Borong, Vox NTT- Kabupaten Manggarai Timur (Matim) merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Manggarai pada 11 November 2007 silam. Luas Wilayahnya mencapai 2.643,41 km2.
Sejak resmi menjadi daerah otonomi baru sekitar 10 tahun lalu itu, warga 4 desa di sebelah barat kali Wae Musur, Kecamatan Rana Mese terus merengek meminta belas kasihan kepada pemerintah kabupaten (Pemkab) Matim. Keempat desa tersebut yakni Satar Lahing, Torok Golo, Lalang, dan Satar Lenda.
Permintaan mereka terutama kebutuhan infrastruktur yang memadai. Pembangunan infrastruktur demikian vital di empat desa itu. Sayangnya, keluhan warga seakan seringkali terabaikan oleh Pemkab Matim.
Tak terhitung lagi lamanya, warga di empat desa itu terpaksa hidup miskin dan terbatas, karena minimnya infrastruktur. Untuk mendatangkan sembilan bahan pokok atau sembako saja mereka terpaksa melewati sejumlah tantangan berat dan bahkan nyawa pun menjadi taruhannya.
Salah satu tantangan terbesar ialah, melewati arus kali Wae Musur yang begitu besar. Jangan tanya lagi saat musim hujan tiba, warga hanya duduk termenung dengan keterbatasannya sebelah kali Wae Musur lantaran tak bisa melewati banjir.
Di tengah kebisingan alamnya sambil mengamati arus banjir yang begitu besar, tak jarang warga termenung dan bertanya dalam hati ‘kapan nasib mereka berubah? Bukankah tujuan pemekaran daerah untuk percepatan pembangunan?
Dari tahun ke tahun dan dari pemilu ke pemilu, warga di empat desa sebelah barat kali Wae Musur hanya merindukan satu, yakni perhatian pemerintah akan kebutuhan dasar infrastruktur yang memadai.
Bangkit Melawan
Penderitaan mereka sejak lama rupanya tak tertahankan lagi. Dari tahun ke tahun, warga menilai mereka sudah terabaikan dalam kebijakan pemerataan pembangunan infrastruktur di Matim.
Warga di empat desa sebelah barat kali Wae Musur kemudian spontan bangkit untuk melawan kebijakan Pemkab Matim.
Baca: Infrastruktur Tidak Diperhatikan, Formasmur Nyatakan Lawan Ketidakadilan Pemkab Matim
Pernyataan sikap melawan ketidakadilan Pemkab Matim sudah disampaikan melalui Forum Masyarakat Sebelah Wae Musur (Formasmur) di kali Wae Musur, Minggu, 23 April 2017. Forum tersebut terdiri dari perwakilan empat desa dan para sarjana.
Sikap perlawanan Formasmur ini disampaikan lantaran Pemkab Matim dinilai belum memperhatikan infrastruktur di empat desa sebelah barat kali Wae Musur.
Salah satu bentuk ketidakadilan itu yakni, jembatan Wae Musur yang hingga kini belum dibangun oleh pemerintah. Sejak lama jembatan Wae Musur hanya sebatas janji manis pejabat-pejabat di Kabupaten Matim.
Selain itu, mereka menegaskan pembangunan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) pada kenyataannya tidak memberikan sedikit pun keuntungan bagi masyarakat sebelah barat Wae Musur.
“Terkait pembangunan PLTMH, pembangunan jalan, jembatan, dan pembangunan lainnya. Kenyataan Ini terus terjadi sampai sekarang tanpa bukti. Jembatan Wae Musur dan akses jalan menuju desa-desa di sebelah (barat) Wae Musur tidak diperhatikan,” tegas Eduardus Ejo, Kordinator Formasmur saat deklarasi perlawanan di Wae Musur.
Di depan warga yang hadir, Ejo mengatakan saat ini empat desa sebelah barat Wae Musur sedang berperang melawan ketidakadilan Pemkab Matim.
Warga berperang bukan menggunakan bambu runcing, senjata, dan parang. Namun perang yang dimaksud yakni menggunakan saraf otak melawan ketidakadilan pemerintah.
“Sebenarnya kita belum merdeka, masih dijajah. Lebih baik dijajah seperti dulu daripada menikmati kemerdekaan yang semu,” ujar Ejo.
Dua Periode Bupati Tote Tutup Mata
Davit Pampung, Tu’a Gendang (tua adat) Gulung, Desa Torok Golo, Kecamatan Rana Mese menyebut selama dua periode Bupati Matim, Yoseph Tote tutup mata dengan nasib warga sebelah barat kali Wae Musur.
Bahkan ia menyebut Bupati Tote tidak pernah mendengar dan memperhatikan nasib warga yang ada di sebelah barat kali Wae Musur.
Hal itu terutama karena bupati yang berpasangan dengan Agas Andreas itu belum membangun jembatan Wae Musur dan beberapa jalan di empat desa di bagian baratnya.
“Sudah dua periode Bupati Yosep Tote. Namun dia tutup mata. Tidak pernah memperhatikan derita kami di sini. Kami anggap Pemkab Matim di bawah kepemimpinan Tote buta dan tuli,” kata Davit Pampung kepada VoxNtt.com di kali Wae Musur, Minggu, 23 April 2017.
Baca: Dua Periode Bupati Tote Tutup Mata dengan Nasib Warga Sebelah Wae Musur
Disaksikan VoxNtt.com di Wae Musur baru-baru ini, kendaraan yang melintasi di jembatan ini harus membayar. Untuk kendaraan roda dua wajib membayar Rp 20.000 dan untuk pejalan kaki Rp 5.000.
Davit Pampung, mengatakan jembatan bambu tersebut dibuat atas inisiatif warga setempat.
“Ini dibuat untuk mempermudah dan mempersingkat akses menuju Borong. Daripada kami harus putar keliling lagi. Bisa menghabiskan biaya banyak,” kata Davit.
Dia mengaku, melewati jembatan bambu yang dibuat warga tersebut sudah memudahkan akses menuju ke Lehong, pusat pemerintahan Matim. Hanya membutukan waktu satu atau dua jam saja.
Sebelumnya, harus membuang waktu satu hari penuh karena jalur alternatif sangat jauh.
“Biaya transportasi semakin mahal karena jarak yang sangat jauh. Ini sungguh menderita,” kata Davit.
Dia menambahkan, akibat tidak adanya jembatan di Wae Musur tak jarang beberapa kesempatan warga terpaksa pikul pasien dan mayat di tebing yang sangat curam.
“Jangan heran kalau ada pasien yang dibawa ke puskesmas ada yang mati di jalan. Ini karena akses transportasi kami tidak diperhatikan oleh pemerintah,” katanya.
Dapat Respon DPRD NTT
Pernyataan sikap perlawanan Formasmur akan berbagai bentuk ketidakadilan Pemkab Matim itu turut menyita perhatian anggota DPRD Provinsi NTT, Yohanes Rumat.
Yohanes kepada VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp, Selasa, 25 April 2017, mengatakan apa yang disampaikan Formasmur ini hanya mau mempertegas anggaran yang sudah dipalu eksekutif dan legislatif Matim tahun anggaran 2017.
Dia menilai, pengerjaan jembatan kali Wae Musur segera dilakukan dalam proses administrasi tender. Sebab, sikap Formasmur ini bukan merupakan perjuangan baru bagi masyarakat sebelah barat Wae Musur.
“Untuk mengetahui proses tendernya kapan, utus saja perwakilannya ke dinas PU Matim. Agar kita tidak dianggap tidak menjaga wibawa pemerintah dan DPRD Matim,” katanya.
Yohanes juga meminta masyarakat bersabar dan jangan mencederai proses yang telah berjalan. Terkecuali jika ada informasi yang baru dari PU Matim yakni membatalkan atau memindahkan anggaran yang sudah diputuskan secara bersama.
“Kami juga khawatir ada muatan politis lainya yang berimplikasi pada dampak yang lain dan menimbulkan ketersinggungan ketersinggungan baru,” kata Yohanes.
Dikatakan, langkah masyarakat ini perlu diapresiasi.
Baca: Pernyataan Sikap Formasmur Dapat Respon DPRD NTT
“Saya memberi apreasi kepada masyarakat yang melakukan tindakan tindakan demo atas ketertinggalan ini. Tetapi lebih elok kalau sudah dapat informasi resmi dari dinas pekerjaan Umum kabupaten manggarai Timur tentang pembangunan jembatan Wae Musur Golo Mongkok Satar Lahing,” tukas Yohanes.
Kemana 7 DPRD Matim Dapil Borong-Rana Mese?
Ratapan empat desa sebelah barat kali Wae Musur sudah berlangsung sejak lama. Tak jarang pula mereka menaruh harapan besar untuk memperjuangkan pemerataan infrastruktur dengan para anggota dewan dari Dapil III Borong-Rana Mese.
Warga menyadari betul bahwa salah satu alat perjuangan di lembaga DPRD ialah anggota dewan tetap mempertahankan Dapilnya masing-masing. Sebab, mereka duduk di kursi DPRD diutus oleh masyarakat dari Dapil.
Untuk diketahui, ketujuh anggota DPRD Matim yang sudah lolos dalam pemilihan legislatif (Pileg) pada tahun 2014 lalu yakni, Adven S. Peding dari partai Nasdem dengan jumlah suara 572, Tarsisius Sjukur dari partai PKB dengan jumlah suara 1.874, dan Epifianus F. Mangu dari partai PDI Perjuangan dengan jumlah suara 871.
Selain itu, Santur Lasarus dari partai Golkar dengan jumlah suara 1.539, Filfridus Jiman dari partai Gerindra dengan jumlah suara 1000, Leonardus Santosa dari partai Demokrat dengan jumlah suara 849, dan Yeremias Dupa dari partai PAN dengan jumlah suara 1016.
Lantas kemana 7 anggota DPRD Matim tersebut dalam menanggapi keluhan warga sebelah barat Wae Musur? Salah satu yang mempertanyakan itu ialah Ketua Forum Pemuda Peduli Manggarai Timur (FP2-Maritim), Erik Jumpar.
“Jujur, saya merasa kesal dengan aspirator dari wilayah Borong-Rana Mese yang terkesan apatis dengan perjuangan jembatan Wae Musur,” tegas Erik Jumpar saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Kamis (27/4/2017).
Erik menegaskan, seharusnya ketujuh DPRD tersebut bisa menjadi corong perjuangan masyarakat sebelah barat kali Wae Musur di lembaga dewan. Sebab, masyarakat sudah sejak lama memperjuangkan agar jembatan tersebut segera dibangun oleh Pemkab Matim.
Menurut dia, beberapa desa sebelah barat kali Wae Musur memiliki sejumlah potensi ekonomi yang mumpuni, terutama hasil tanaman komoditasnya. Hanya saja, potensi tersebut tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai, sehingga menjadi inflasi.
“DPRD dari Dapil Rana Mese-Borong bersuaralah dan berjuanglah. Stop mengelabui rakyat dengan janji manis,” tegas Erik.
Menanggapi hal itu, Leonardus Santosa, salah satu anggota DPRD Matim Dapil III Borong-Rana Mese menjelaskan, selama ini mereka terus memperjuangkan alokasi anggaran untuk pembangunan jembatan Wae Musur.
“Saya sepakat dengan gerakan yang dilakukan oleh masyarakat sebelah (barat) Wae Musur, saya sepakat sekali,” ujar Leonardus saat dihubungi VoxNtt.com melalui ponselnya, Kamis siang.
Ia menceriterakan, klimaks peran DPRD Matim dalam memperjuangkan jembatan Wae Musur yakni di Pansus evaluasi kinerja pemerintah di tahun 2016. Di rapat Pansus pembahasan Perda 2016 itu, pemerintah dan DPRD sudah menyepakati jembatan Wae Musur segera dibangun.
Namun saat itu eksekutif beralasan keterbatasan anggaran. Karena itu, sebagai solusinya pembangunan menuju desa sebelah barat kali Wae Musur dilakukan secara bertahap. Tahap pertama yakni, pembangunan jalan masuk dengan sistem swakelola senilai Rp 300 juta. Kemudian, tahun 2017 ini rencananya akan mulai membangun fisik jembatan Wae Musur.
“Sehingga kemarin kita semua kaget dengan jawaban pemerintah dalam hal ini Dinas PU bahwa ada persoalan tanah di situ, dimana ada masyarakat yang menghalangi,” kata Leonardus.
Padahal alur pembahasannya lanjut dia, karena ketersedian anggaran di tahun 2016 itu tidak mencukupi maka dimulai dengan tahapan. Pertama pembukaan jalan masuk.
“Setelah DPRD evaluasi ternyata itu tidak dilaksanakan. Sebagai lembaga kita memberikan catatan terhadap hal seperti itu,” katanya.
“Boleh dikatakan 7 anggota DPRD (Dapil Borong-Rana Mese) kecewa sekali dengan pemerintah daerah (Matim). Kalau mau dibilang kasar kita dikibuli dalam sistem bersama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam hal ini berkaitan dengan perencanaan penganggarannya,” tambah anggota DPRD dari Partai Demokrat itu.
Jembatan Wae Musur Dibangun Tahun 2017
Pemkab Matim sudah merespon tuntutan warga empat desa sebelah barat kali Wae Musur, Kecamatan Rana Mese. Mereka meminta kepada masyarakat sebelah barat kali Wae Musur untuk bersabar.
Bupati Yoseph Tote melalui Kabag Humas dan Protokoler Bonefasius Sai kepada VoxNtt.com di Elar, Rabu (27/4/2017) mengatakan jembatan Wae Musur dibangun pada tahun 2017 ini.
“Masyarakat diminta bersabar. Anggaran sudah dipalu bersama anggota DPRD dan eksekutif untuk tahun anggaran kerja 2017. Sekarang proses administrasi tender sedang berjalan. Kita tunggu hasilnya. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan bersabar,” kata Boni.
Sedangkan terkait listrik PLTMH di Wae Musur kata Boni, tetap akan ada perluasan jaringan menuju empat desa tersebut.
Baca: Pemkab Matim Minta Warga Sebelah Wae Musur Bersabar
“Bersabar saja. Masyarakat diminta bersabar. Jelas akan ada perluasan jaringan untuk masyarakat sebelah Wae Musur. Pembangunan itu berkelanjutan dan pastinya sesuai dengan ketersediaan dana lagi di Pemda,” tukasnya.
Pemkab Matim, Dari Dulu Kemana?
Niko Martin, pemerhati pembangunan Matim mempertanyakan alasan Pemkab Matim baru melaksanakan pembangunan jembatan Wae Musur baru di tahun 2017 ini. Padahal, kepemimpinan Yoseph Tote dan Agas Andreas (Paket Yoga) sudah berlangsung hampir 10 tahun.
Semestinya jembatan Wae Musur kata Niko, harus menjadi agenda utama pemerintah Matim karena bertautan langsung dengan slogan Cengka Ciko (membuka daerah terisolir) paket Yoga.
“Kita sesalkan karena sampai sekarang jembatan Wae Musur untuk menghubungkan wilayah bagian barat Rana Mese dan bersentuhan langsung dengan wilayah Satarmese (Manggarai) tidak diperhatikan,” ujarnya saat dihubungi melalui ponselnya, Kamis siang.
Menurut Niko jembatan Wae Musur tersebut sifatnya mendesak dan prioritas. Dan pembangunannya juga bersifat mutlak. Namun, faktanya justru terbalik yakni tidak menjadi hal yang mendesak bagi kepemimpinan Yoga.
“Saya tidak tau pemikiran mereka (Yoga), apakah berpikir lurus atau berpikir terbalik. Dua-duanya ini, bupati maupun wakilnya,” pungkasnya.
Dikatakan, membangun jembatan Wae Musur tidak boleh reaksional hanya karena ada pernyataan sikap Formasmur melawan ketidakadilan Pemkab Matim. Mestinya pembangunan harus lahir dari sebuah kesadaran dan konsep sesuai slogan Yoga yakni Cengka Ciko.
“Dan itu harus diimplementasikan sejujur-jujurnya, seadil-adilnya. Jangan manipulasi, jangan cendrung disparitas dalam penerapannya,” tegas Niko.
Dengan melihat fakta, lanjut dia, mestinya jembatan Wae Musur dibangun sejak dahulu bukan sekarang. (Adrianus Aba/VoN)