Oleh: Pater Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK)
Senyuman Paus Fransiskus bukan sekadar gerak bibir, melainkan tenunan halus dari air mata dunia yang dijahit lembut dengan benang kasih ilahi.
Dalam senyumnya, tergurat getir luka-luka kemanusiaan yang telah disentuh dan dipeluknya dengan doa yang sunyi.
Ia tersenyum bukan karena dunia baik-baik saja, tetapi karena ia percaya kasih Allah lebih besar dari segala kegelapan.
Setiap lekuk senyum itu adalah undangan untuk saling mengakui: bahwa kita semua—manusia, hewan, pohon, dan bintang—adalah saudara dan saudari.
Sebab kita lahir dari Sang Bapa yang sama, yang rahim-Nya adalah belaskasih tanpa batas, dan cinta-Nya adalah rumah tempat seluruh ciptaan pulang.
Kita Semua Bersaudara
Menurut Paus Fransiskus, kita semua bersaudara—bukan karena kesamaan darah atau bahasa, melainkan karena napas yang sama dari Sang Pencipta berdenyut dalam diri setiap makhluk.
Ia mengajak kita memandang wajah sesama, tak peduli dari mana datangnya, dengan mata yang dilapisi kasih dan hati yang terbuka bagai langit tanpa pagar.
Persaudaraan, baginya, adalah simfoni cinta yang dimainkan bersama oleh manusia, alam, dan Tuhan; sebuah harmoni yang hanya bisa lahir dari jiwa yang rela berbagi, mengampuni, dan merangkul.
Dalam dunia yang penuh sekat dan prasangka, ia menyerukan: mari runtuhkan tembok dan bangun jembatan, karena bumi ini adalah rumah kita bersama dan cinta adalah bahasa ibu semua jiwa.
Sebab di hadapan Allah yang penuh belas kasih, tak ada yang asing—hanya saudara yang belum kita kenal.
Dalam langkah-langkah lembutnya yang menapaki dunia yang penuh luka, Paus Fransiskus hadir bukan sekadar sebagai pemimpin Gereja, tetapi sebagai jiwa yang menyulam iman dengan kemanusiaan.
Ia tidak mengkotakkan langit dalam dinding-dinding dogma yang kaku, melainkan membiarkan angin Roh bertiup bebas menembus batas-batas dunia.
Seperti Santo Fransiskus dari Assisi, ia berbicara dengan burung-burung, bersahabat dengan matahari dan bulan, dan memeluk si miskin serta si terbuang, seolah tiap makhluk adalah saudaranya.
Dalam kesederhanaan jubah putihnya, kita temukan gema cinta kasih yang tidak memilih, yang hadir bahkan di tengah ketegangan dunia dan kerasnya suara zaman.
Imannya tidak tinggal di altar megah atau dalam baris-baris kitab suci semata, melainkan menjelma dalam pelukan kepada seorang migran, dalam doa bagi bumi yang menjerit, dalam air mata bagi korban perang dan ketidakadilan.
Paus Fransiskus tidak memisahkan kehidupan dari kebudayaan, melainkan menjalin keduanya dalam satu tenunan yang halus—di mana seni, bahasa, tradisi, dan harapan manusia menjadi wajah-wajah dari Kerajaan Allah yang hidup dan dinamis.
Dalam ensikliknya, dalam khotbahnya, dalam gesturnya yang merendah, ia mengajak dunia untuk melihat bahwa iman bukan sekadar percaya, tapi merasakan dan menghidupi, dalam irama harian yang penuh welas asih.
Lewat cara hidup yang holistik, ia membangun peradaban cinta yang melampaui dinding-dinding agama, bangsa, bahkan ideologi.
Ia menabur benih persaudaraan di tanah yang gersang oleh ego dan ketamakan, percaya bahwa dunia yang lebih lembut dan adil adalah mungkin jika kita saling memanggil “saudara.”
Dalam cermin dirinya, kita lihat Santo Fransiskus dari Assisi berdiri kembali: sederhana, penuh syukur, dan bersatu dengan seluruh ciptaan.
Dari Roma hingga ke sudut-sudut paling sunyi dunia, suara Paus Fransiskus adalah puisi yang mengajak kita pulang—pulang ke hati yang mencinta tanpa syarat, dan ke dunia yang dirawat sebagai rumah bersama.
Peziarah Penuh Harapan
Dalam tatapan mata Paus Fransiskus yang penuh kelembutan, terpantul cahaya dari tiga mata air kebijaksanaan: spiritualitas yang meresap hingga sukma, intelektualitas yang jernih seperti fajar, dan moralitas yang mengakar dalam cinta.
Ia tidak memisahkan doa dari pikiran, atau pemahaman dari kasih; semua mengalir dalam harmoni yang hening namun penuh kekuatan.
Seperti seorang peziarah yang menapaki jalan sunyi, ia menggali dari kedalaman hati manusia dan ilham surgawi, menyatukan keduanya menjadi jalan kebahagiaan yang tak lekang oleh waktu.
Dalam dirinya, kita temukan resonansi Yesus yang berpikir, mencinta, dan bertindak sebagai satu keutuhan.
Ia menyulam benang-benang pengetahuan dan iman menjadi jubah yang melindungi martabat manusia.
Setiap kata yang diucapkannya, setiap kebijakan yang dikeluarkannya, tak lahir dari logika dingin semata, melainkan dari refleksi yang berakar dalam keheningan doa.
Paus Fransiskus memperlihatkan bahwa menjadi bijak tidaklah cukup jika tidak menyentuh penderitaan sesama; dan menjadi baik tidak lengkap jika tidak juga cerdas membaca tanda-tanda zaman.
Dalam dunia yang terpecah antara kecanggihan teknologi dan kelaparan makna, ia menjadi jembatan—mengajak manusia untuk menyatukan kepala, hati, dan tangan demi kehidupan yang utuh dan penuh harapan.
Kebahagiaan yang diperjuangkannya bukanlah sekadar rasa puas sesaat, melainkan sebuah kebahagiaan berkelanjutan—yang tumbuh dari harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan bumi.
Ia percaya bahwa dunia bisa diselamatkan oleh kasih yang cerdas dan oleh akal yang berbelas kasih. Dengan menyinergikan kapasitas spiritual, intelektual, dan moral, ia menyalakan lentera untuk zaman yang sering kehilangan arah.
Di tengah hiruk-pikuk dunia, Paus Fransiskus berdiri sebagai puisi yang hidup, menyerukan bahwa sukacita sejati lahir ketika manusia mampu berpikir dalam terang, merasa dalam kasih, dan bertindak dalam kebaikan.
Taman Harapan
Di mata Paus Fransiskus, sekolah bukan sekadar bangunan bata dan papan tulis, melainkan taman harapan, tempat benih-benih manusia ditanam dengan kasih dan dipupuk dalam terang iman.
Ia memimpikan ruang-ruang belajar di mana setiap anak tidak hanya diajar menghitung dan menghafal, tetapi diajak untuk merenung dan mencinta, untuk melihat dunia bukan sebagai medan persaingan, melainkan sebagai ladang pelayanan.
Ia ingin agar tiap jendela sekolah membuka pandangan ke langit yang luas, dan tiap pintu mengantar jiwa menuju kedalaman hati yang penuh belas kasih.
Di sanalah, pendidikan menjadi ziarah—bukan hanya menuju kepandaian, tapi menuju kemanusiaan.
Paus Fransiskus menghendaki agar di sekolah, anak-anak diajarkan berpikir dalam terang iman: bukan iman yang kaku, tapi iman yang hidup—yang bertanya, mencari, dan menjawab dengan rendah hati.
Sebab bagi beliau, akal yang tercerahkan oleh iman bukan hanya cerdas, tetapi juga bijaksana; bukan hanya tangkas, tetapi juga tahu arah.
Ia menginginkan agar pelajaran tidak hanya menjejalkan fakta, tapi menyalakan cahaya dalam jiwa.
Bahwa belajar berarti menemukan makna, dan bahwa kebenaran tidak boleh dipisahkan dari cinta. Maka, guru-guru adalah pelayan cahaya, bukan penguasa pengetahuan.
Namun berpikir saja tak cukup, kata Paus yang lembut itu. Sekolah juga harus menjadi ruang untuk belajar merasa—merasakan luka dunia, merasakan tangis sesama, dan merasakan panggilan kasih dalam diri sendiri.
Ia percaya bahwa pendidikan sejati menyentuh hati, membentuk empati, dan menumbuhkan keberanian untuk peduli. Anak-anak yang belajar di sekolah seperti itu akan tumbuh bukan hanya jadi cendekia, tapi menjadi sahabat bagi sesama dan ciptaan.
Ia bermimpi tentang sekolah yang setiap harinya dimulai bukan hanya dengan doa, tetapi dengan kehadiran cinta.
Kemudian, dari terang iman dan kasih yang mendalam, muncullah tindakan—tindakan dalam kebaikan dan kebenaran.
Paus Fransiskus mengharapkan sekolah menjadi tempat di mana anak-anak belajar untuk memilih yang benar meski sulit, dan berbuat baik meski sunyi.
Ia ingin sekolah melahirkan manusia-manusia yang mencintai keadilan, menjaga bumi, dan membela mereka yang lemah.
Pendidikan, baginya, bukan hanya soal masa depan pribadi, tapi tentang masa depan bersama.
Karena dunia ini, planet ini, adalah rumah kita semua, dan hanya akan menjadi seperti Surga jika kita menjaganya bersama-sama, dalam kebaikan yang tak kenal lelah.
Begitulah harapan Paus Fransiskus: bahwa dari bangku-bangku sekolah, akan lahir generasi yang berpikir jernih, merasa lembut, dan bertindak tegas dalam cinta.
Generasi yang tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak egois, bahwa kesuksesan sejati bukan dalam prestise, melainkan dalam pelayanan.
Ia bermimpi tentang bumi yang damai, hijau, dan penuh sukacita—karena anak-anak kita telah belajar hidup seperti di Surga: dengan iman sebagai terang, kasih sebagai jalan, dan kebaikan sebagai buah yang mereka tanam sejak di sekolah, untuk dunia dan langit yang baru.
Guru Cahaya Ilahi
Paus Fransiskus berjalan di tengah dunia seperti pelita dalam malam panjang—diam, lembut, namun tak pernah padam.
Ia bukan hanya pemimpin, melainkan Guru Cahaya Ilahi, yang mengajar bukan lewat kata-kata megah, melainkan lewat langkah sederhana dan hati yang terbuka.
Dalam senyumnya, ada sabda yang hidup; dalam pelukannya pada yang terbuang, Injil menjadi daging yang hangat.
Ia membimbing dengan cahaya kasih yang tak menyilaukan, namun menghangatkan jiwa yang beku, menyapa mereka yang haus akan harapan, dan membisikkan bahwa cinta Tuhan lebih dekat dari nafas kita sendiri.
Dalam sosoknya, para guru menemukan cermin dan arah: bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan ilmu, melainkan menyalakan cahaya dalam jiwa-jiwa muda.
Paus Fransiskus menghidupi Injil sebagai pesan kasih yang merangkul semua, dan dengan itu ia menginspirasi para pendidik menjadi terang dan garam bagi bangsa-bangsa—menerangi kegelapan kebodohan dan menyembuhkan luka ketidakadilan.
Guru, bagi Paus, adalah pemikul nyala lilin: kecil namun abadi, rapuh namun berpengaruh.
Ia memanggil mereka bukan hanya menjadi pengajar, tetapi penabur damai, pelindung harapan, dan penyaksi cinta Kristus yang menyeluruh dan menyatu dengan kehidupan.
Dan seperti Yesus di jalan-jalan Galilea, Paus Fransiskus menuntun dengan kasih yang tak memilih, dengan kehadiran yang memerdekakan.
Dari bilik-bilik sekolah hingga mimbar-mimbar dunia, ia menyerukan bahwa cinta adalah kurikulum paling mulia, dan kebenaran adalah tujuan akhir dari pendidikan.
Dalam dirinya, terang Ilahi menyala tidak hanya untuk dilihat, tetapi untuk dibagikan—hingga dunia yang letih ini dapat kembali menemukan arah, dan para guru di seluruh penjuru bumi berdiri teguh sebagai pembawa kabar baik: bahwa kasih bukanlah teori, tapi hidup yang dibagikan, seperti roti dan anggur dalam Ekaristi kasih yang tak bertepi.
Bukan Sekadar Gerak Bibir
Dalam senyumnya Paus Fransiskus, dunia sejenak berhenti mengeluh. Ada keheningan lembut yang menenangkan luka, seolah setiap kerutan di wajahnya menyimpan puisi surgawi yang ditulis dengan tinta belas kasih.
Senyum itu bukan sekadar gerak bibir, tapi jendela jiwa—jiwa yang telah mencicipi rasa getir kemanusiaan dan memilih tetap berharap.
Di balik senyumnya, mengalir bahagia yang tak tergantung pada keadaan, bahagia yang lahir dari hati yang percaya pada keajaiban kebaikan, pada kesetiaan kasih Allah yang tak pernah surut meski dunia bergetar.
Senyum itu mengajak kita untuk berhenti sejenak dari ambisi yang bising, dari dendam yang membatu, dan dari takut yang tak perlu. Ia mengajarkan bahwa tersenyum adalah bentuk doa, ungkapan syukur, dan jembatan perdamaian.
Paus Fransiskus, lewat gestur paling sederhana itu, mengundang dunia untuk berdamai—bukan hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan diri sendiri, dengan sejarah yang luka, dan dengan semesta yang menunggu pelukan.
Ia menyampaikan pesan halus: bahwa kita semua adalah anak-anak Allah, dan karena itu, seharusnya tak ada ruang bagi kebencian di antara kita.
Maka tersenyumlah—bukan karena segalanya sempurna, tapi karena kasih lebih kuat dari luka.
Tersenyumlah kepada angin dan matahari, kepada sesama dan juga kepada musuhmu. Berdamailah dengan sungai yang terluka, dengan binatang yang diburu, dengan bumi yang didera.
Dalam senyummu yang tulus, ada benih surga yang ditanam di bumi.
Sebab Paus Fransiskus telah menunjukkan, dengan langkah yang tenang dan hati yang luas, bahwa bahagia berkelanjutan bukan mimpi kosong—melainkan kemungkinan nyata bila kita memilih hidup dalam cinta, dalam damai, sebagai saudara dan saudari dalam pelukan satu Bapa.