Oleh: Kondrad Sandur
Politik sebagai sarana untuk mensejahterahkan rakyat merupakan hasil konsensus. Sebab politik itu proses dan hasil dari kesepakatan-kesepakatan.
Masyarakat bersepakat melalui instrument bilik suara memilih para kontestan. Selanjutnya, para politisi dan partai politik bersepakat untuk mensejahterakan rakyat melalui kebijakan dan pembangunan.
Secara substantif, politik adalah sarana mendapatkan kekuasaan dan terarah pada kemakmuran rakyat. Proseduralnya, politik itu sebenarnya konsensus.
Kaca mata social-budaya Sparedly, proses politik tampak pada actor, aktivitas dan tempat.
Aktor merujuk pada person; aktivitas merujuk pada pola relasi para aktor; tempat merujuk pada waktu aktor politik melakukan aktivitasnya.
Sedangkan Hannah Arendt menyebut politik bukan semata-mata hasil kerja para politisi. Politik justru bersinggungan pada keterlibatan semua pihak. Dalamnya, setiap pihak saling berkomunikasi secara terbuka di tengah keberagamaan.
Corak politik sebagai konsensus terbaca pada kenyataan seperti ballot suara, kebijakan politik dan figure politik.
Pemenangnya adalah orang yang mendapatkan suara pemilih terbanyak. Bisa juga, ballot suara tersebut merupakan hasil kerja dari petugas di bilik suara untuk secara bersama bersepakat untuk memenangkan kandidat tertentu.
Sementara figure yang terlibat dalam kontestan politik pun berdasarkan hasil dari kesepakatan partai politik dan sedikitnya juga dari akumulasi kerelaan warga untuk mencalonkan kandidat tertentu melalui mekanisme Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Pemenang, baik itu berdasarkan suara pemilih maupun suara-suara yang dimenangkan oleh saksi-saksi di bilik suara, akan berperan menjadi pengambil kebijakan politik.
Kebijakan tersebut tidak luput dari konsensus. Bisa saja melalui lobi-lobi di balik meja kerja. Lobi tersebut dapat berupa komunikasi politik, afiliasi politik dan komersial politik.
Komunikasi politik memungkinkan pilihan rasional untuk menentukan kebijakan. Karena dua orang atau lebih dapat saling berargumentasi untuk menentukan bebijakan yang benar.
Afiliasi politik terkadang membeo mengikuti arah pemikiran mayoritas. Terakhir adalah komersil politik.
Jenis ini merupakan tawar menawar politik. Kebijakan dapat digadai begitu saja oleh tawaran uang, posisi atau jabatan.
Jual beli kebijakan lazim terjadi. Secara nasional terbaca pada kasus dugaan suap, tangkap tangan sogok, bahkan kebijakan dalam bidang agama pun digadai oleh tawar menawar kepentingan.
Selanjutnya, arah yang paling ngeri adalah arah kebijakan dalam bidang pembangunan syarat dengan muatan komersil politik.
Wilayah yang tidak mendapatkan keterwakilan dalam sebuah proses politik tidak akan mendapatkan jatah pembangunan yang baik dan sebaliknya.
Ketiadaan figure menjadi alasan tidak terjangkaunya peroses pembangunan. Bahkan yang paling ngeri, proses kebijakan dalam pembangunan yang syarat dengan balas budi.
Konstituen, kelompok, kerabat dan keluarga yang memilihnya mendapatkan prioritas sedangkan mereka yang tidak menyumbangkan suara harus bersabar sampai bertahun-tahun untuk mendapatkan jatah pembangunan.
Fenomena ini menggambarkan bahwa politik itu syarat dengan kepentingan-kepentingan. Simptom-simptom tersebut disimulasikan atau di-ada-ada-kan sehingga mau tidak mau orang harus mengikuti permainan tersebut.
Hasilnya, gaya pasar: memoles kata-kata indah berhadapan dengan para penjabat untuk mendapatkan jabatan; dan body doxcile atau tubuh-tubuh patuh pada perintah atasan walaupun salah.
Jadinya, siapa yang mampu memainkan cara-cara pasar menjadi pilihan dalam kebijakan politik. Tidak heran apabila ditemukan gonta-ganti jabatan secara tidak wajar, penempatan orang pada tempat yang tidak benar dan tidak layak, rasionalitas dikalahkan oleh senioritas.
Semuanya hanya karena kesepakatan-kesepakatan para politisi. Kesepakatan itu terdapat pada prosedur politik, kebijakan politik dan figure politik.
Kesepakatan pada ketiga komponen tadi sebenarnya tidak salah. Sebab ketiga-tiganya, pada dasarnya adalah hasil dari konsensus.
Ibarat, politik tanpa lawan politik tentu saja bukan sejatinya politik. Ia hanya menjadi suara mayoritas, kedengaranya baik tapi tidak demokratis, yang menindih berkelindannya suara-suara kelompok dan masyarakat minoritas. Karena kedua-duanya bersepakat, maka terjadilah politik itu sendiri.
Harapanya adalah konsensus politik yang dibangun tetap merujuk pada bonum communae. Kepentingan yang terbaik bagi semua orang. Bukan ‘konsesus gelap’ yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Kehendak baik figure politik untuk tampil di pentas politik, menerobos sekat atau bilik-bilik kepentingan dalam prosedur mengambil kebijakan politik, dan mengarahkan kebijakan politik tepat pada sasaranya adalah bagian dari konsensus dalam politik.
Singkatnya, konsensus politik dari polis, oleh polis dan untuk polis.***