Oleh: Bonefasius Jehadin
Pada tulisan sebelumnya, saya mengulas tentang Pilgub NTT dan Pembantaian Terhadap Pancasila (1). Pada bagian kedua ini, saya mencoba meneropong Pancasila dari balik program pasangan calon dengan sebuah pertanyaan penggugat, ‘Paslon mana yang paling Pancasilais dalam Pilgub NTT 2018?”
BACA:Pilgub NTT dan Pembantaian Terhadap Pancasila (1)
Dalam karyanya berjudul Falsafah Kebudayaan, Pancasila, Nilai dan Kontradiksi Sosialnya, Syaful Arif mengutip pendapat As’ad Said Ali dalam bukunya Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Bangsa.
Intinya Pancasila mesti dipahami sebagai kata kerja bukan kata benda.
Sebagaimana yang dilukiskan Arif dalam bukunya itu menjelaskan, Pancasila sebagai kata benda ala As’ad hanya menjadikan Pancasila sebagai objek, sesuatu yang dipersonifikasi atau bahkan disembah kesaktiannya, seolah-olah dia menjadi obat dari seluruh penyakit.
Sementara Pancasila sebagai kata kerja adalah visi bangsa, arah yang diperjuangkan pencapaiannya. Sehingga di situ, dia mengatakan bahwa Pancasila bukan sebagai realitas melainkan identitas yang wajib diperjuangkan.
Hal serupa diungkapkan dalam buku Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila karya Yudi Latief.
Dalam buku itu terekam pendapat salah satu akademisi UGM, Damardjati Supadjar yang mengusulkan untuk mengefektifkan Pancasila dengan cara menjadikan rumusan sila-sila yang berupa kata benda abstrak menjadi kata kerja aktif.
Menurut Supadjar, sila-sila itu harus benar-benar dipraktekan dan diperjuangkan. Dia menerangkan, tidak saja Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi “Meng-esa-kan Tuhan”, bukan hanya Kemanusiaan Yang Adil dan Beradap tetapi “Membangun Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, bukan saja Persatuan Indonesia tetapi “Mempersatukan Indonesia”, bukan hanya Kerakyatan melainkan “Melaksanakan Kerakyatan”, tidak hanya Keadilan Sosial tetapi “Mengusahakan Keadilan Sosial”.
Apa yang diterangkan dua penulis dalam karyanya itu hendak menyampaikan kepada kita bahwa Pancasila itu hanya dapat diwujudkan dengan sikap atau tindakan yang nyata bukan hanya diucapkan, apa lagi mengklaim diri Pancasilais tetapi tindakannya kontra terhadap isi dan inti Pancasila.
Menjelang Pilkada serentak 27 Juni 2018 ini, aksi saling tuduh ‘Pancasilais vs Non-Pancasilais’ memang lagi ramai dimainkan sebagai isu politik.
Beberapa Partai politik kerap kali mengklaim diri sebagai kaum Pancasilais dan memperjuangkan penegakan Pancasila.
Sementara di sisi lain kelompok ini juga tak segan-segan menuding orang yang kontra politik sebagai kelompok anti Pancasila, seolah-olah lawan politik bagai orang asing yang ingin mencabik-cabik Pancasila.
Pancasilais Berpihak kepada Marhaen
Bias dari permainan isu ini juga dirasakan dalam Pilgub NTT. Propaganda yang dimainkan secara masif ini mengancam keharmonisan rakyat NTT yang sudah hidup berdampingan selama bertahun-tahun.
Untuk menangkal isu ini, maka masyarakat diajak untuk melacak ideologi yang dianut atau yang mengalir dalam tubuh keempat paslon yang ada, apakah keempatnya Pancasilais atau tidak?
Tentu takaran Pancasilais itu merujuk pada pendapat kedua tokoh di atas, yang telah teruji pemahamannya tentang Pancasila. Bahwa menghayati Pancasila lebih kepada tindakan bukan ucapan, apalagi hanya sekedar memanfaatkan Pancasila sebagai alat politik saat berkampanye.
Karena itu untuk menakar kadar Paslon ber-Pancasila atau bukan, kita harus meneropong program-program mereka secara obyektif dan rasional, apakah berpihak pada petani (Marhaen dalam bahasa Bung Karno) atau cenderung mengarah ke pemodal?
Publik pasti ada yang bertanya mengapa posisi petani yang dipakai sebagai alat ukur kadar para Paslon itu Pancasilais atau tidak?
Alasan yang sangat mendasar adalah NTT terdiri dari 5,3 juta jiwa, 60 % dari jumlah yang ada hidup di Desa. Sebanyak 80% dari jumlah masyarakat di desa itu bermatapencaharian sebagai petani (sawah, ladang, ternak, nelayan). 85% dari jumlah petani yang ada rata-rata dikategorikan hidup miskin dan berpendapatan rata-rata Rp 500.000-Rp 700.000 per bulan.
Oleh karena itu tekad membalikan setigma NTT miskin dan NTT terbelakang haruslah dimulai dari membangunkan petaninya. Kalau petaninya sejahtera maka NTT dengan sendirinya bebas dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Sebagaimana tertuang dalam tulisan pertama, musuh Pancasila di NTT adalah kemiskinan, keterbelakangan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dan indeks pembangunan SDM yang rendah, korupsi, pengangguran dan perdagangan orang.
Konsep Petani Pengusaha
Pendekatan apa yang mesti digunakan dalam rangka membangkitkan NTT dari kemiskinan dan keterbelakangan? Hasil survey menunjukan penyebab kemiskinan di desa karena konsep bertani yang masih tradisional.
Karena itu program kerja Paslon harus diarahkan untuk mendidik para petani bisa berpikir modern yakni menjadikan lahan pertanian sebagai sumber kehidupan dan ekonomi. Karena itu pendekatan petani pengusaha paling tepat untuk para petani NTT.
Konsep ini dibangun agar hasil pertanian petani tidak hanya bermanfaat sebagai bahan konsumsi rumah tangga tetapi juga dijadikan sebagai sumber penghasilan ekonomi dengan menjual komoditi hasil usaha pertanian, perkebunan, peternakan dan kelautan.
Persoalan lain yang dialami petani adalah produktivitas hasil, pemasaran, teknologi pertanian dan modal untuk pengembangan usaha yang sangat terbatas serta pemasaran hasil komoditi. Hal ini harus pula menjadi perhatian para paslon jika terpilih.
Marhaenis adalah Harmoni
Di waktu yang tersisa ini, masyarakat khususnya para petani, peternak, pengrajin dan para nelayan diajak untuk teliti dalam menentukan dukungan dan pilihan politiknya pada tanggal 27 nanti. Memastikan pilihannya jatuh pada Paslon yang berpihak pada kaum tani jika menghendaki petani NTT hidup sejahtera.
Karena itu kaum tani dan masyarakat umumnya harus jeli membidik Paslon yang mau bergerak bersama petani, menjadikan petani sebagai ujung tombak dan tulang punggung perjuangan menuju NTT sejahtera dengan menjamin beberapa kebutuhan kaum tani di atas.
Hasil pengamatan saya, dari keempat Paslon yang ada, Paslon nomor 3 dengan tagline Harmoni adalah Paslon yang serius ingin memberdayakan kehidupan petani lewat beberapa program unggulan yang sangat menyentuh dan mengandung misi membebaskan petani dari belenggu kemiskinan.
Beberapa program itu sudah menyata lewat peluncuran Kartu Petani Sejahtera (KPS) untuk petani miskin.
Adapun manfaat dari KPS itu yakni: Pertama, setiap rumah tangga tani akan mendapat modal usaha maksimal Rp.10 juta.
Kedua, KPS menjamin bantuan bibit, benih, pakan ternak, alat pertanian dan pupuk bagi petani tepat pada waktunya.
Ketiga, rumah tangga tani diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja. Di BLK petani diberi pengetahuan baru, manajemen dan mengolah hasil pangan.
Keempat, pemerintah menjamin pembelian hasil pertanian, sehingga harga komoditi petani dilindungi.
Kelima, menjamin asuransi gagal panen bagi petani yang mengalami bencana seperti hama, banjir, longsor, angin puting beliung, dan bencana lainnya.
Keenam, rumah tangga tani yang anaknya kurang mampu mendapatkan beasiswa dari pemerintah provinsi.
Selain KPS, Paslon ini juga telah merancang untuk mendirikan Balai Latihan Kerja (BLK) di setiap kabupaten untuk mendidik petani menjadi petani yang profesional dan kaum muda untuk menjadi pemuda yang terampil dalam mengolah potensi NTT.
Program yang tak kalah penting adalah program Desa Menyala. Desa menyala ini tak melulu bicara listrik tetapi mencakup jalan, jembatan, pengairan, jaringan listrik dan jaringan telekomuniaksi. Tujuannya, agar memudahkan petani mengakses informasi pasar.
Program lain yang menunjang adalah menerapkan konsep tata kelola birokrasi dan pemerintahan yang bersih dan transparan dengan menerapkan sistem informasi berbasis online. Sehingga, publik dapat secara terang-terangan memantau pergerakan birokrasi dalam mengelola program dan APBD.
Selain itu, penegakan hukum juga menjadi salah satu fokus utama paslon Harmoni untuk mencegah praktek korupsi dan bahaya laten perdaganagan orang di NTT. Bahkan BKH sendiri sudah menyiapkan lembaga bantuan hukum khusus untuk membantu korban perdagangan orang di NTT.
Saya kira, jika ditimbang Paslon nomor 3 ini adalah pilihan yang paling tepat untuk NTT saat ini. Program dan gagasanya sangat membantu kaum tani yang terkapar dalam ketidakadilan, kesenjangan sosial dan kemiskinan akut.
BKH sendiri pernah berkata bahwa “Ketika ketidakadilan tumbuh subur, kesenjangan sosial kian melebar, dan rakyat makin melarat di situ Pancasila tinggal nama”.