Oleh: Greg R. Daeng
Pengacara HAM
Problem Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan problem yang kompleks jika dipandang dari sudut penghormatan, perlindungan dan pemenuhannya dalam kehidupan bernegara.
Sebagai aktor utama dalam urusan jaminan atas HAM, negara dituntut harus melaksanakan dan memenuhi semua kewajiban yang dikenakan kepadanya secara sekaligus dan segera.
Jika kewajiban-kewajiban tersebut gagal untuk dilaksanakan maka negara akan dikatakan telah melakukan pelanggaran.
Indonesia sebagai negara demokrasi, sudah tentu secara kebijakan politik dan hukumnya pro pada perlindungan HAM.
Komitmen atas itu dapat dilihat dari adanya perangkat aturan mulai dari hukum tertinggi (UUD 1945) hingga ke aturan hukum paling rendah seperti peraturan desa yang mana memuat spirit perlindungan HAM didalamnya.
Kemudian adanya strukutur kelembagaan negara yang secara khsusus menyelenggarakan perlindungan dan pengawasan terhadap hak asasi manusia (komnas HAM). Dan yang terkahir yakni, adanya komitmen Pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi dalam perlindungan HAM di tingkat regional dan internasional dengan ikut menandatangani kesepakatan-kesepakatan yang berkaitan dengan jaminan perlindungan terhadap HAM.
Namun dalam konteks penyelenggaran negara, Pemerintah Indonesia hingga saat ini masih sering melanggar kewajibannya dalam memberikan jaminan HAM bagi warga negara.
Sikap itu ditunjukan dengan cara berperan aktif secara langsung menjadi pelaku pelanggar HAM dan bersikap pasif, yaitu membiarkan adanya pelanggaran HAM terjadi dengan tanpa adanya pengambilan sikap melalui tindakan hukum untuk memproses para pelaku pelanggar HAM tersebut.
Sebut saja kasus pelanggaran HAM di Aceh, Papua, Timor Leste, Lampung, kasus 1998 (Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi 2) dan peristiwa pembunuhan masal tahun 1965 terhadap mereka yang dituduh PKI, yang mana kesemuanya itu masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat dengan negara (state actor) sebagai pelaku utamanya.
Kasus lain seperti pembakaran tempat ibadah di Aceh Singkil, persekusi terhadap ormas gafatar, persekusi terhadap kaum LGBT di beberapa tempat di indonesia, serta larangan dan penyegelan tempat ibadah Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat dan di Nusa Tenggara Barat.
Akibat banyaknya kasus pelanggaran HAM yang tidak ada penyelesaiannya dalam bentuk pertanggungjawaban secara secara hukum, politik dan juga sosial ini, maka munculah gerakan aktivisme untuk melakukan pembelaan bagi para korban yang telah terlanggar hak asasinya.
Figur seperti Yap Tiam Hien, Romo Mangun Wijaya, Munir, Adnan Buyung Nasution, Bambang Widjojanto, Filep Karma, Eva Bande, Joko Prianto adalah sederetan nama pembela HAM di Indonesia yang dikenal karena keberanian melawan keangkuhan dan kesewenanga-wenangan penguasa (negara) yang tidak adil dalam menegakan HAM.
Mereka tidak takut akan ancaman yang kemudian datang sebagai akibat dari sikap lantang yang mereka tunjukan itu. Ada yang kriminialisasi, ada yang menjadi tawanan politik, ada yang dipenjara dan bahkan sampai ada yang kehilangan nyawa dalam perjuangan membela harkat dan martabat sesama manusia.
Kondisi ini kemudian jadi bahan refleksi bahwa acaman akan keselamatan bagi para pembela HAM merupakan satu posisi yang tidak boleh terabaikan begitu saja. Kenapa?, karena dalam kondisi kehidupan bernegara baik saat ini dan kedepannya, isu pelanggaran HAM adalah isu yang akan terus ada.
Negara sebagai pelaku utama dalam hal ini harus senanitiasi diawasi dan dikontrol perilakuknya oleh para pembela HAM. Sebab jika tidak, maka akan muncul pembenaran atas semua pelanggaran HAM yang terjadi oleh negara itu sendiri (hegemoni).
Atensi untuk melindungi para pembela HAM dan para calon pembela HAM mutlak harus dilakukan. Hadirnya lembaga seperti Protection International setidaknya memberikan solusi tersendiri dalam sektor keselamatan bagi para pembela HAM itu sendiri.
Sebagai contoh data yang dikeluarkan lembaga tersebut pada tahun 2004-2007 menyebutkan sebanyak 1747 pembela HAM di dunia telah mengikuti pelatihan mengenai keselamatan dan pengembangan kemampuan bagi pembela HAM, dengan rincian Amerika Tengah dan selatan sebanyak 558 orang, Asia 650 orang (termasuk Indonesia), Afrika 441 orang dan Eropa 98 orang.
Meskipun sudah ada pembela HAM yang mengikuti pelatihan tentang standar keselamatan pekerja HAM seperti disebutkan diatas, namun jumlah tersebut belumlah menyeluruh.
Seperti di Indonesia yang punya ragama persoalan HAM, banyak pekerja HAM yang tidak memiliki kemampuan menjaga keselamatan diri dalam setiap aktivitas yang dilakukan. Situasi ini tidak hanya ditemukan orang per orang di daerah-daerah yang rawan pelanggaran HAM, tetapi juga dapat dijumpai pada organisasi atau komunitas yang memang memiliki visi perjuangan dan pembelaan terhadap HAM.
Upaya melindungi keselamatan diri masih pada pengetahuan dan referensi yang sangat terbatas. Kasus penyerangan terhada LBH jakarta yang dituduh sebagai “sarang komunis” pada akhir 2017 lalu merupakan bukti bahwa negara tidak hadir sama sekali dalam perlindungan bagi para pembela HAM.
Wacana Undang-Undang Bagi Pembela HAM
Indonesi adalah negara hukum. Begitulah kira-kira bunyi ketentuan pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Hingga saat ini, kalimat tersebut masih tercatat sebagai landasan yuridis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dan Oleh karena itu pula, maka semua tindak tanduk urusan yang berkaitan dengan penyelenggaran negara dalam mengatur rakyatnya mutlak harus berdasarkan hukum (undang-undang).
Dalam urusan jaminan perlindungan terhadap HAM, sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen melahirkan sejumlah aturan-aturan yang terkait.
Sebut saja UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 26 tahun 2006 tentang pengadilan HAM, UU No. No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, UU No.12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup, UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum adalah contoh produk undang-undang yang dihasilakan atas dasar kesadaran negara untuk menjamin perlindungan HAM bagi warga negaranya.
Meskipun demikian, secara keseluruhannya tidak ada satupun dari aturan di atas yang mencantumkan secara spesifik tentang aspek pembela HAM serta jaminan perlindungannya.
Hanya terdapat 3 (tiga) ketentuan saja yang punya persinggungan dengan Pembela HAM yakni bab VII UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang mengatur tentang tentang komnas HAM, bab XI UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup, yang mengatur tentang Peran Masyarakat dan bab IV UU No. 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang mengatur tentang Pemberi Bantuan Hukum.
Posisi para pembela HAM dalam krangka bernegara selama ini seakan dianakitirikan begitu saja. Padahal mereka juga merupakan para pejuang demokrasi. Mereka adalah mata dan telinga dari tegaknya supermasi hukum di indonesia. Mereka sejatinya juga harus disebut sebagai salah satu pilar demokrasi di indonesia.
Tanpa kehadiran mereka, mungkin negara ini masih hidup dalam iklim demokrasi yang fasis dan otoriter. Karean Demorkasi yang sehat adalah demorkasi yang menjunjung tinggi penghormatan atas Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketiadaan landasan hukum yang secara spesifik ini, menyebabkan banyak pelanggaran HAM dialami oleh para pembela HAM kemudian terabaikan begitu saja. Bahkan jika ada yang dikriminalisasi (pidana), pembelaan yang dilakukan pun langsung secara personal.
Hal ini jelas berbeda dengan advokat, dokter, notaris, jaksa, hakim, polisi ataupun TNI yang punya mekanisme tersendiri apabila ada anggotanya yang dituduh/dituntut karena melakukan kesalahan hukum pada saat melakukan pekerjaannya.
Jika ditilik dari fakta diatas, salah satu desakan kebutuhan subsatansi adalah lahirnya aturan yang menjamin perlindungan bagi para pekerja/pembela HAM (UU). Wacana ini harus mulai godok secara intens guna mewujudkan pelibatan negara secara serius dalam melindungi para pembela HAM.