Oleh: Alfred Tuname*
Kehadiran buku selalu menjadi kontroversial bila isinya tidak sesuai dengan kehendak mayoritas dan selera penguasa.
Standar analisanya adalah isi buku sengaja ditulis “melawan arus” hanya untuk mendongkrak popularitas buku dan marketing yang meroket. Ujung-ujungnya keuntungan ekonomis.
Meskipun buku-buku “lawan arus” menawarkan cara berpikir dan kisah yang unik, buku-buku kontroversial tetap saja menetaskan keresahan di tengah masyarakat.
Keresahan itu muncul karena isi buku ternyata menantang status quo dan kenyamanan berpikir di masyarakat. Buku kontroversial juga menjadi lembar-lembar diseminasi bibit-bibit konflik horisontal karena berisi muatan SARA, intoleransi, fitnah, palsu dan lain sebagainya.
Buku Jokowi Undercover (2016) yang ditulis oleh Bambang Tri Mulyono menjadi buku yang paling kontroversial di penghujung tahun 2016.
Buku tersebut mengisahkan hal-hal yang terselubung berkenaan dengan kiprah dan kehidupan pribadi Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Celakanyanya, isi buku tersebut ternyata tidak sesuai dengan fakta sejarah kehidupan Jokowi dan keluarganya.
“Fitna rasa-rasanya lebih kejam dari membunuh”. Mungkin itulah yang dirasakan oleh Presiden Jokowi dan keluarganya ketika membaca buku karangan Bambang Tri Mulyono, ”Jokowi Undercover”.
Bambang Tri Mulyono seakan sedang masuk dalam keramangan dunia alzimer sehingga berhasil menulis “fiksi” kehidupan Jokowi.
Dalam bukunya, Bambang Tri Mulyono menulis fakta dengan pendekatan fiksi. Persoalannya ia tidak sedang menulis karya fiksi-imajinatif atau prosa seperti novel atau cerpen.
Celakanya, imajinasi penulis buku Jokowi Undercover itu disertai dengan intrik politis dan kebencian privat atas Jokowi dan keluarganya.
Dari pemberitaaan media cetak, online, radio dan televisi, satu-persatu kita bisa mendeteksi detail isi dan alur-alur pikiran Bambang Tri Mulyono yang tertuang dalam buku Jokowi Undercover. Semuanya mengarah kepada character assassination Presiden Jokowi.
Jelas saja, Polri langsung bergegas dan tertindak tegas kepada siapa saja yang memfitna simbol negara. Polri mengambil tidakan hukum kepada Bambang Tri Mulyono karena bukunya dianggap telah menghina dan memfitna Presiden RI Joko Widodo.
Tak perlu tunggu desakan istana, semua orang pun akan meminta aparat penegak hukum untuk mempidanakan para penghujat presiden. Bambang Tri Mulyono pun ditangkap di Blora, Jawa Tengah (30/12/2016).
Buku Jokowi Undercover dianggap berisi fitna karena uraian kisah detektif-investigatifnya ditulis dengan kata berbunga fiksi minus data, baik data primer maupun sekunder.
Pada standar klasik penulis buku non-fiksi memerlukan data. Untuk menulis fakta, penulis butuh keabsahan data. Bahwa uraian kisah harus menyentuh sisi kenyataan.
Ketika kata tak lagi idenntik dengan kenyataan, di sana ada penipuan (bdk. Paul Budi Kleden dan Robert Mirsel, 2011). Penipuan dan fitnah adalah musuh kita semua.
Kita semua tentu mengamini bahwa buah pikir seperti buku merupakan cerminan cara kita berdemokrasi. Demokrasi menjamin kebebasan setiap orang untuk perpikir dan berpendapat.
Akan tetapi, dalam demokrasi, kebebasan itu tidak cukup tanpa disertai dengan keadilan. Dengan prinsip keadilan ini, kebebasan seseorang tidak lagi mengancam kehidupan orang lain. Dalam kebebasan bertindak, seseorang harus bersikap adil kepada orang lain.
Menghasilkan karya seperti buku merupakan buah kebebasan berpikir seseorang. Buku adalah anak kandung sejarah. Akan tetapi rasanya sangat tidak adil bila buah kebebasan itu justru secara ad hominem diarahkan untuk merugikan dan memfitna orang lain.
Buku sebagai sebagai sebuah karya fiksi atau non-fiksi seharusnya membawa pengetahuan dan pencerahan kepada orang lain. Buku seharusnya berisi kebenaran dan memunculkan kebahagian bagi setiap pembacanya.
Oleh karena itu, dalam mencari kebenaran untuk menyikapi buku Jokowi Undercover, kita tidak cukup memverifikasi penulisnya, tetapi juga harus merunutkan falsifikasi atas setiap premis yang tertulis dalam buku Jokowi Undercover.
Falsifikasi merupakan cara untuk mengetahui dan membuktikan bahwa apa yang tertulis dalam buku setebal 400 halaman itu benar-benar keliru atau salah. Kita ingat filsuf kata Karl R. Popper, “elimination of error leads to the objective growth of our knowledge”.
Dalam hal ini, pengetahuan akan sejarah yang obyektif dan otentik akan sangat berbeda dengan kisah dalam buku Jokowi Undercover bila dilakukan falsifikasi, yakni dengan mengeliminasi setiap ketidakbenaran dalam uraian di buku tersebut.
Tentu, hal itu dilakukan bukan saja untuk melegahkan pikiran Presiden Jokowi dari “a test of his history”, tetapi juga untuk mencerahkan pengetahuan publik yang berhak tahu akan kebenaran tentang pemipinnya.
Buku Jokowi Undercover tidak mencerahkan karena berisi fitnah. Publik “menghukum” penulisnya bukan atas kaidah selera mayoritas atau penguasa, melainkan tulisannya melawan kebenaran.
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)