Kupang, Vox NTT-Sabtu, 30 Maret 2019. Hari masih pagi. Saya bergegas meninggalkan rumah menuju Perpustakaan Daerah NTT, di Jalan Tompelo No. 01, Kota Kupang.
Seperti biasa, ke sana saya naik angkutan dalam kota, turun di Halte, tepat di hadapan Gereja Katolik Kristus Raja, Katedral.
Dari Halte, saya bergegas menuju perpustakaan yang jaraknya sekitar 50 meter.
Sungguh, memasuki pintu tempat itu seperti mengenang kembali masa putih abu saat menjelang Ujian Nasional (UN) SMA dulu.
Kala itu, perpustakaan seolah menjadi ruang kelas untuk belajar dan menyelesaikan berbagai latihan soal.
Sejenak saya tersenyum, serentak mengenang keseruan kala itu. Maklum, UN menjadi pertarungan awal untuk menjemput masa depan. Tentu saja mendebarkan. Tetapi indah dikenang.
Memasuki ruangan itu, saya tak menemukan banyak perubahan, kecuali pelayanannya yang sedikit lebih maju. Dari yang dulu bersifat manual, menjadi berbasis digital, seperti pembuatan kartu perpustakaan yang kian mudah dan cepat. Para pelayan juga sudah lebih ramah dan interaktif.
Hal ini cukup membuat saya nyaman untuk berada di sana. “Okay, hope this visit is fun!” gerutu saya dalam hati.
Di lantai dasar, banyak anak-anak Sekolah Dasar (SD). Ada yang berseragam pramuka, beberapa lagi berpakaian bebas.
Ada juga anak Taman Kanak-kanak (TK), lagi asyik dengan buku bacaan anak-anak yang lengkap dengan karikaturnya. Beberapa di antaranya hanya terlihat asyik bercerita.
Di lantai dua, ada segerombolan mahasiswa yang entah sedang mengerjakan tugas atau sekadar ngenet, memanfaatkan wifi gratis.
Sementara di lantai tiga, tampak sepi. Pengunjungnya sangat sedikit dibandingkan di lantai satu dan dua. Mungkin karena weekend.
Beberapa ruangan tua terlihat kosong pada “Bidang Pembinaan”. Ruangannya terkunci, melalui kaca tembus pandang pada pintu. Ruangan itu seperti tak terawat dan tak digunakan.
Pada ruangan lain, “Bidang Referensi” ditemukan tumpukan buku tua bersama sejumlah kamus berbagai bahasa penuh debu, seolah rindu ingin dibaca.
Segera saya tinggalkan ruangan itu dan lekas menuju ruangan lainnya, mereka menyebutnya, “Bidang Deposit”.
Di sana terdapat beberapa lemari buku dan satu meja panjang seperti meja resepsionis. Buku wajib diisi pengunjung telah disiapkan.
Di sana pula saya bertemu salah satu petugas. Namanya Agus Nassa (54). Kami bercerita banyak hal.
Kepada saya, Bapak Agus menceritakan tentang suka duka yang dihadapinya di ruangan itu (Bidang Deposit).
Bidang ini katanya, adalah bidang yang menyimpan buku-buku hasil riset dan karya tentang NTT. Darinya, saya mendapatkan banyak informasi menyoal isi perpustakaan tua ini.
Latar Sejarah
Badan Perpustakaan Daerah (Bapusda) Provinsi NTT didirikan 23 Mei 1956 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 29103/S. Kala itu, namanya Perpustakaan Negara di Kupang.
Selanjutnya berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 0199/197 tanggal 23 Juni 1978, Perpus Negara berubah menjadi Perpustakaan Wilayah yang berada di bawah naungan pusat pembinaan perpustakaan, bagian dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1989, tentang Perpustakaan Nasional RI, Perpustakaan Wilayah di Kupang kembali berubah nama menjadi Perpustakaan Daerah NTT dan bertanggung jawab kepada Kepala Perpustakaan Nasional RI yang statusnya adalah Lembaga nondepartemen.
Artinya, Perpustakan Daerah adalah wakil perpustakaan nasional yang ada di daerah. Kendati demikian, dalam melaksanakan tugasnya di daerah tetap memperhatikan petunjuk Gubernur sebagai Kepala Daerah.
Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor: 50 Tahun 1997 tanggal 29 Desember 1997, Perpustakaan Daerah berubah lagi menjadi Perpustakaan Nasional Provinsi dan dinaikan statusnya dari Eselon III A menjadi Eselon II hingga tahun 2001.
Sejalan dengan perubahan otonomi daerah, pada tanggal 22 Agustus 2001 perpustakaan daerah menjadi Badan Perpustakaan Provinsi NTT.
Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi NTT Nomor 11 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perpustakaan Daerah Provinsi NTT ditetapkan lewat peraturan Gubernur Nomor 41 tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Perpustakaan Daerah Prov. NTT.
Jadi, embrio perpustakaan di NTT ada sejak ditetapkan Provinsi NTT sebagai Daerah TK. I yang terpisah dari Provinsi NTT (Daerah Swa Tantra Tk. I Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) (UU. No. 64 Tahun 1958).
Sejak saat itulah perpustakaan mulai dirintis dan berada di bawah Bidang Kesenian dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT.
Jendela Dunia?
Sebagai orang yang sudah mengabdi hampir sepuluh tahun di Perpustakaan, Bapak Agus mengaku aset penting dalam memajukan literasi dan peradaban itu seperti jarang diperhatikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi setiap ruangan yang tak terurus.
Padahal kata dia, Perpustakaan selalu diibaratkan sebagai jendela dunia, yang membuka jalan masa depan bagi generasi sebuah bangsa.
Tak hanya itu, Perpustakaan kerap disebut nafas peradaban. Namun, selogan itu menjadi kabur karena kondisinya yang jarang diperhatikan.
Bagaimana tidak, di ruangan Deposit, meski ber AC terdapat kipas angin yang bergelantungan tetapi sudah tidak berfungsi alias rusak. Belum lagi sarang laba-laba yang jumlahnya cukup banyak dan menggelikan.
Selain itu menurut Bapak Agus, ketersediaan buku referensi memang sangat terbatas, terutama mengenai NTT. Hal ini membuat mereka kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pengunjung.
Bagi Bapak Agus, mestinya ini tak boleh terjadi. “Tapi apa daya, kita tak mampu menggandakan itu,” ungkap Bapa Agus.
Pendanaan, lanjutnya, menjadi salah satu masalah penting di tempat yang kian menua itu.
Rak berisi bahan bacaan koran harian kota yang dibuat semacam kliping dan dijilid seperti buku, kondisinya tak tertata dengan baik. Akibatnya, buku-buku itu diletakan dalam posisi di-tidur-kan.
Di bagian lain, terdapat dua rak buku yang pada bagian atasnya terdapat dua ember.
Kata Bapak Agus, ember itu menada air hujan yang masuk karena kondisi atap bocor sehingga tidak mengenai buku yang ada di sekitarnya.
Saat hujan tiba, Bapak Agus tak hanya berperan sebagai Pustakawan tetapi juga merangkap Cleaning Service untuk membersihkan ruangan akibat bocornya plafon.
“Kami ini mau bekerja. Tapi apa daya, infrastruktur yang ada di sini tidak mendukung kami. Kondisi di sini selalu sama, dari tahun ke tahun,” begitu keluh Bapak Agus.
Menurutnya, beberapa waktu lalu anggota Komisi V DPRD NTT, Winston Neil Rondo bersama crew pernah berkunjung ke sana namun hanya meninggalkan keluh yang sama.
Demikian Bapak Agus, arahan yang diberikannya saat itu hanya sebatas ‘keinginan’ untuk membuat nyaman. Tetapi hasilnya tidak menciptakan kenyamanan.
“Kami kecewa juga Nona,” sambungnya.
Disampaikan Bapak Agus, di era kepemimpinan Gubernur Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur, Benny A Litelnoni, mengunjungi Perpustakaan Daerah hanya sebatas membuka kegiatan pameran buku dan mengunjungi kepala perpustakaan.
Pemerintah di bawah rezim ini tidak pernah mengunjungi ruangan-ruangan bacaan.
“Belum tahu Gubernur Viktor. Sejauh ini beliau juga belum pernah ke sini,” ungkap Bapak Agus.
NTT Provinsi Literasi?
Gerakan perubahan adalah slogan yang bergema setiap pergantian rezim di NTT. Untuk menggerakan energi itu, tentu penguatan sumber daya manusia menjadi hal mendasar.
Bayangkan saja, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyuguhkan NTT termasuk dalam empat besar angka buta huruf paling tinggi di Indonesia. Angka yang cukup paradoks dengan slogan Provinsi Literasi.
Kemendikbud mengungkapkan, 11 provinsi yang memiliki angka buta huruf paling tinggi yaitu Papua (28,75 persen), NTB (7,91 persen), NTT (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen).
Kalimantan Barat (4,50 peren), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jawa Tengah (2,20 persen).
Belajar dari realitas yang digambarkan di atas, budaya literasi sesungguhnya masih keropos.
Kisah Guru Tuna Netra Mengajar Siswa ‘Buta’ (Memaknai Hari PGRI)
Meski saat ini relawan peduli literasi di NTT jumlahnya kian banyak, namun virus membaca harus terus gencar disebarluaskan. Salah satunya adalah melalui penataan Perpustakaan Daerah.
Gerakan menyebarkan virus membaca, menulis dan berdiskusi harus menjadi spirit semua stakeholder, terutama pemerintah.
Untuk mewujudkannya, manajemen perpusatakaan membutuhkan perbaikan tata kelola dan intervensi anggaran demi memperbaiki fasilitas dan pengadaan buku-buku.
Mewujudkan NTT sebagai provinsi literasi memang tak seperti kita mengayuh sepeda, jika salah arah mudah kita belokkan stirnya.
Literasi juga bukan sekadar soal baca tulis tetapi padanya juga kesanggupan untuk bersaing dalam penemuan, produktif dalam penciptaan, sikap kritis dan kepekaan terhadap lingkungan masyarakat di sekitar.
Berantas Buta Huruf, Guru di Mabar Ikut Program Bebas Buta Huruf
Suatu waktu istri Gubernur Viktor, Julie Laiskodat dalam kunjungannya di SMKN 4 Kupang mengatakan “Pak Viktor Laiskodat, Gubernur NTT menjadi orang sukses karena rajin membaca buku,” (Pos Kupang: 20/9/2018).
NTT pun sedang menunggu Sang Nahkoda untuk melakukan perubahan.
Memulainya, bisa dengan membenahi dan membersihkan kaca jendela dunia (Perpustakaan Daerah) yang mulai retak.
Mengunjungi dan merawat perpustakaan adalah bagian dari menjaga peradaban NTT.
Penulis: Grace Gracella
Editor: Irvan K