Kupang, Vox NTT-Pukul 17.00 malam, aula seluas kurang lebih 25 meter persegi milik Dewan Pimpinan Daerah I Partai Golkar NTT terlihat ramai.
Hiruk pikuk mahasiswa mulai kelihatan. Ada yang datang, pun ada yang pergi. Mereka semua memakai pakaian adat dari berbagai suku daerah di NTT. Ada yang memakai kain sarung lokal, kebaya hingga memakai selendang.
Setiap 26 Oktober, mahasiwa yang berasal dari Program Studi bahasa dan Sastra Indionesia Undana itu menyambut bulan bahasa.
Sebagai agenda tahunan, mereka selalu merayakannya dengan pentas seni dan drama. Kali ini, aula di Jalan Frans Seda itu menjadi lokasi merayakannya.
“Semarak bulan bahasa selalu kita rayakan. Perlu diketahui, ini bukan hanya untuk bahasa Indonesia, tetapi seluruh bahasa bahkan bahasa daerah”, demikian suara Fransiskus Sanda menggema dari depan panggung.
Fransiskus Sanda adalah ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Undana.
“Kali ini, saya merasa sangat bangga dengan kegiatan ini. Karena bukan hanya semarak bulan bahasa juga kita akan meluncurkan jurnal kampus dan juga paguyuban program studi”, ujar Frans.
Benar saja, sebuah jurnal porgram studi PBSI diluncurkan. Untuk kali pertama, kata Frans, judul yang diambil adalah Kreasi Kata.
Menurut dia, ini kali perdana mahasiswa program studi binaannya meluncurkan jurnal yang dilakoni oleh mahasiswa. Selain membimbing, beberapa dosen juga dilibatkan sebagai editor untuk jurnal itu.
“Jurnal iitu adalah kerasi kita kaka. Selain jurnal kami juga akan buat koperasi mahasiwa, sejenis paguyuban. Kami semua mahasiswa terlibat dengan dibantuoleh Koperasi Serviam”, ujar Blasius Irlon, Ketua Panitia pelaksana kepada VoxNtt.com beberapa saat kemudian.
Menurut Blasius, terkait dengan jurnal kampus. Semaunya dikoordinator oleh semester V dan akan terus mekakukan regenerasi kepada angkatan berikutnya.
Sedangkan, untuk koperasi mahasiswa, setiap mahasiswa menabung Rp 1000 per bulan.
“Uang itu digunakan untuk keperluan anggota yang adalah mahasiswa. Dana tersebut akan dipakai jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, semisal regis jika ada mahsiswa yang kekurangan uang juga apabila sakit atau kedukaan. Uang tersebat dicatat secara rinci. Jika anggota yang adalah mahasiwa itu keluar atau diwisudakan maka bisa mengambil kembali uang tersebut”, jelas Blas.
Sedangkan, soal semarak bulan bahasa, dirinya menjelaskan, sebagai panitia pelaksana, sudah melakukan persiapan sejak tiga bulan lalu.
“Sekarang masing-masing jurusan bersaing siapa yang paling di atas. Kuliah tidak sekadar kejar IPK. Selain kegiatan ini bertujuan untuk prestasi dan kemampuan mahasiswa juga dapat mendukung akreditasi kampus”, ungkapnya.
Pantauan Vox NTT, selain pentas seni dan drama, turut dipentaskan tarian daerah asal NTT oleh sanggar seni Program Studi PBSI. Juga ditampilkan musikalisasi pusi oleh para mahasiswa.
Mahasiswa Kekurangan Ruang Ekspresi Seni
Dijumpai VoxNtt.com, Marsel Robot, pegiat seni dan Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Undana Kupang, menjelaskan bahwa rata rata kampus di NTT tidak punya ruang untuk kreativitas mahasiswa.
“Padahal seni adalah daya ungkap peradaban. Kita kan kadang-kadang bertanya kenapa mahasiswa itu tawuran di kampus ketika lembaga itu dianggap sebagai ruang memroduksi cendekia, tiba-tiba dia justru menistakan kampus itu dengan cara tawuran pasti ada yang sedang dicari denga ekpresi itu”, kata Marsel.
Menurutnya, salah satu penyebab mungkin karena tidak ada ruang kesenian. Kalau itu disalurkan dengan baik, mereka tidak ada waktu untuk berpikir hal-hal negatif. Bagaimana ruang rangsang kesenian dibangun dengan baik, tidak hanya untuk program studi bahasa tetapi semua program studi lain. Bahkan kalau ada even tahunan, kampus harus membiayai itu.
Menurutnya, pengembangan seni mahasiswa adalah bagian dari sisi kiri pemartabatan kampus.
“Kalau sisi kanan yaitu akademik. Pemartabatan itu membuat orang menjadi halus budi pekertinya. Kampus yang baik itu harus hidup keduanya, aktivitas ilmiah dan juga aktifitas seni. Dan itu penting”, ujar dia.
Makanya, demikian Marsel, orang NTT itu kadang menjadikan mobil angkot sebagai ruang ekspresi seni. Setiap mikrolet yang ditemui di Kota Kupang hampir pasti terdapat ukiran, gambar dan tulisan-tulisan kreatif.
“Kupang dari aspek pemerintah sudah punya taman budaya tapi reot sama seperti kuburan. Di bidang lain maju tetapi di bidang kesenian terbelakang. Kalau tidak diaktifkan kreativitas itu, maka itu bentuk dan bagian dari represi peradaban. Anak-anak kita tidak punya album untuk bernostalgia. Dia tidak punya ruang untuk berekspresi dengan baik menanamkan nilai-nilai kesenian”, pungkasnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Irvan K