Oleh: Rio Nanto
Ketua Kelompok Menulis Koran dan Diskusi Filsafat Ledalero
Sejak awal Februari 2018 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan delapan peserta Pilkada 2018 sebagai tersangka korupsi.
Mereka diproses hukum karena diduga melakukan korupsi dengan sejumlah modus, mulai dari korupsi dalam pembahasan APBD, pendanaan proyek, pengurusan izin hingga jual beli jabatan (Kompas, Senin, 9/4/2018).
Uang hasil korupsi tersebut diduga menjadi modal dalam menggerakan mesin partai, koordinasi internal, pembiayaan operasional relawan, reproduksi dan mobilisasi isu hingga pembayaran saksi.
Penangkapan calon kepala daerah ini tentunya menjadi bumerang karena merusakkan elektabilitas calon di mata pemilih. Masyarakat sudah mencapai titik kejenuhan membaca realitas korupsi yang sudah menjamur di lembaga eksekutif.
Menurut data temuan Litbang Kompas, 74,8 persen responden menilai peristiwa ini menurunkan tingkat elektablitas calon. Responden mengaku akan berpikir ulang memilih calon kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Hampir semua responden (89,9 persen) menyatakan akan memilih calon lain. Mencuatnya kasus korupsi calon kepala daerah dalam bursa kontestasi politik merefleksikan kegagalan partai politik.
Pada galibnya sejalan dengan pemikiran Ramlan Surbakti, ada dua peran penting partai politik. Pertama, menyiapkan, menyeleksi dan menawarkan calon pemimpin kepada masyarakat. Partai politik melakukan kaderisasi calon dengan mempertimbangkan kualitas personal dan tingkat elektabilitas di mata publik. Calon pemimpin tersebut ditawarkan kepada masyarakat. Tentunya calon pemimpin merupakan hasil dari kaderisasi yang berjenjang dan hasil seleksi itu telah mencapai konsesus yang paripurna bersama anggota partai.
Kedua, merumuskan kebijakan publik berdasarkan berdasarkan aspirasi rakyat yang dituntun dalam koridor ideologi partai. Sebagai tuntunan, ideologi berfungsi sebagai garis perjuangan partai: menjadi pedoman dan pegangan bagi setiap anggota dan kader partai dalam mengelola partai terutama dalam merumuskan pola dan arah kebijakan publik dalam berbagai bidang isu publik. Kebijakan tersebut dijual dan ditawarkan kepada masyarakat.
Inilah yang disebut oleh Bulter dan Collins sebagai sebuah bagian dari Marketing Politik, yaitu usaha permanen yang terus menerus dilakukan oleh partai politik dalam membangun kepercayaaan dan image publik. Parpol tidak saja bersaing dengan partai lain untuk menarik simpati dan kepercayaan rakyat melalui kampanye pemilu, tetapi juga menentukan calon kepala daerah dan menyiapkan rencana kebijakan publik untuk ditawarkan kepada rakyat pada masa kampanye pemilu.
Dalam ilmu politik, khususnya perbandingan politik, parpol dipandang sangat mutlak diperlukan untuk berfungsinya demokrasi. Parpol dipandang menjadi faktor urgen untuk menggerakkan demokrasi perwakilan dan pemerintahan yang demokratis karena beberapa peran pentingnya antara lain: Parpol sebagai jembatan antara warga dan negara, parpol sebagai sarana kaderisasi calon kepala daerah dan parpol sebagai institusi yang mampu merumuskan kebijakan publik.
Namun, dalam realitas praksis, kehadiran partai politik dinilai gagal dalam mengimplementasikan peran tersebut. Parpol terperangkap dalam pragmatisme politik. Pengelolaan partai politik jauh dari panggang api subtansi dasariahnya.
Ada beberapa manuver ketimpangan parpol dalam pengimplementasian tugasnya.
Pertama, Dalam mekanisme pengambilan keputusan – seperti soal penentuan kepengurusan maupun penentuan nama calon Kepala Daerah; pasangan calon presiden dan wakil presiden; juga penentuan kebijakan strategis parpol – lebih banyak didominasi oleh pengurus pusat dan daerah dari pada rapat-rapat umum anggota.
Pengurus parpol tingkat lokal mungkin bisa saja mengusulkan, tetapi tidak saja harus berdasarkan panduan yang ditetapkan pengurus pusat, tetapi lebih jauh lagi kata akhir ada pada pengurus pusat (Surbakti dkk, 2011).
Kedua, sumber penerimaan utama partai politik berasal dari kalangan elite sehingga kurang peduli terhadap anggota. Anggota kader partai di tingkat daerah tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal pendanaan, peran anggota hanya berupa donasi sumbangan berupa iuran.
Ketiga, sebagai institusi politik, pengeloaan parpol juga memiliki kecenderungan dikelola secara tidak demokratis, tetapi oligarkis bahkan personalistik. Kecenderungan seperti ini sudah diingatkan Robert Michels dalam Iron Law of Oligarcy. Bagi Michels kecenderungan parpol yang dikelola secara oligarkis menjadikan kepentingan sendiri lebih diutamakan dari pada kepentingan organisasi.
Hal ini yang kemudian membuat anggota parpol kesulitan memperoleh akses terkait bagaimana keputusan-keputusan krusial parpol dikeluarkan. Pemimpin atau elite parpol lebih mengontrol proses pengambilan keputusan dan juga saluran informasi, bahkan bisa memanipulasi dukungan anggota yang kurang informasi.
Kegagalan pengelolaan parpol inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya calon pemimpin yang terlibat dalam korupsi. Parpol menafikan proses rekrutmen calon pemimpin secara demokratis. Alhasil, produk pilihan partai merusak elektabilitas di mata publik.
Oleh karena itu jalan terbaik adalah melalui “pemesonaan kembali partai politik” baik di tingkat pusat maupun di daerah. Tampak jelas di sini urgensi reformasi parpol dalam rangka demokratisasi internal. Lebih dari itu, parpol dan para politisi perlu memiliki komitmen ideologis yang jelas bagi perbaikan kehidupan kolektif.
Mengingat pentingnya peran parpol dalam sebuah sistem demokrasi, parpol mesti menjadi filter dalam menentukan calon pemimpin yang berintegritas. Sebab terlalu mahal ongkos politik yang harus dibayar bangsa ini jika parpol dan kepala daerah didominasi oleh para politisi pemburu rente, pencari status dan penggila jabatan.
Semoga para petinggi parpol lebih membuka hati mereka bahwa berbagai kasus korupsi yang dilakukan politisi sebelum pilkada atau setelah pilkada tak hanya mempermalukan diri sendiri, keluarga dan partai, tetapi juga melukai hati rakyat.