Lembata VOX NTT- Nama lengkapnya adalah Yoseph Yonetas Motong Wuwur. Pria kelahiran Kalikasa-Lembata, tiga puluh tiga tahun silam ini adalah lulusan Fakultas Pertanian dari Universitas Flores Ende.
Memulai karirnya sebagai honorer penyuluh pertanian pada Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Lembata pada April 2014.
Saat penunjukkan dirinya sebagai pegawai PPL, Motong demikian sapaan manisnya langsung ditempatkan di desa Alap Atadei-Kecamatan Wulandoni.
“Saya orang Lembata no, tapi saya sama sekali belum tahu desa Alap Atadei itu ada dimana. Senang diterima sebagai pegawe, tapi ini Alap Atadei juga belum tau ni” begitu tutur Motong sambil tertawa, saat berkisah kepada VOX NTT di Hotel Sugo Nian Maumere, Senin, (8/5).
Pertama kali ke Wulandoni lapor diri di kantor camat, Motong langsung menyusuri desa-desa seputaran kecamatan ini. Menurut Motong, medan tempuh ke desa-desa di Kecamatan Wulandoni terlebih di desa Alap Atadei benar-benar memprihatinkan.
Butuh nyali, tahan banting dan berdamai dengan situasi. Masalah air paling jadi kendala sekaligus momok. Hanya ada satu sumur di dekat pantai. Listrik jangan tanya lagi. Jalan saja parah apa lagi harap listrik. Pokoknya benar-benar pasrah.
“Pertama kali mandi di sumur, saya gosok sabun, busa tidak keluar, saya kaget kah ama,” kata Motong dalam logat Lewoleba-Lembatanya yang kental.
Motong berpikir jangan-jangan sabun yang dibawanya dari Lewoleba itu sabun kedaluwarsa. Selidik punya selidik ternyata orang satu kampung justru mandi pake sabun cuci yang jenis Wings untuk mandi. Zat kapur air yang tinggi mengakibatkan busa dari sabun mandi jadi tidak padu.
Memasuki bulan November 2014, Motong rasa tak mampu lagi bekerja.
“Saya pikir ini kerja lain tidak ada lagikah maka saya bodoh-bodoh ada di desa yang sama sekali tak buat saya jadi orang” demikian tuturnya.
“Saya stres saat kasih penyuluhan tentang budi daya jagung lalu petani rame-rame angkat tangan dan tanya; untuk apa tanam jagung, ai kami tanam jagung di tacu saja, Pak, tidak ada guna tanam jagung itu” lanjutnya.
Motong mengaku menyimak semua pertanyaan dan tanggapan petani. Ada yang sebenarnya hanya mau buat kesal dan uji mental saja. Dia mengaku kadang geram tapi tahan.
“Dalam hati saya berujar, para petani ini undang saya omong tentang jagung dan suruh saya usahakan bibit jagung dan bantu menjelaskan tentang persiapan lahan tapi kok bertanya yang aneh-aneh” tuturnya.
Program dan mimpi besarnya untuk enam puluh hektar jagung siap tanam di desa Alap Atadei pun berantakan dan gagal total. Semua yang dipelajari selama kuliah tentang potensi lahan kering macam di Lembata itu serasa ambruk.
Sebagai seorang Sarjana Pertanian, tanggung jawab moral dan sosialnya tiba-tiba menyala. Tantangan tidak harus membuatnya jadi cengeng dengan situasi. Motong merasa ia perlu melakukan pendekatan yang lebih dalam dengan masyarakat desa.
“Kita boleh kuasai ilmu tapi kalau pendekatan dengan orang kecil tidak jalan maka sia-sia” katanya.
Motong lalu membangun pendekatan komunikatif dengan semua orang di desa. Jadi petugas PPL itu jadi fasilitator sekaligus mediator antar petani dan juga pemerintah.
Komunikatif dan bergaul dengan orang kecil khususnya petani lalu jadi semacam spirit untuk masuk menggarap lahan petani agar berbuah hasil yang besar.
Kalau selama ini mereka kerja hanya untuk makan dan kadang tidak cukup, kini berkat ada bersamanya petani mulai cukup makan dan bisa menjual hasil kerja mereka.
Sampai dengan saat ini Motong makin setia jadi penyuluh pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distanpag, red) Lembata.
Itulah Motong Wuwur, seorang PPL yang gigih merawat spirit komunikatifnya.
“Saya bersyukur sekali karena berkat ada bersama petani, saya kini sudah berhasil menghasilkan sebuah buku yang siap diterbitkan dengan judul Peluang Bisnis di Lahan Tidur” kisahnya. (Hengky Ola/VoN)