Oleh: Andy Tandang
Percakapan seputar politik uang (money politics) rupanya tak pernah berhenti beredar di ruang publik. Sebab, ia begitu akrab dengan konstelasi politik tanah air. Jika sejenak melacak, sebetulnya ada dua narasi klasik yang bisa dideteksi dalam jejak politik kita hari-hari ini, yang sekaligus menebalkan akar politik uang di tengah pergumulan demokrasi.
Pertama, politik uang sudah menjadi ‘tradisi’. Dalil ini sulit dibantah, mengingat sejak dalam cengkraman kolonial hingga saat ini, politik uang tak pernah alpa mengambil bagian dalam melapangkan jalan merebut kekuasaan politis. Sejarawan Indonesia Ong Hok Ham pernah menulis, di balik politik pecah belah yang dimainkan kolonial, ada faktor yang lebih dominan, yakni politik uang.
Ong membuktikan, penguasaan kolonial atas kraton di Jawa, jarang berhadapan langsung (vis to visit) dengan senjata. Belanda tak mengeluarkan amunisi, kecuali menghadapi Sultan Agung dan Diponegoro pada abad ke-19 itu. Di sana ada semacam kompensasi materi atas raja atau keluarga sultan. Intensinya satu: tanah dan lahan perkebunan dikuasai.
Ketika hasil perkebunan laku di pasaran dunia, akses langsung ke sana ditutup. Para raja dan keluarga sultan hanya bisa garuk kepala. ‘Cukong terbesar’ yang pernah hidup di bumi nusantara itu memang jago dalam taktik dan lihai dalam strategi.
Mereka berhasil merampas kekayaan nusantara serentak menumbuhkan konflik di tengah kehidupan sesama anak bangsa. Strategi kolonial itu masih berlaku dalam praktik politik mutakhir. Ketika ambisi kekuasaan menebal dan simpati rakyat menipis, uang menjadi senjata ampuh untuk menarik suara massa.
Rupanya, tesis Niccolo Machiavelli dalam Il Principe tak bisa dibantah. Mencari mahkota kekuasaan, demikian Machiavelli, boleh mempergunakan segala cara, asal ia bisa merebut singgasana itu. Praktik politik uang pun mendapat tempat di sana. Tak heran, jika beberapa pengamat tanah air agak psimis ketika berkomentar soal money politics. Apalagi, sinyal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui UU No 8/2012 Pasal 86 Ayat 1 tentang Pemilu yang seakan tak digubris.
Kedua, politik uang sudah melekat dalam DNA (deoxyribonucleic acid) politik elit. Ia menyetubuh dalam sel-sel politik, semacam biomolekul yang menyimpan dan menyandi instruksi-instruksi genetika setiap organisme dan banyak jenis virus. Dalam DNA, instruksi genetika ini berperan penting untuk pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi organisme dan virus.
Elit kita hari ini pun tunduk pada instruksi genetika itu, demi menumbuhkan sekaligus memaksimalkan fungsi virus politik uang dalam diskursus demokrasi. Sebab, ketika instruksi tersebut dibatalkan, potensi untuk memenangkan sebuah pertandingan politik semakin menipis.
Pada Januari lalu, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengisahkan sindiran politik uang di pilkada yang diucapkan Inayah Wahid. Putri Presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu menyinggung politik uang saat bermain teater di Taman Ismail Marzuki. Saat itu, pelawak Marwoto bertanya kepada Inayah Wahid tentang kakaknya Yenny Wahid yang gagal maju dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 2018.
“Mbak Yenny itu kakakmu yang enggak jadi nyalon di Jawa Timur, toh?” tanya Marwoto.
“Iya, soalnya budget-nya enggak cukup untuk nyagub. Cukupnya cuma untuk camat,” kata Inayah Wahid disambut gelak tawa tamu undangan.
Guyonan Inayah cukup beralasan. Sebab, harapanmu akan sirnah ketika nyali untuk bertanding tidak didoping kekuatan finansial yang memadai. Bagi mereka yang masih nekat, hanya ada dua kemungkinan: ngutang dan rampok. Hasilnya menjadi bekal politik sekaligus tukar tambah rupiah dalam permainan politik uang. Di sinilah instruksi genetika itu bekerja.
Tidak menutup kemungkinan, praktik money politics merambah dalam konsetelasi pilkada NTT. Biasanya, aktivitas itu dilakukan oleh simpatisan, kader maupun pengurus partai menjelang hari H. Strategi ‘serangan fajar’ bermain di sini. Targetnya, mengekang pemilih dalam menjalankan haknya, sekaligus menggiring mereka untuk mengikuti pilihannya dengan disumbat sejumlah rupiah dan sekilogram beras. Hak pemilih dibantai habis-habisan.
Tentu, praktik semacam ini merupakan bentuk pengangkangan akal sehat yang semestinya menjadi senjata dalam pertarungan politik. Dalam ‘kamp’ pembantaian hak konstitusional itu, aspirasi murni pemilih dibeli, suara hati dibelokan, ruang percakapan yang fair ditenggelamkan. Yang tersisa hanyalah perdagangan harga diri.
Publik NTT mesti menyimpan separuh kepercayaan itu untuk melacak secara jernih setiap kandidat, sembari mengaktifkan akal sehat agar tidak terjebak dalam politik uang. Kita pun perlu mencurigai, bahwa tidak semua kandidat hadir sebagai malaikat yang datang menyelamatkan NTT. Tetapi bisa sebaliknya, mereka hadir sebagai jelmaan kolonialisme modern yang datang mengeruk sumber daya alam NTT, lalu pergi setelah semuanya dikuasai.
Merekam jejak politik sekaligus periodeisasi kehidupannya sebelum mengikrarkan janji menahkodai NTT, perlu dilakukan. Di sana bisa dideteksi, ada yang menghabiskan waktunya sebagai aktivis kemanusiaan, ngotot memperjuangkan hukum yang adil. Atau, ada pula yang mengangkangi itu, hidup sebagai preman yang akrab dengan pelecehan hak asasi manusia, dan tumbuh dalam lingkungan mafia kelas kakap, misalnya.
Kita tak harus rela digadai demi kepentingan politik sesaat, lalu menumbal harga diri semata-mata untuk segepok uang dan sekilogram beras. Barangkali, kita tak punya apa-apa untuk diwariskan ke anak cucu di kemudian hari, selain kehormatan dan harga diri. Jagalah itu sambil mengasah kewarasan berpikir generasi kita.*
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia