”.
Apabila dikembangkan menurut para ahli, Professor Cas Mudde dari University of Georgia mengatakan bahwa populisme adalah “thin ideology in that it only speaks to a very small part of a political agenda” (ideologi tipis yang di dalamnya hanya membahas tentang sebagian kecil dari agenda politik). Karena begitu tipisnya, ideologi ini dapat dilekatkan pada ideologi lain seperti nasionalisme, sosialisme, atau rasisme dengan tujuan untuk menjustifikasi agenda tertentu.
Bertolak dari kedua pengertian di atas maka secara sederhana populisme merupakan istilah yang digunakan untuk paham yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil, ketimbang kalangan elite. Substansi pokok populisme adalah ialah untuk mendapatkan dukungan dari warga biasa dan memberikan apa yang mereka inginkan.
Dalam perkembangannya, isu ini kerap dimanfaatkan untuk memunculkan rasa nasionalisme dalam arti sempit, yang menolak semangat perubahan dan keterbukaan. Propaganda, stigmatisasi, dan iklim teror adalah sarana-sarana yang dipakai dalam setiap gerakan populisme tersebut. Populisme mendapatkan persemaian yang subur di tengah masyarakat yang menghadapi krisis. Sheri Bermen mengatakan bahwa populisme muncul dari keinginan untuk membela kepentingan kelompok suku, agama, ras, dan bangsa tertentu sembari disertai intrik untuk mengeyampingkan pihak lain.
Dalam domain politik, gerakan populisme tersebut pada dasarnya menyiratkan lemahnya fungsi pemerintahan demokratis dan masih tangguhnya cengkeraman oligarki. Ia (baca: populisme) menguat ketika institusi-institusi sosial dan politik, seperti partai politik dan parlemen bermasalah secara fungsional.
Menurut Laclau seorang filsuf demokrasi radikal politik populis merupakan ekspresi massa atau pendekatan politik berbasis massa yang muncul akibat kegagalan fungsional lembaga-lembaga sosial dan politik. Kaum populis datang dengan gagasan bahwa demokrasi ada dalam bahaya atau setidaknya sedang tidak dalam kondisi baik. Tuntutan utama mereka adalah memulihkan demokrasi yang mereka anggap sedang sakit. Di sini narasi demokrasi kebablasan mendapat tempat. Mereka ingin mendudukan demokrasi yang keluar dari rel kembali ke jalur yang benar.
Dalam sejarah peradaban manusia peristiwa Nazi yang dipimpin oleh Hitler menjadi salah satu puncak sarkasme bagaimana populisme digunakan sebagai gerakan politik yang otoritarian untuk mengganyang pihak lain, yakni orang-orang Yahudi. Dalam bukunya The Origins of Totalitarianism (OT), Hannah Arendt menulis bahwa Adolf Hitler adalah seseorang yang menampilkan diri sebagai seorang populis sejati.
Munculnya Hitler ke panggung politik pada tahun 1930-an sebagai pemimpin absolut karena ia mengangkat dan menggunakan isu-isu yang berbau SARA, anti kebhinekaan dan pluralitas.
Hitler menghipnotis orang-orang Jerman dengan slogan-slogan anti-rasial, seperti Jerman hanya untuk etnis Jerman, “atau Jerman bukanlah sebuah negara imigran”.
Dengan slogan-slogan ini, Hitler memanfaatkan perilaku diskriminatif orang-orang Jerman terhadap keturunan Yahudi untuk mendapatkan kekuasaan politis pada tahun 1933.
Fenomena yang terjadi pada zaman Hitler tersebut juga terjadi dalam praktik politik kita dewasa ini. Secara kasat mata kita bisa saksikan sendiri dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Trump, yang selama kampanye menjanjikan Make Amerika great again dengan menempuh jalan proteksionisme dan konservatisme sektarian (berbasis rasial dan agama) menang secara mengejutkan.
Kemenangan Trump begitu mengejutkan karena model kampanye yang diusung Capres AS dari partai Republik ini dianggap sarat dengan demagogi, kebencian, Islamofobia, anti imigran dan diskriminasi ras.
Belum genap seminggu memerintah, Trump mengeluarkan executive order atas ide tersebut, yang walaupun ditentang pengadilan di tingkat negara bagian, ide itu telanjur menjadi simbol kemenangan Trump di dalam negerinya.
Kemenangan Trump tersebut menjadi inspirasi bagi para pemimpin lain bagi sejumlah negara di Uni Eropa seperti Le Pen di Perancis, Lutz Bachmann di Jerman, Geert Wilders di Belanda yang juga membawa isu populisme sekaligus menjadikannya momentum untuk menyelesaikan masalah multirasialisme yang hingga saat ini belum tuntas.
Di Indonesia, sejumlah pengamat dan akademisi pun mulai cemas dengan munculnya fenomena populisme tersebut. Pengamat Intelijen Soeripto J Said mengatakan bahwa fenomena populisme yang berkembang di Indonesia dapat merusakkan kondisi kebhinekaan bangsa kita saat ini.
Di lain pihak, F. Budi Hardiman dalam artikelnya di Harian Kompas berjudul “Gerakan Murka dalam Demokrasi” mengatakan bahwa gerakan populisme di Indonesia disertai penguatan konservatisme agama. Hal ini bisa dicermati pada fenomena sosial keberagaman yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan di mana konservatisme mulai melibatkan diri ke dalam arena populisme. Berbagai modus pengucilan ditampakkan ke permukaan meskipun cara-cara yang digunakan kurang beradab.
Benar kata Jean Paul Sartre, filsuf eksistensialis Perancis, bahwa yang lain ialah neraka. Manusia pun kian tersekat dalam ruang-ruang sempit penuh amarah pada yang lain dan berbeda. Mereka yang dianggap berbeda bisa dengan mudah dilenyapkan lewat aksi-aksi anarkistis yang amat biadab. Inilah contoh liar banalitas populisme.
Realitas ini menunjukkan bahwa fenomena populisme di Indonesia sudah berhasil menerobos barikade tabu sosial, politis, dan kultural. Sentimen agama dan ras merupakan alat seduksi favorit bagi para populis kanan di Indonesia untuk pengerahan massa.
Tahun Politik
Tahapan pemilu 2019 telah dimulai dan tahun ini Indonesia memasuki tahun politik. Sebanyak 171 daerah di seluruh Indonesia akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten menyelenggarakan pilkada di tahun 2018.
Saat ini para calon kontestan, termasuk di jajaran pemerintah akan mulai mengarahkan perhatian ke upaya memenangi pemilu. Di ranah kontestasi politik tingkat nasional maupun terutama lokal, fenomena populisme politik tampaknya tak terelakkan lagi.
Hampir semua kontestan berlomba-lomba memposisikan diri sebagai sosok-sosok populis. Untuk menangkal fenomena populisme politik, khususnya pada tahun politik mendatang maka ada dua tawaran praktis dari penulis.
Pertama, daya kritis massa. Massa atau rakyat tidak boleh mudah tergoda oleh rayuan-rayuan dan bujukan-bujukan dari calon-calon pemimpin yang sok populis.
Daya kritis yang dimaksudkan di sini ialah massa atau rakyat harus bisa berpikir. Dalam pengertian Hannah Arendt, berpikir berarti selalu berpikir tentang dunia. Dengan kata lain, berpikir selalu melibatkan orang lain dan dunia sekitar. Ketidakmampuan berpikir menyebabkan seseorang gampang dimobilisir, mengisolasi diri dan mengeksklusi sesamanya.
Kedua, Peran media sosial. Media sosial harus menghadirkan proses pertumbuhan kesadaran rasional dalam diri masyarakat. Media bukan hanya menjadi penyalur informasi. Dengan kata lain penyaluran informasi tidak bertujuan dalam dirinya.
Lebih daripada itu, penyaluran informasi selalu dalam kerangka formasi dan edukasi masyarakat. Pers, dengan fungsi kritis dan kontrolnya adalah kekuatan besar yang mampu mengendalikan masyarakat agar tetap berada dalam koridor demokrasi. Di sini kehadiran dan peran pemerintah diniscayakan.
Pada sisi masyarakat madani (civil society), pemerintah harus membersihkan kanal-kanal komunikasi publik dengan melakukan konsolidasi nasional dengan kelompok-kelompok masyarakat dan militer serta dengan mengendalikan hoaks dalam media-media sosial.
Ketiga, pilih pemimpin yang berilmu, bermoral dan berwatak pluralis. Filsuf besar Plato mengingatkan politik adalah sesuatu yang luhur karena diarahkan untuk mewujudkan bonnum commune (kebaikan bersama).
Untuk mencapai tujuan tersebut, kekuasaan politik harus dipimpin sosok-sosok yang memilliki kapasitas filsuf. Kapasitas tersebut menjamin seorang pemimpin untuk mengendalikan kekuasaan berbasis ilmu dan moral sehingga efektif bagi terwujudnya kebaikan bersama.
Untuk konteks Indonesia, khususnya NTT yang berwajah pluralistik, pemimpin yang dipilih harus mempunyai fungsi sebagai mediator yang mampu mempertemukan kepentingan-kepentingan pihak-pihak dalam masyarakat, termasuk kepentingan mayoritas dan minoritas.
Tugas pokok pemimpin sesungguhnya bermuara pada fungsi ini, membawa rakyat lebih manusiawi. Manusiawi, singkatnya pemenuhan rakyat akan harkat dan martabat sebagai manusia sedemikian rupa sehingga pada saatnya bahkan mencapai puncak kemanusiaan sebagai rakyat.***