Kupang, Vox NTT-Mata Mariance Kabu (35), wanita asal Desa Poli, Amanuban Selatan, Kabupaten TTS tampak berkaca-kaca.
Suaranya seperti tak mampu menahan tangis saat mengingat kembali penyiksaan yang diterima dari majikannya 4 tahun silam.
Di sela-sela peringatan hari anti human trafficking di halaman kantor Gubernur NTT, Senin (30/07/2018), Mariance menceritakan kembali awal mula dirinya berangkat ke Malaysia.
Awalnya dia rekrut oleh dua tenaga lapangan dari PT Malindo. Keduanya yakni TM, warga Maulafa Kota Kupang dan PB warga Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Proses perekrutan ini tanpa sepengetahuan suami dan keluarga di kampung halamannya.
Mariance tergiur karena diiming-imingi gaji sebesar 800 ringgit atau setara 2 juta rupiah per bulan.
Saat dirinya berangkat dari kampung halaman, langsung diarahkan ke tempat penampungan milik PT. Malindo di Maulafa, Kota Kupang.
Di sana, dia ditampung selama satu minggu tanpa pelatihan apapun dari perusahaan perekrut.
Dia diberangkatkan ke Malaysia melalui bandara Eltari Kupang pada 11 April 2014 pukul 06.00 WITA.
Mariance pergi meninggalkan 4 anaknya Yanto (17), Yarne (14), Jero (11) dan Jeli (9).
Mariance mengaku ke sana karena desakan ekonomi. Sebelumnya dia hanya sebagai ibu rumah tangga dan suaminya Karfinus Tefa (52), bekerja sebagai penjual sembako di pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang.
BACA JUGA: Makam di Kantor Gubernur NTT
Berangkat dari bandara Eltari, pesawat yang mereka tumpangi sempat transit di Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan ke Batam.
Sampai di Batam sekitar jam 3 sore, penerbangan kemudian dilanjutkan ke Malaysia hingga akhirnya tiba jam 12.00 malam.
Di sana, dia dan beberapa temannya ditampung lagi selama satu minggu. Mariance sendiri sudah lupa dimana tempat penampungan tersebut.
Dia dan teman-temannya harus menunggu sembari berharap ada majikan yang mau menerima mereka sebagai pekerja rumah tangga.
Majikan yang tunggu akirnya datang setelah dicari oleh orang yang mengurus rumah penampungan itu.
Mariance mendapatkan seorang majikan bernama Ong Su Ping Serena (47) dengan kontrak kerja selama dua tahun.
Dirinya dijemput oleh majikan tersebut saat pulang kantor menuju sebuah apartemen berlantai lima di Ampang, Selangor, Malaysia.
Sampai di rumah, ibu Mariance diberikan jadwal untuk kerja dari pagi sampai malam mulai dari urus rumah, bersih-bersih, masak, hingga menjaga seorang Nenek .
Nenek yang merupakan ibu dari majikannya itu sudah berusia 92 tahun.
Serena, majikan Mariance adalah pekerja kantoran. Dia tidak memiliki suami dan anak. Belakangan dikabarkan kalau majikannya itu ternyata seorang lesbian.
Satu bulan pertama, belum ada tanda-tanda kekerasan yang akan terjadi. Mariance bekerja seperti layaknya pembantu rumah tangga di apartemen murah Blok M10 itu.
Namun pada bulan-bulan berikutnya, perlakuan kasar mulai bertubi-tubi datang.
“Saya dipukul, ditendang seperti binatang. Kuku saya dicabut, hidung saya patah dan telinga saya tidak berfungsi dengan baik,” kisah Mariance.
BACA JUGA: Ini Hasil Kajian IRGSC Terhadap Kasus Perdagangan Orang di TTS
Kepada VoxNtt.com, Mariance mengaku tidak sanggup menceritakan semua penyiksaan itu secara detail.
“Saya seperti tinggal di neraka pada saat itu. Saya harus siap dulu kalau menceritakan semuanya,” kata Mariance yang tak sadar meneteskan air mata.
Sepucuk Surat Penyelamat
Usaha untuk lari dari apartemen itu sudah dipikirkan sejak pertama kali dirinya disiksa. Namun setiap kali majikannya ke kantor, semua pintu dan jendela dikunci.
Mariance ditinggalkan berdua dengan ibunda Serena yang sakit-sakitan.
Suatu ketika, tibalah saat yang tepat bagi Mariance untuk keluar dari rumah itu.
Sebuah ilham seakan menyuruhnya untuk menulis sepucuk surat. Mariance menulis surat itu untuk seorang tetangga yang berasal dari India. Nama tetangga itu dia sudah lupa.
Jarak apartemen mereka dengan tetangga tersebut sekitar 5 meter dengan pintu yang berhadapan.
“Pokoknya saya tulis bahwa saya di sini mandi darah setiap hari, tolong saya,” kisah Mariance.
Mariance menulis surat itu saat majikannya berangkat ke kantor. Secarik surat itu selesai ditulisnya kira-kira jam 11 siang pada 20 Desember 2014.
Surat itu lalu dia sembunyikan dalam saku celana. Menjelang jam 6 sore, dia mendengar ada orang yang lewat di luar apartemen.
Dia cepat-cepat meremas surat itu dan melemparnya lewat fentilasi sambil berteriak minta tolong.
Dalam pikirannya surat harus tepat sasaran karena saat itu adalah waktu majikannya pulang dari kantor.
Beruntung surat yang tulis dalam bahasa melayu mencapai target. Tetangga apartemen mendapatkan surat kusut itu dan segera melapor ke Kepolisian Ampang.
Satu jam kemudian, kepolisian Ampang, Malaysia datang. Saat itu, sang majikan sudah tiba di apartemen.
Saat ditanya polisi, Mariance menceritakan, sang majikan sempat menyangkali tindakannya. Mereka kemudian dibawa ke kantor Polisi untuk diambil keterangan.
“Saat ke kantor polisi saya tidak bawa pakaian selain yang ada ditubuh. Saya merasa seperti merdeka saat bisa keluar dari rumah itu” kisahnya.
Mariance juga mengaku kalau setiap kali bekerja dirinya tidak diperbolehkan memakai pakaian dalam. Hanya sebuah baju dan celana pendek.
Sampai sekarang, hanya Mariance sendiri yang tahu maksud perlakuan itu. Dia tak sanggup menceritakan semuanya secara detail.
“Ya kita tidak bisa melawan. Ikuti saja karena kalau tidak pasti kita dapat hukuman” ungkapnya.
Dia hanya mampu melawannnya dengan doa agar majikannya bertobat.
“Sampai detik ini pun saya tidak marah dan benci walau muka saya hancur, hidung saya patah, bibir saya robek. Dulu kalau saya makan, kepala harus diangkat ke belakang karena air keluar lewat hidung,” terang Mariance.
Setelah ambil keterangan di kantor polisi, Mariance kemudian dilarikan ke rumah sakit Ampang Jaya di Kuala Lumpur selama 9 hari.
“Saat saya pergi ke Malaysia berat badan saya 60 Kg namun saat rumah sakit cuma 20 Kg. Kurus sekali. Namun saya bersyukur karena Tuhan mengizinkan saya tetap hidup” ungkapnya sambil sesekali mengelah nafas panjang.
BACA JUGA: Kematian TKI Masalah Akut di NTT
Setelah dari rumah sakit, Mariance diantar ke rumah perlindungan TKI milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).
Di sana, dia tinggal selama 6 bulan untuk mengikuti lima kali persidangan.
“Saat itu saya tidak tahu lagi hasil sidang bagaimana karena saya dipulangkan tanggal 4 Juli 2015 ke Indonesia” terangnya.
Dari kontrak kerja selama dua tahun dengan majikannya, Mariance hanya melaluinya selama 8 bulan.
Namun jika ditambah dengan proses persidangan selama 6 bulan, totalnya 1,5 tahun berada di Malaysia.
Dikuatkan Harapan
Saat mengalami berbagai penyiksaan sadis, Mariance mengaku dikuatkan oleh harapan yang tertuang dalam doanya.
Saat disiksa, sesekali dirinya menatap mata majikan sembari mendengungkan doa dalam hatinya “Tuhan tidak mengizinkan saya untuk mati di sini, di tanganmu”.
Doa ini terus didengungkannya setiap hari bahkan setiap detik.
Dia yakin bahwa karya Tuhan akan menuntunnya keluar dari ‘neraka’ itu.
“Bahkan walau tindakan saya juga dipantau majikan lewat kamera handphone dari kantor, saya tetap yakin Tuhan akan bantu,” ungkapnya.
Tentang Majikan
Mariance sendiri mengaku bingung dengan sikap majikannya.
“Dia lihat saya seperti musuh pak. Itu saja. Bahkan apa yang saya kerjakan selalu salah di mata dia. Dia seakan selalu punya alasan untuk siksa saya” ungkap ibu 4 orang anak ini.
BACA JUGA: Peta Kasus Kematian TKI per Kabupaten-Kota di NTT
Apa yang disampaikan Mariance memang belum tersampaikan semuanya. Dari raut wajahnya seperti masih menyimpan luka yang cukup dalam.
Namun, apa yang dipendam itu ternyata sebuah skandal yang cukup parah.
The Malay Mail, Rabu (24/12/2014), merilis pengakuan Mariance di hadapan polisi Ampang, Malaysia.
Dokumen dari polisi yang menyatakan majikan Mariance bekerja sebagai konsultan perminyakan itu, ternyata penyuka sesama jenis alias lesbian.
Mariance rutin dipukuli di bagian wajah, gerahamnya dicabut menggunakan tang, dan dipaksa minum air kencingnya sendiri.
Selain itu Mariance juga mengalami pelecehan seksual yang diduga dilakukan dua pasangan lesbian itu.
Pengakuan ini disampaikan Mariance pada 23 Desember 2014 di hadapan kepolisian Malaysia.
“Saya masih ingat bagaimana saya mengalami pendarahan deras dan tidak diberi pengobatan apa pun. Saya menggunakan pakaian saya sendiri untuk menghentikan pendarahan. Selama berhari-hari, saya tidak dapat makan apa pun dan terus-menerus merasakan sakit. Ada kalanya mereka memaksa saya untuk makan tahi mata saya sendiri (sleepydust),” aku Mariance seperti dilansir dari The Malay Mail.
Apapun yang pernah dilalui Mariance, dia bersyukur bisa lolos dari semua penyiksaan itu. Sekarang dia tinggal di Naikolan bersama suami dan anak-anaknya.
“Saya berharap kita lawan masalah ini secara bersama-sama. Saya merasa bersyukur sekali karena dalam berbagai komunitas kemanusiaan di Kota Kupang saya bisa mengenal banyak orang. Ternyata saya tidak sendiri pak” ungkap Mariance.
Mariance berharap dari kisahnya ini, menjadi pelajaran berharga bagi semua masyarakat NTT yang hendak menjadi TKI/TKW di luar negeri.
Penulis: Irvan K