Oleh: Alfred Tuname
Meski baru awal tahun 2017, publik NTT sudah ramai membicarakan Pilgub NTT 2018. Hal itu wajar, sebab publik perlu tahu siapa putra terbaik yang pantas menjadi pemimpin.
Bagi para kandidat gubernur dan wakil gubernur, masa sebelum tahun 2018 sangat penting untuk mensosialisasikan diri. Maklum, seperti perang, sebuah kemenangan politik perlu persiapan dan strategi.
Banyak nama kandidat bermunculan untuk ikut dalam “perang” tersebut. Ada nama lama, ada pula nama baru.
Frekuensi nama yang sering dibicarakan publik adalah Esthon Foenay, Benny K. Harman, Ibrahim A. Medah, Andreas Hugo Parera, Kristo Blasin, Raymundus Fernandes, Marthen Dira Thome, Daniel Tagu Dedo dan Andreas Garu.
Tampaknya, komunikasi dan lobi politik sedang dilakukan untuk memenukan kecocokan.
Partai Gerindra sudah resmi mengusung pasangan Esthon Foenay-Christian Rotok (Paket Esthon-Chris).
Partai Hanura masih belum percaya diri mengusung Saleh Husin-Andreas Garu. Di partai Golkar, Ibrahim Meda baru menambatkan feeling pasangan politiknya pada Marianus Sae.
Beny Kabur Harman belum “nyaman” menemukan pasangannya. Sementara partai politik dan kandidikat yang lain masih dalam taraf mau “meminang” dan menimbang.
Dalam taraf mau meminang dan menimbang ini, ada jawaban politik yang bimbang dan tak gamblang dari para politisi NTT.
Ketika ditanya apakah benar-benar niat untuk maju dalam Pilgub NTT 2018, jawaban yang sering muncul adalah “kalau masyarakat NTT menghendaki atau tunggu hasil survei”.
Jawaban seperti ini, dalam psikologi politik, dimengerti sebagai ungkapan ketidakpercayaan diri politisi.
Simpton political inferiority complex seperti ini merupakan preseden buruk dalam proses pencarian pemimpin di NTT.
Di sisi lain, dalam menghadapi berbagai persoalan kemiskinan kronis di NTT, masyarakat membutuhkan figur pemimpin yang benar-benar punya keyakinan dan kemampuan dalam memimpin masyarakat NTT.
Keyakinan dan kemampuan itu merupakan vocatio politik seorang politisi untuk mengubah NTT menjadi lebih baik dan sejahtera.
Tentu, masyarakat NTT tidak butuh pemimpin yang lahir dari “judi politik” yang muncul dari spekulasi “ekonometrika” politik dan persepsi.
Demokrasi NTT pun bak “bursa politik”. Jika kalkulasi statistik sentimen dan persepsi baik, politisi berani menginvestasikan hasrat politik sebagai kandidat dalam Pilgub; Jika buruk, politisi akan melakukan “rush” hasrat politiknya.
Atau strategi “judi” politik yang paling ampuh adalah money politics. “Your’re only as good as your last envelope”, ujar Silvio Dante dalam The Sopranos (1999).
Benar bahwa politik perlu hitungan cermat, tetapi tabiat seperti ini hanya berlaku bagi politisi yang oportunis, bukan politisi yang otentik.
Politisi otentik adalah politisi yang memiliki karakter dan tekad yang kuat di jalur politik dalam meraih dan menggunakan kekuasaan demi kesejahteraan bersama.
Politisi seperti ini adalah negarawan yang meletakan kepentingan publik dalam setiap kerja politiknya.
A politician is a statemen who places the nation as his service. Seperti pengakuan seorang politisi Malaysia, “I will do for the country what I will not do for myself and my family” (Ooi Kee Beng, 2006).
Tentang politisi yang tampak kurang percaya diri dapat kita belajar dari lajur karakter politisi Amerika menjelang US General Election 2016.
Berbeda dengan Donald Trump yang percaya diri, Hillary Rodham Clinton tampak masih tampak kurang yakin akan kemampuannya. Hillary masih butuh pemandu sorak yang meneriakan “Go, Hillary!” secara berulang-ulang.
Majalah Time (27/1/2014) mengangkat topik “Can Anyone Stop Hillary?”. Ini soal kandidasi Hillary Clinton dan kasak-kusuk politik Partai Demokrat dalam mengusung calon presiden dalam Pilpres Amerika 2016.
Dalam kasak-kusuk itu, Hillary membutuhkan pemandu sorak politik. Popularitas Hillary pun tinggi. Tak ada yang bisa menahan popularitas dan elektabilitas Hillary selain Donald Trump dalam Pilpres Amerika 2016.
Trump pun menjadi presiden Amerika yang resmi dilantik pada 20 Januari 2017.
Politisi NTT pun tampak ada yang butuh pemandu sorak untuk meyakinkan diri maju sebagai kandidat dalam Pilgub 2016.
Media sosial paling umum digunakan untuk mengorganisasi para pemandu sorak. Di situ akun-akun siluman berkoar-koar dan memberi jempol sekadar untuk memberi pseudo-dukungan atas kandidat tertentu.
Kandidat yang kurang percaya diri menggunakan sumber daya finansial untuk memperdayai netizens.
Pion-pionnya bahkan juga “ghost-writers”-nya bekerja siang malam untuk memperkuat posisi tawar politiknya di muka publik.
Di ruang siber itu, nyaris semua kandidat tampak hebat dan berniat maju sebagai kandidat. Kebocoran demokrasi siber adalah ketika semua merasa pantas menjadi pemimpin.
Sayangnya, publik tidak memilih figur yang hanya handal dalam pencitraan ruang siber. Publik hanya ingin pemimpin yang nyata dan bisa “disentuh”: politisi yang dekat dan selalu hadir ditengah-tengah masyarakat. Politisi seperti ini biasanya dikenal karena karakternya merakyat, bukan jauh dan elitis.
Di antara para kandidat dalam Pilgub NTT, publik masih meraba-raba. Di antaranya, ada wajah-wajah lama dan usang yang hanya muncul di jelang Pilgub.
Publik nyaris tidak pernah tahu “sangkar”-nya karena memang asing. Ada wajah-wajah baru yang ingin meramaikan pesta demokrasi.
Mereka adalah politisi yang “baru naik badan” lantas merasa pantas memimpin NTT. Mumpung incumbent dan calon kuat belum ada, masing-masing kandidat merasa kaut.
Itulah “peta buta” Pilgub NTT 2018. Semua kandidat merasa pantas, dengan syarat kalau ada pemandu sorak dan survei.
Primordialisme
Sementara itu, masyarakat NTT di-design dalam partisi agama (Katolik –Kristen Protestan) dan klan (Timor dan Flores). Partisi ini dibuat sedemikian rupa untuk merebut sisi sentimen dan kedekatan primordial para pemilih.
Pasangan kandidat pun dirancang sedemikian rupa supaya mendekati partisi itu. Strategi feodalisasi politik ini bertujuan untuk memudahkan marketing politik dan penguasaan politik. Ini adalah strategi usang yang sering terjadi dalam event politik NTT.
Selain itu, politik NTT diproyeksi sebagai urusan permanensi kelas elite politik, bukan untuk urusan publik masyarakat NTT. Sebab, politik NTT tidak lain dari penguasaan sumber daya ekonomi (Pariwisata dan Pertambangan) yang ada di segenap bumi Flobamora.
Dari kandidat yang siap maju dalam Pilgub NTT 2018, nyaris semuanya berkoneksi dengan para konglomerat Jakarta yang siap jadi investor politik.
Koneksi lekat itu pertanda kebijakan publik NTT yang dibuat akan kenal aroma korupsi.
Lantas, siapakah figur yang pantas memimpin NTT pasca Pilgub NTT 2018? Mari mengarsir peta buta politik kita dengan terang hati dan pikiran yang jerni untuk kebaikan bersama.
Dari sana akan muncul figur yang pantas dan bernas. Atas kehendak bersama, NTT akan punya pemimpin politik yang beramanah, bukan yang rajin ”beramal” politik.
****
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)