Kupang, Vox NTT- Pelaksanaan reklamasi “Pojok Cinta” di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur telah mendapat penolakan dari masyarakat setempat.
Berdasarkan sejarah sosialnya, Balauring merupakan desa maritim dengan jumlah nelayan sebanyak 692 jiwa dan sebanyak 39 buruh nelayan yang bekerja pada 4 lempara.
Dengan demikian maka sebanyak 731 jiwa menggantungkan hidupnya pada laut.
Selain itu, sebagian dari 402 ibu rumah tangga juga menjadi pembakul atau penjual ikan yang menggantungkan kebutuhan hidupnya dari nelayan di Desa Balauring.
Demikian jelas Dominikus Karangora, Divisi Sistem Data dan Media Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT dalam rilisnya yang diterima VoxNtt.com, Jumat (08/06/2018).
Dominikus menegaskan, dampak lingkungan akibat dari reklamasi akan berpengaruh pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Hal itu lantaran penimbunan pada air laut hanya akan merusak ekosistem laut.
Pelaksanaan reklamasi juga akan mengakibatkan daerah pantai lainnya rawan tenggelam.
“Hal ini mulai dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan pengakuan masyarakat Kampung Bajo dan Ujung Pasir di Desa Balauring bahwa telah terjadi peningkatan debit air akhir-akhir ini,” ujar Dominikus.
“Penolakan yang datang dari masyarakat Balauring dan masyarakat Dolulong lahir dari kesadaran masyarakat akan bahayanya kerusakan lingkungan, akibat reklamasi yang kemudian akan mempersempit wilayah kelola masyarakat dan menimbulkan bencana ekologis,” sambung dia.
Dia menyatakan, sebelumnya pada 21 Mei 2018, spirit untuk melindungi sumber-sumber kehidupan telah mendorong masyarakat Dolulolong untuk melakukan gugatan di Pengadilan Negeri Lembata dengan No: 8/PDT.G/2018/PN.LBT.
Setelah gugatan ini didaftarkan, pelaksanaan reklamasi ini kemudian dihentikan.
Kemudian, lanjut Dominikus, pada 06 Juni 2018, truk pengangkut tanah kembali beroperasi untuk melanjutkan penimbunan.
Sekitar pukul 14.00 Wita, Sahar Laili salah satu warga Desa Balauring yang mengetahui hal tersebut langsung melaporkan kepada Ahmad Bumi sebagai kuasa hukum masyarakat Dolulolong.
“Kemudian Abdul Salem Burhan dan beberapa rekannya mendatangi lokasi reklamasi untuk menyampaikan protes bahwa tidak boleh ada penimbunan karena lokasi reklamasi ini masih menjadi objek sengketa di Pengadilan Negeri Lembata dan belum ada putusan yang inkrah,” aku Dominikus.
“Berdasarkan jawaban dari sopir truk bahwa mereka tidak mengetahui hal ini, mereka hanya menjalankan perintah dari kontraktor. Protes yang disampaikan oleh Abdul setelah salah satu dari keenam truk sudah menimbun tanah di lokasi reklamasi. Setelah penyampaian itu, kelima truk lainnya ikut menimbun tanah di lokasi reklamasi,” lanjut dia.
Dominikus mengatakan, pelaksanaan reklamasi tersebut seolah-seolah menunjukan sikap pemerintah yang tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Itu terutama Peraturan Presiden No 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil yaitu Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).
Di situ ditegaskan bahwa jika dilakukan reklamasi pantai dan pulau-pulau kecil terlebih dahulu memiliki rencana reklamasi yang meliputi penentuan lokasi, rencana induk reklamasi dan studi kelayakan yang meliputi audit lingkungan (Amdal), analisis sosial dan ekonomi, serta rencana detail pelaksanaan reklamasi.
Pasal 4 menegaskan, jika dilakukan reklamasi pantai dan pulau-pulau kecil harus memiliki rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diatur dalam peraturan daerah.
Pasal 11 menjelaskan, reklamasi pantai harus memperhatikan pranata sosial, kearifan lokal, kepemilikan atau penguasaan lahan, kondisi ekosistem pesisir, dampak ekonomi dan akses publik atau kepentingan publik.
Dominikus menambahkan, pasal 15 sampai dengan pasal 21 Perpres tersebut mengatur tentang perizinan, baik izin lokasi maupun izin pelaksanaan reklamasi selain audit lingkungan/Amdal yang didahului dengan peraturan daerah tentang zonasi kawasan dan lainnya.
Penulis:Tarsi Salmon
Editor: Adrianus Aba