Kupang, Vox NTT-Di tengah berseliwernya janji-janji kesejahteraan dan pembangunan oleh para caleg, persoalan krisis, kemanusiaan, masalah di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sama sekali belum disinggung dalam kampanye publik.
Persoalan-persoalan ini juga belum tampak menjadi diskursus serius dalam panggung perdebatan politik menuju pemilihan legislatif 2019.
Masyarakat, terutama pemilih malah disesaki narasi klise soal kesejahteraan, melalui setumpuk janji yang utopis.
“Padahal, sejumlah krisis dan masalah begitu nyata terjadi dan semuanya terdapat peran pemerintah pusat dan DPR,” kata Melki Nahar dalam diskusi publik bertajuk ‘Menyoal Pemilu 2019 Bagi Penyelesaian Krisis dan Masalah di NTT’ di kantor WALHI, Kota Kupang, Senin (01/04/2019).
Di NTT, misalnya, persoalan tambang dan geothermal, pariwisata masal, perkebunan tebu dan kemiri sunan skala besar, industri garam adalah sebagian dari begitu banyak kebijakan yang berdampak buruk bagi rakyat.
Kebijakan-kebijakan ini, lanjut Melky, telah dan sedang menggerogoti masyarakat dan ruang hidupnya. Mulai dari alih fungsi lahan skala besar akibat ekspansi perkebunan tebu di Sumba Timur dan kemiri sunan di Bajawa, privatisasi wilayah pesisir dan laut akibat pengembangan industri pariwisata, dan hilangnya akses terhadap air demi industri pariwisata dan geothermal.
Selain itu, masalah dampak lingkungan pertambangan, kekerasan dan kriminalisasi demi pembangunan resort mewah di Sumba Barat, hingga kerusakan lingkungan seperti mangrove di Malaka.
Menurut Melki, masalah-masalah ini menjadi soal ketika caleg wajah lama maupun wajah baru banyak yang terlibat di dalamnya.
Mereka tidak hanya sebagai penyalur kepentingan pemilik partai, tetapi punya investasi pada bidang-bidang yang disebutkan di atas.
“Pertanyaannya apakah ketika calon-calon DPR RI ini terpilih tidak menggunakan kekuasaannya untuk melanggengkan ekspansi bisnis mereka dan melawan kepentingan elit partai yang lebih tinggi? Apalagi dari beberapa caleg tersebut ikut bermain juga dalam bisnis yang sama,” ungkap direktur kampanye Jaring Advokasi Tambang (JATAM) ini.
Menurut kajian JATAM, kehadiran caleg-caleg ini tidak akan membawa perubahaan bagi rakyat kecil.
“Kepentingan mereka itu adalah bagaimana bisnisnya berjalan dengan aman, buka investasi baru dan bisa terhindar dari jeratan hukum. Urgensi kah memilih orang-orang ini ke Senayan? atau jangan-jangan hanya untuk mengurus kepentingan bisnis?” ” pungkasnya.
Selain mengantongi data jejak rekam para caleg, bukti ketidakberpihakan calon-calon ini yakni tidak ada satupun yang berani berbicara dampak buruk investasi tambang dan masalah kemanusiaan di NTT.
Tidak ada satu juga yang membicarakan dampak buruk praktek pariwisata massal yang ada di Sumba dan Flores yang justru memarjinalkan masyarakat.
Justru, narasi yang mereka bangun ke publik saat ini adalah kalau terpilih bisa menggeontorkan dana-dana besar ke NTT.
Padahal seharusnya mereka berbicara bagaimana caranya supaya krisis dan masalah-masalah investasi ini diadvokasi di level kebijakan jika terpilih.
“Ini persoalan yang harus dipikirkan serius agar kita tidak memilih orang yang salah” tegasnya.
Rekam Jejak Caleg yang Patut Dipertimbangkan
Untuk itu, JATAM, WALHI dan JPIC OFM mencoba membuka mata publik khususnya pemilih di NTT untuk mempertimbangkan keterpilihan beberapa calon DPR RI yang berpotensi merusak hak hidup dan wilayah kelolah rakyat.
Para calon legislator nasional tersebut justru diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi, mulai dari Melchias Marcus Mekeng yang diduga terlibat dalam kasus korupsi PLTU Riau 1 dan Pius Lustrilanang yang diduga menerima bon dengan keterangan ‘grand design gedung DPR’.
Demikian juga dengan Johnny G. Plate yang tercatat sebagai Komisaris PT Mandosawo Putratama (2007), sebuah perusahaan yang merupakan pemilik/pemegang saham PT Yama Bumi Palaka untuk komoditas batu bara.
Selain itu, Serenty Pasific Ltd yang diduga milik Plate pernah masuk dalam panama papers, sebuah dokumen yang berisi skandal pajak dan korupsi dari korporasi, pengusaha, dan politisi.
Adapun para calon legislator nasional yang baru seperti Frans Lebu Raya, Christian Rotok, Yoseph Tote dari Dapil NTT 1, memiliki rekam jejak buruk dalam sengkarut pertambangan.
Sementara Anton Bagul Dagur yang ketika menjabat Bupati Manggarai terjadi kasus ‘rabu berdarah’, 5 petani asal Colol ditembak mati dan satu lagi meninggal di rumah sakit. Kasus ini bermula dari penangkapan tujuh petani atas tuduhan pembalakan liar.
Sementara calon legislator Dapil NTT II, mulai dari Paulus Victor Rolland Mella, Ayub Titu Eki, dan Umbu Sappi Pateduk juga tercatat memiliki rekam jejak buruk dalam permasalahan tambang di NTT.
Adapun Piter Thinung Pitobi, melalui Pitobi Group menguasai Pulau Kera untuk pembangunan Pitobi Raya Resort dan Arena Water Sport, lalu berencana merelokasi penduduk setempat.
Sementara Herman Herry juga diduga terlibat kasus korupsi dalam proyek pengadaan solar home system di Kementerian ESDM untuk tahun anggaran 2007-2008.
Pengusaha yang menjabat sebagai Presiden Komisaris Grup Dwimuka ini juga membangun hotel di kawasan pesisir Kota Kupang, diduga kawasan konservasi.
“Keterlibatan bisnis dan rekam jejak yang buruk ini berpotensi terjadi konflik kepentingan dan rawan memperdagangkan pengaruh dalam mengamankan bisnis dan terhindar dari jeratan hukum, serta berpotensi ikut terlibat dalam arena kepentingan elit partai politik nasional, sehingga krisis dan masalah di NTT tak diurus, terus terjadi,” tambah Pastor Alsis Goa, OFM selaku direktur JPIC OFM.
Selain itu, direktur WALHI NTT, Umbu Wulang menegaskan, NTT memang secara basis pemilih rendah, tapi secara ekonomi dan bisnis NTT sangat diperhitungkan.
“Apakah kita masih mau mendukung orang-orang yang sudah punya jejak buruk dalam konteks investasi yang berdampak pada lingkungan dan sosial? Saatnya rakyat NTT untuk mempertimbangkan lagi,” kata Umbu.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Irvan K