Borong, Vox NTT- Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur (Pemkab Matim) menganggarkan Rp 1 Miliar dari APBD II untuk menyukseskan kegiatan Tour de Flores (TdF) tahun 2017 mendapat beragam reaksi sejumlah pihak.
Leonardus Madu, tokoh muda yang tinggal di Borong kepada VoxNtt.com baru-baru ini, mengatakan uang sebesar satu miliar untuk TdF bukan uang sedikit.
“Yang menjadi persoalan, apakah TDF itu memiliki nilai positif terhadap perekonomian masyarakat Manggarai Timur,” ujar Leo.
Baca: Pemkab Matim Alokasi Rp 1 Miliar untuk TdF, Warga Pertanyakan Nilai Ekonominya
Mestinya kata dia, Pemkab Matim lebih bijak untuk mengalokasikan anggaran yang dapat menguntungkan masyarakat Matim.
“Jangan sampai bahwa uang sebesar itu hanya dapat menguntungkan sepihak, dan mengabaikan kepenting masyarakat yang mestinya menjadi prioritas utama anggaran pemerintah,” kata Leo.
Menurutnya, Pemkab Matim seharusnya lebih jelih melihat persoalan ekonomi masyarakat. Masih banyak persoalan masyarakat yang membutuhkan perhatian dan tanggung jawab pemerinta, selain TdF.
“Kenyataan yang ada di masyarakat bahwa masih banyak pembangunan infrastruktur, air minum bersih, bangunan sekolah tidak layak, kesehatan gratis dan lainnya. Kenapa mesti pemerintah hanya menghamburkan uang yang tidak memiliki nilai positif terhadap kebutuhan masyarakat,” tukas Leo.
Senada dengan itu, anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dari Partai Kebangkitan Bangsa, Yohanes Rumat mengatakan kegiatan TdF telah mengorbankan rakyat dan diduga telah ditipu orang-orang besar.
Di balik dalil promosi wisata di Pulau Flores kata dia, ajang ini membalak uang rakyat.
“Tetapi pertanyaan reflektif kita untuk berapa lama atau berapa tahun ajang ini berjalan. Target apa yang mau dicapai tiap tahun. Terukur atau tidak dampak kunjungan wisatawan setelah kegiatan Tour de Flores berjalan,” ujar Rumat kepada VoxNtt.com di Borong, 23 Maret lalu.
Menurutnya, masih banyak cara yang lebih elegan terkait promosi wisata. Contoh, memberi kesempatan kepada pelaku wisata lokal, para pemilik Travel Agen untuk menjual produk NTT dengan pola Bussiness to Bussiness.
“Artinya pelaku wisata sudah tahu bagaimana mempromosikan tempat-tempat pariwisata di NTT melalui websitenya,” ujar Rumat.
Dikatakan, biasanya wisatawan yang terlibat dalam ajang TdF yang harus mengeluarkan uang.
Peserta tour sendiri yang membayar segala macam kebutuhan selama perjalanan, bukan disubsidi oleh rakyat melalui anggaran pemerintah dengan angka biaya yang membengkak. Ini bukan menambah devisa malah menguras devisa Negara.
“Saya khawatir ada upaya pembohongan publik di sini, apalagi pegiat dan pelaku pariwisata di sini tidak ada yang dilibatkan, yang muncul hanya pemerintah dan konco konco seidenya,” tukasnya.
Rumusan wisatawan itu, ujar Rumat, dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ke daerah tujuan wisata untuk menikmati objek wisata. Karena itu, wisatawan wajib mengeluarkan uang untuk membiayai perjalanannya seperti hotel, meals, transportasi, biaya masuk objek, dan guide.
Yang terjadi dalam ajang TdF, rakyat melalui pemerintah memberi subsidi kepada tamu.
Artinya pelaku pariwisata di NTT dengan susah payah mendatangkan wisatawan melalui travel agent dalam bentuk devisa, sedangkan pemerintah dengan senang hati membocorkan devisa ke peserta TdF.
Para wisatawan juga diajak bersepeda keliling Flores, tetapi tidak ada yang digratiskan, semua membayar.
“Dalam mengembangkan bisnis wisata, tidak ada uang rakyat atau pemerintah memberi subsidi kepada semua tamu. Malah tamu itu yang bayar ke para pelaku wisata,” tegas Rumat.
Lanjut Rumat, lucunya lagi dalil mereka dengan adanya TdF jalan akan diratakan. “Memang kalau tidak ada TdF jalan tidak bisa diperhatikan? Saya kira, ini alasan hanya dicari-cari dan tidak komprehensif,” katanya.
Dia memungkasi sebagai bahan komparasi itu kabupaten Ngada. Dia berani menolak menyumbangkan dana untuk TdF tahun lalu. Mereka malu keluarkan uang untuk hal-hal tersebut.
Lanjut Rumat, NTT paksa diri untuk beri makan wisatawan. Itu sebabnya NTT pangkat miskin terus berjalan dan APBD kurang terus.
Dia mengatakan pertanyaan seperti itu muncul karena Sail NTT hingga kini tidak terukur hasilnya.
Dia pun setuju ajang TdF sebagai ajang promosi wisata dan itu bisa diterima.Tetapi tidak untuk mengorbankan uang rakyat melalui APBD.
Anggota DPRD Matim Mensi Anam menyatakan akan menyetujui TdF jika saja direncanakan dengan matang, dipromosikan secara massif, dan dikelola dengan baik sehingga memberikan efek positif terhadap kehidupan pariwisata.
“Artinya TdF harus ada manfaatnya untuk pariwisata daerah. Dalam konteks ini daerah harus siap bukan hanya sebatas saat mereka datang, menyambut, buat acara lalu tidak ada acara lanjutan dengan perusahaan pengelola pariwisata maka hasilnya hanya “ramai semalam”. Setelah itu selesai,” kata politisi Hanura itu.
Apalagi kata dia, saat ini Matim belum memiliki destinasi wisata atau event wisata yang bisa dijadikan icon.
“Satu pertanyaan untuk Pemda, apa yang akan dibuat Pemda setelah TdF. Apakah hanya menunggu TdF tahun 2018 dan begitu seterusnya,” tanya Mensi.
Berkaitan denga anggaran Rp 1 Miliar untuk TdF tersebut, Mensi menegaskan pemerintah mesti membeberkan rincian item anggaran untuk pengalokasiannya.
Dia mendorong supaya ada rapat kerja dengan Dinas Pariwisata untuk menanyakan sejauh mana persiapan Pemkab Matim dan nilai guna dari anggaran tersebut kelak.
“Jujur saja anggaran kita amat mepet untuk urusan publik yang tidak kalah mendesaknya. Semua anggaran kita tentu berprioritas. Tetapi, yang paling mutlak dalam prioritas itu didahului. Kita mesti mendapatkan jaminan hal itu dari Pemda,” kata dia.
Menurut dia, mesti juga ada evaluasi bagaimana dampak dari TdF pertama tahun 2016 lalu.
“Saya tidak terlalu yakin bahwa TdF memberikan manfaat untuk masyarakat Matim. kalau Mabar pasti diuntungkan karena menjadi daerah tujuan akhir,” tutur Mensi.
Sementara itu, Ketua DPRD Matim, Lucius Modo kepada VoxNtt.com, Jumat (16/6/2017) mengatakan dana untuk TdF tahun 2017 di kabupaten itu sebanyak Rp 1.049.363.000.
Baca: Satu Miliar untuk TdF, Namun Ruas Menuju Cepi Watu Belum Diperbaiki
Anggaran tersebut untuk membiayai kegiatan pelaksanaan promosi pariwisata Matim di dalam dan luar negeri.
Dijelaskan Luko, dari kegiatan tersebut diuraikan lagi ke dalam tiga jenis belanja.
Pertama, belanja pegawai sebesar Rp 91.300.000. Kedua, belanja barang dan jasa sebesar Rp 958.063.000. Ketiga, belanja monitoring, evaluasi, dan pelaporan sebesar Rp 20.000.000.
Dia menambahkan, dalam belanja barang dan jasa yang sebesar Rp 958.063.000 itu ada empat kegiatan yang akan dilaksanakan.
Keempatnya yakni, kegiatan TdF, pemilihan duta wisata, festival Tanjung Bendera, dan kegiatan adventure.
Jadi, anggaran sebesar Rp 1.049.363.000 tidak hanya untuk membiayai kegiatan TdF tahun 2017.
“Anggaran tersebut membiayai empat kegiatan tersebut. Semua kegiatan tersebut sangat penting untuk pengembangan promosi atau pemasaran pariwisata Matim,” jelas Luko yang adalah politis Demokrat itu.
Kegiatan TdF kata dia, adalah bagian dari upaya promosi aset wisata Matim ke mata dunia.
“Jangan lihat sekarang. Coba pikir jauh ke depan. Seperti apa dampak dari TdF untuk pariwisata kita. Ini kan tidak seperti makan lombok, langsung terasa pedisnya. Pastilah butuh promosi agar wisata kita diketahui oleh dunia,” jelas Luko. (Nansianus Taris/VoN)