Ruteng, Vox NTT- Kendati baru dilaksanakan pada bulan Mei 2017 mendatang, hingar bingar kegiatan Tour de Flores (TdF) hingga kini tampak terasa di kalangan masyarakat.
Pertanyaan masyarakat yang selalu muncul merespon hajatan balap sepeda internasional di Pulau Flores itu yakin “masyarakat mau dapat apa”?
Elias Sumardi Dabur, seorang yang pernah berkecimpung di industri pariwisata mengatakan, TdF ini mesti bermanfaat bagi perbaikan ekonomi masyarakat di Pulau Flores ke depan.
“Seluruh potensi dan kapasitas masyarakat harus diberdayakan, di samping membangun based community tourism/ pariwisata berbasis masyarakat agar siap menjadi tuan rumah yang baik,” ujar ESD, sapaan akrab Elias Sumardi Dabur kepada VoxNtt.com, Jumat (24/3/2017).
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kata ESD, TdF Mei mendatang mesti ada kerjasama, kordinasi, dan sinergitas antara Kementrian Pariwisata, pemerintah provinsi, dan kabupaten.
“Panitia mutlak diperlukan. Hanya Pemda-Pemda itu perlu melakukan banyak agenda inovasi pariwisata. Sehingga ajang ini berdampak pada peningkatan ekonomi daerah dan masyarakatnya,” katanya.
Jika tidak demikian lanjut ESD, kegiatan TdF hanya bisa dinikmati oleh pelaku-pelaku ekonomi elit, hotel, dan maskapai penerbangan. “Masyarakat dapat apa?,” tukasnya.
Menurut ESD, TdF yang digelar pertama kali tahun 2016 lalu memang tergolong berhasil. Meski persiapannya singkat, bahkan sebagian Pemda pun bingung terkait alokasi anggaran untuk mendukung kegiatan yang merupakan brand baru di Asia tersebut.
“Event yang merupakan perpaduan olahraga dan promosi pariwisata tersebut diikuti oleh 131 juta netizen di media sosial. Artinya ini menjadi salah satu indicator suksesnya sebuah kegiatan,” ujar ESD.
TdF Membalak Uang Rakyat
Jika demikian pemikiran ESD, berbeda halnya dengan pandangan anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dari Partai Kebangkitan Bangsa, Yohanes Rumat.
Kepada wartawan di Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Kamis (23/3/2017), Rumat menyatakan, kegiatan TdF telah mengorbankan rakyat dan diduga telah ditipu orang-orang besar.
Di balik dalil promosi wisata di Pulau Flores kata dia, ajang ini membalak uang rakyat.
Baca: DPRD NTT Sebut Kegiatan Tour de Flores Korbankan Rakyat
“Tetapi pertanyaan reflektif kita untuk berapa lama atau berapa tahun ajang ini berjalan. Target apa yang mau dicapai tiap tahun. Terukur atau tidak dampak kunjungan wisatawan setelah kegiatan Tour de Flores berjalan,” ujar Rumat.
Menurutnya, masih banyak cara yang lebih elegan terkait promosi wisata. Contoh, memberi kesempatan kepada pelaku wisata lokal, para pemilik Travel Agen untuk menjual produk NTT dengan pola Bussiness to Bussiness.
“Artinya pelaku wisata sudah tahu bagaimana mempromosikan tempat-tempat pariwisata di NTT melalui websitenya,” ujar Rumat.
Dikatakan, biasanya wisatawan yang terlibat dalam ajang TdF yang harus mengeluarkan uang.
Peserta tour sendiri yang membayar segala macam kebutuhan selama perjalanan, bukan disubsidi oleh rakyat melalui anggaran pemerintah dengan angka biaya yang membengkak. Ini bukan menambah devisa malah menguras devisa Negara.
“Saya khawatir ada upaya pembohongan publik di sini, apalagi pegiat dan pelaku pariwisata di sini tidak ada yang dilibatkan, yang muncul hanya pemerintah dan konco konco seidenya,” tukasnya.
Rumusan wisatawan itu, ujar Rumat, dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ke daerah tujuan wisata untuk menikmati objek wisata. Karena itu, wisatawan wajib mengeluarkan uang untuk membiayai perjalanannya seperti hotel, meals, transportasi, biaya masuk objek, dan guide.
Yang terjadi dalam ajang TdF, rakyat melalui pemerintah memberi subsidi kepada tamu.
Artinya pelaku pariwisata di NTT dengan susah payah mendatangkan wisatawan melalui travel agent dalam bentuk devisa, sedangkan pemerintah dengan senang hati membocorkan devisa ke peserta TdF.
Para wisatawan juga diajak bersepeda keliling Flores, tetapi tidak ada yang digratiskan, semua membayar.
“Dalam mengembangkan bisnis wisata, tidak ada uang rakyat atau pemerintah memberi subsidi kepada semua tamu. Malah tamu itu yang bayar ke para pelaku wisata,” tegas Rumat.
Lanjut Rumat, lucunya lagi dalil mereka dengan adanya TdF jalan akan diratakan. “Memang kalau tidak ada TdF jalan tidak bisa diperhatikan? Saya kira, ini alasan hanya dicari-cari dan tidak komprehensif,” katanya.
Dia memungkasi sebagai bahan komparasi itu kabupaten Ngada. Dia berani menolak menyumbangkan dana untuk TdF tahun lalu. Mereka malu keluarkan uang untuk hal-hal tersebut.
Lanjut Rumat, NTT paksa diri untuk beri makan wisatawan. Itu sebabnya NTT pangkat miskin terus berjalan dan APBD kurang terus.
Dia mengatakan pertanyaan seperti ini muncul karena Sail NTT sampai saat ini tidak terukur hasilnya.
Dia pun setuju ajang TdF sebagai ajang promosi wisata dan itu bisa diterima.Tetapi tidak untuk mengorbankan uang rakyat melalui APBD. (Adrianus Aba/Nansianus Taris/VoN)