Redaksi, Vox NTT-Di tengah tuntutan profesionalisme guru dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, nasib guru honor di NTT justru masih terkatung-katung.
Pasalnya, semenjak pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dimana urusan pendidikan SLTA dialihkan ke Pemerintah Provinsi, guru honor dari berbagai daerah di NTT belum mendapatkan upah bulanan.
Adapun alasan yang kerap disebut pemerintah adalah data guru-guru tersebut masih belum rampung bahkan ada ketidaksesuaian antara data dari Dinas Pendidikan Provinsi NTT dan data Dapodik.
Alasan lain adalah Pemerintah Provinsi NTT masih harus melakukan rasionalisasi anggaran di Tahun 2017 untuk mengakomodir ribuan guru yang dialihkan ke Provinsi NTT.
BACA: Nasib Guru Honor SMA-SMK di Ngada Belum Jelas
Akibatnya, hingga kini para guru honorer tersebut belum mendapatkan SK dari gubernur NTT sehingga sejak bulan Januari hingga April 2017 mereka belum mendapatkan gaji dari pemerintah provinsi.
Keterlambatan gaji tersebut, tentu sangat berdampak pada produktivitas dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarga mereka sehari-hari.
Nasib guru honorer memang cukup menyedihkan. Selain carut marutnya data guru, gaji yang diterima pun rata-rata jauh dari kelayakan.
BACA:Sejak Januari 2017, Guru Kontrak Provinsi di Sikka Belum Terima Gaji
Di Ngada misalnya sekitar dua ratusan lebih guru honorer di Kecamatan Bajawa masih di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK). Setiap bulan gaji mereka berkisar Rp 500-600 ribu. Gaji ini masih jauh dari UMR Kabupaten Ngada sebesar Rp 1.250.000 per bulannya.
Padahal, peran mereka untuk menyukseskan pendidikan nasional tak kalah besar. Tak henti-hentinya mereka melakukan protes menuntut perbaikan nasib. Sayangnya, sampai kini nasib mereka masih dipenuhi ketidakpastian.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, total jumlah guru di Indonesia sebanyak 3.015.315.
Jumlah itu terdiri dari 2.294.191 guru PNS dan guru tetap yayasan (GTY). Sisanya, sebanyak 721.124 merupakan merupakan guru tidak tetap atau honorer.
BACA:Belum Dapat Gaji Selama 4 Bulan, Nasib Guru Honor di TTU Terkatung-Katung
Di NTT sendiri berdasarkan hasil pendataan sementara, guru kontrak SMA/SMK di NTT berjumlah 9000-an orang. Mereka tersebar di 22 kabupaten/kota di NTT.
Persoalan keterlambatan gaji guru honor ini tidak boleh dipandang sepeleh oleh pemprov NTT. Keterlambatan gaji selama 4 bulan berturut-turut adalah bukti data guru-guru tersebut belum terintegrasi dalam suatu sistem terpadu.
Selain itu lambannya proses perampungan data akibat lemahnya fungsi koordinasi antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi.
Pemerintah provinsi tidak boleh berpangku tangan menunggu kabupaten melengkapi data guru melainkan harus proaktif melakukan koordinasi dan evaluasi.
BACA:Selama 4 Bulan, Gaji Guru Honor di Ende Belum Dibayar
Begitu pula sebaliknya pemerintah kabupaten/kota jangan berkecil hati lantaran kehilangan ‘lahan basah’ dalam mengurus gaji guru, lantas cuci tangan atas persoalan ini.
Mengurus persoalan data guru memang tidak hanya membutuhkan upaya prosedural dan administratif semata.
Sebaliknya harus ada political will dari pemerintah provinsi maupun kabupaten untuk memprioritaskan nasib guru sebagai motor pembangunan manusia.
Saat ini agenda pembanguan manusia NTT sebenarnya masih jauh panggang dari api. Tingkat pengangguran makin tinggi sementara lapangan pekerjaan belum memadai untuk menampung jumlah lulusan sarjana yang terus meningkat.
Atas situasi itu, pemerintah harus mampu menjaga kondusifitas iklim pendidikan yang baik agar tidak terus tengggelam dalam kebodohan dan minimnya skill generasi muda.
BACA:Verifikasi Data Guru Jadi Alasan Keterlambatan Pembayaran Gaji
Karena itu, jangan siksa guru honor di NTT dengan dengan alibi pemerintah yang normatif dan saling lempar tanggung jawab.
Jika guru sebagai motor utama pendidikan tidak disuntik dengan kesejahteraan maka selamanya NTT kita terus tenggelam dalam lingkaran setan kemiskinan.
Peran guru adalah seperti menyalakan api yang telah atau hampir padam dalam terowongan gelap kemiskinan NTT. Guru adalah lilin yang mampu membebaskan provinsi tercinta ini dari gelapnya sejarah kebodohan.
Mengutip Sidarta Susila, Guru itu lentera kehidupan. Perjumpaannya bersama para murid adalah perjumpaan yang mencerahkan. Guru hadir menyingkapkan tabir gelap para muridnya dengan ilmu dan tubuhnya.
Jangan sepelekan masalah guru jika tidak mau bangsa dan provinsi ini kehilangan generasi emas masa depan (lost generation). Semoga! (Irvan Kurniawan/VoN).