Editorial, Vox NTT-Gubernur NTT, Frans Lebu Raya terlihat tak mampu menahan haru saat acara perpisahan dengan para ASN provinsi NTT di stadion Oepoi Kupang, Jumat (13/07/2018).
Air mata Gubernur NTT selama 10 tahun ini tak terbendung saat lagu Bale Nagi (Balik Kampung) dilantunkan merdu, penuh penghayatan. Lagu yang berasal dari tanah kelahirannya ini, ibarat kidung perpisahan mengiringi hari-hari terakhirnya dari kursi nomor satu di NTT.
Sementara Lusia Lebu Raya, istrinya yang duduk disamping, tampak ikut merasakan suasana haru. Matanya berkaca-kaca, tatapannya seperti menyisakan kenangan. Beberapa ASN yang juga menyaksikan tangisan itu seperti ikut diselimuti kabut haru.
Entah apa yang dipikirkan Gubernur Lebu Raya saat itu. Yang pasti, dinamika politik selama 10 tahun kepemimpinannya telah membentuk kenangan, menyisakan cerita yang hanya mampu diungkapkan dengan air mata.
Tangisan dan Gubernur Lebu Raya memang kerap menghiasi perjalanan kepemimpinannya.
Saat atlet Kempo NTT berhasil meraih 3 medali emas, 1 perak, dan 2 perunggu pada kejuaraan dunia di San Fransisco Amerika Serikat pada Juli 2017 lalu, Lebu Raya tak mampu menahan tangis.
Pada Kamis 24 Mei 2018, mantan wakil ketua DPRD NTT ini juga menangis kala menyaksikan Marching Band Madrasah di Karnaval Budaya Paduan Suara Katolik.
Tak hanya itu, pada 1 Juni 2018, jejak digital juga menemukan Gubernur Frans menangis di lapangan Pancasila Ende saat acara peringatan Hari Pancasila.
Air mata seorang Gubernur Lebu Raya, tentu bukan air mata biasa. Air mata gubernur berbeda dengan air mata seorang Bapak penjual kelapa muda yang berdagang tepat di belakang kantor Gubernur NTT atau air mata anak pemulung yang tiap hari lalu lalang di hadapan kantor Gubernur NTT mencari botol bekas minuman.
Di balik air mata Gubernur mengandung larutan kisah yang beragam makna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi rakyat NTT yang menyaksikannya.
Bagi Gubernur Frans, air mata saat acara perpisahan itu mungkin saja murni ekspresi kesedihan meninggalkan empuknya kursi kekuasaan selama 10 tahun. Namun bagi rakyat NTT, momentum perpisahaan itu adalah larutan jejak yang membentuk air mata.
Di dalam larutan itu terselip memori kebijakan yang terus membekas. Bekas-bekasnya sudah lekat dirasakan rakyat NTT bahkan berdampak jauh dikemudian hari.
Masa 10 tahun bukanlah waktu yang singkat. Memimpin NTT tentu punya tantangan tersendiri mengingat provinsi tercinta ini terus dililit banyak persoalan. Ada kemiskinan, korupsi, rendahnya mutu pendidikan, ketidakadilan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Beragam persoalan ini harus diakui masih melekat bahkan mungkin terus menjerat pada hari-hari yang akan datang.
Sampai di sini, dapat dimaknai bahwa air mata perpisahan sesungguhnya belum berarti ‘say good bye‘ dari beragam persoalan yang mendera NTT selama ini. Bisa jadi air mata yang menggenang di pipi itu bukan hanya air mata Lebu Raya sendiri tetapi juga adalah larutan air mata rakyat yang masih miskin dan akan terus miskin.
Pada konteks pengentasan kemiskinan, meskipun mengalami dinamika naik turun selama 10 tahun terakhir, namun tidak mengalami perubahan urutan secara nasional.
Jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain yang ada di Indonesia, persentase kemiskinan NTT menempati urutan ketiga setelah Provinsi Papua dan Papua Barat.
Selain meninggalkan persoalan kemiskinan yang masih melilit rakyat NTT, bawaan kemiskinan itu juga berdampak pada gelombang migrasi TKI keluar NTT. Karena rendahnya skill, mereka diperlakukan secara tidak adil di negeri orang.
Alhasilnya, angka kematian TKI yang bekerja ke luar negeri terbilang cukup besar selama kepemimpinan Frans Lebu Raya.
Setiap bulan, NTT nyaris selalu disuguhi tangis duka korban human trafficking. Ada yang jenazahnya dipulangkan secara utuh, namun tak sedikit juga yang pulang dengan kehilangan beberapa organ tubuhnya.
BACA: Peta Kasus Kematian TKI per Kabupaten-Kota di NTT
Terhitung sejak tahun Januari 2015 sampai Februari 2018, jumlah TKI yang meninggal di luar negeri sebanyak 147 orang. Data yang diperoleh dari BP3TKI ini mengungkap sebanyak 145 orang meninggal di Malaysia, sedangkan 2 lainnya meninggal di Brunei dan Hongkong.
Data ini belum termasuk kematian TKI yang tidak dipulangkan, tidak terpantau B3TKI dan pada periode Februari-Juli 2018.
BACA: Tiga Jenazah TKI Korban Tabrakan Maut di Perairan Sebatik Tiba di Flotim
Di bidang pendidikan pun demikian. Hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2016 menyatakan bahwa persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang buta huruf mencapai 7,40 persen.
Di kancah nasional, pendidikan NTT masih buncit di posisi tiga dari belakang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy pada Januari 2018 lalu menyebutkan pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) berada di urutan ketiga terbawah secara nasional, setelah Papua dan Papua Barat.
Di bidang pengentasan pengangguran juga masih memiliki utang besar. Sektor yang paling besar menciptakan lapangan pekerjaan adalah sektor pertanian. Sektor ini dominasi oleh penduduk yang berpendidikan SD ke bawah. Artinya, tanpa program khusus pemerintah sekalipun, sektor ini tetap hidup karena sudah menjadi corak kebudayaan orang NTT.
Sejumlah data ini, setidaknya bisa menyimpulkan bahwa masa 10 tahun kepemimpin Gubernur Frans belum memberi sumbangsi yang berarti bagi kemajuan NTT.
Soal keberhasilan tentu pasti ada. Tekad pemprov NTT dalam pengembangan provinsi jagung, ternak, bidang koperasi, pengembangan cendana, pengembangan perikanan dan kelautan dan pengembangan pariwisata, tidak bisa bisa dipungkiri. Ada yang berhasil namun tak sedikit juga yang gagal. Indikatornya kembali ke angka kemiskinan di atas.
Program Desa/Kelurahan Anggur Merah yang dimulai sejak 2011 sampai 2017, juga telah mendatangkan pengaruh bagi 3.250 desa dan kelurahan senilai Rp 812,5 Miliar. Namun sayangnya, teknis pelaksanaan program ini kurang diperhatikan sehingga kurang berdampak dalam pembangunan ekonomi masyarakat NTT.
Gubernur Frans sendiri saat menyampaikan pidato akhir tahun pada Januari 2016 lalu mengakui bahwa setelah lima tahun bergulir program Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM) ada kegagalan dan cerita sukses.
Lalu apa makna tangisan Lebu Raya bagi rakyat NTT? Dalam air mata itu, tentu terselip larutan cerita sukses. Namun di sisi lain juga menjadi simbol kegagalan.
Satu hal yang mungkin perlu disadari Gubernur Lebu Raya bahwa dibalik airmata yang menggenang di pipi itu ada air mata mereka yang masih dililit kemiskinan. Air mata para keluarga korban human trafficking, air mata anak muda NTT yang masih bingung mencari kerja dan air mata mereka yang tertindas karena ruang publiknya digerus atas nama pembangunan. Semua masalah yang belum kelar itu juga terlarut dalam air mata perpisahan. (VoN).