Vox NTT- Tour de Flores (TdF) sudah menjadi event tahunan pemerintah pusat dan daerah sejak tahun 2016 lalu. Itu dalam rangka agenda besar yaitu promosi wisata provinsi NTT di mata dunia.
Di balik hajatan balap sepeda internasional itu, pemerintah memiliki mimpi besar untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Flores, khususnya dan NTT, umumnya.
TdF pertama yang dijalankan pada Mei tahun lalu memang masih menyisakan tanda tanya besar bagi masyarakat.
Rasa penasaran masyarakat terutama karena kegiatan itu telah mengeluarkan uang rakyat yang bersumber dari APBN, APBD I, dan APBD II.
Jumlahnya dikabarkan tidak sedikit berkisar antara Rp 700 juta-1 miliar lebih dari APBD tiap kabupaten di Flores. Uang untuk TdF pertama itu memang variatif tiap kabupaten. Belum lagi APBD I NTT dan APBN yang dikabarkan jumlahnya lebih dari itu.
Untuk level kemampuan keuangan setiap kabupaten di Pulau Flores tentu angka tersebut sangatlah besar. Kalau dibangun aspal jalan bisa sampai 7 hingga 10 km. Maklum, jalan raya masih merupakan kebutuhan urgen masyarakat Flores saat ini.
Hampir setahun berlalu hajatan TdF pertama itu. Kini, pada Juli 2017 ini TdF jilid II kembali digelar di Pulau Flores.
TdF jilid II diwarnai kritikan pedas sejumlah pihak. Ada yang menyebut hajatan TdF hanya kegiatan untuk menghamburkan uang Negara dan hanya diuntungkan segelintir elit.
Ada yang menyebut TdF sangat tidak efektif dan efisien jika saja dalilnya untuk mempromosi wisata Flores. Toh, komodo dikenal bukan karena sepenuhnya oleh TdF dengan jor-joran memakai uang Negara. Wae Rebo dikenal bukan karena TdF. Kelimutu dikenal bukan karena TdF. Bena dikenal bukan karena TdF, dan lain-lain.
Itu polemik pandangan bernada kritikan dari orang. Hal itu tentu membutuhkan penjelasan pemerintah, sebab uang yang digunakan untuk hajatan TdF milik rakyat.
Saya tentu beda. Coretan kecil ini hanya mau menagih evaluasi program pemerintah yang namanya TdF itu. Sebab, dia sudah mengeluarkan uang Negara. Sebagai rakyat tentu memiliki sense of belonging.
Pentingnya Evaluasi
TdF mau tidak mau harus disebut program karena sudah menjadi event tahunan yang mengeluarkan uang Negara.
Karena itu, sistem pengukuran program termasuk keuangannya merupakan suatu hal penting dalam pelaksanaan good governance .
Program yang baik ditandai antara lain dengan tingginya tingkat kinerja, adanya akuntabilitas publik, transparansi, efisiensi, efektivitas, bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dalam konteks program TdF tahun 2016 lalu, tentu evaluasi penting untuk menentukan tingkat kinerja dan mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari hajatan TdF.
Evaluasi juga tentu berperan penting untuk mengukur tingkat keluaran (outcome) kegiatan TdF. Salah satunya bisa mengukur dampak positif maupun negatif.
Dan apabila goalnya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara, setelah TdF bagaimana traffic-nya. Apakah kunjungan mereka ke Flores karena faktor TdF, atau ada faktor lain?
Kepala Dinas Pariwisata NTT, Marius Ardu Jelamu sebagaimana dilansir Suara Pembaruan, 22 Juli 2016 lalu menyebut sudah ada evaluasi tentang TdF tahun 2016.
Menurut dia, TdF 2016 telah menimbulkan dampak besar bagi dunia Pariwisata NTT khususnya Flores. Walaupun persiapan TdF hanya enam bulan tetapi sudah berhasil melaksanakannya dengan baik dan sangat menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Jelamu menyebut bulan Juni tahun 2016 hingga tahun 2017 kurang lebih 5.000 wisatawan dari Polandia datang ke Flores dan NTT seluruhnya. Ini dampak positifnya, kata dia.
Pelaksanaan TdF kata dia, mendapat perhatian dari 131 Juta warga net seluruh dunia, yang memberikan komentar positif melalui Media sosial. Jika dirupiahkan mencapai 3 triliun.
Pertanyaanya, apakah semudah itu evaluasi program TdF tahun 2016? Anehnya, Ketua pelaksana TdF, Primus Dorimulu mengatakan, tahun 2016 lalu pihaknya mengalami kerugian menghampiri Rp 2,7 miliar. Meski mengalami kerugian, pihaknya tetap berkomitmen pelaksanaan TdF di Flores pada tahun 2017 ini akan menguntungkan masyarakat Flores. (VoxNtt.com, 24 Maret 2017).
Pertanyaanya, kerugian itu diketahui dari mana? Kapan evaluasi? Berapa total uang Negara pada TdF tahun 2016?. Pertanyaan-pertanyaan itu tentu membutuhkan jawaban karena sejauh ini masih gelap gulita.
Respek untuk Bupati Ngada
Bupati Ngada, Marianus Sae satu-satunya kepala daerah di Pulau Flores yang dikabarkan tidak mau menyumbangkan APBD II untuk kegiatan TdF 2017.
Sejumlah media online memberitakan sikap Marianus yang “membangkang” untuk turut terlibat dalam bentuk sumbangsi keuangan APBD kabupatennya demi menyukseskan kegiatan TdF karena belum menyentuh langsung pada kebutuhan mendesak masyarakat.
Sebab, dari total anggaran APBD yang harus dipangkas, sekitar Rp. 7-8 miliar digunakan untuk memberikan hadiah kepada pemenang yang diikuti oleh 320 peserta dari 20 negara di dunia. Sisanya digunakan untuk membiayai pihak panitia yang pada umumnya beranggotakan orang-orang kaya dari Jakarta. Itu untuk TdF tahun 2016 lalu.
Sikap “pembangkangan” Marianus ini memang perlu direspek. Sebab, dia tau pola pembangunan dan promosi pariwisata di Flores masih jauh dari ekspetasi masyarakat miskin.
Masyarakat masih membutuhkan pembangunan infrastruktur, air minum bersih, kesehatan, pendidikan, dan pertanian.
Di balik sikapnya itu, pelan-pelan Marianus dengan menggunakan kekuatan keuangan daerahnya membangun sektor riil kebutuhan di bidang pariwisata. Salah satunya dia mendidik para petani untuk mengembangkan sayur-mayur.
Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Ngada, Korsin Wea sebagaimana dilansir Floreseditorial.com mengaku, sayur mayur gencar dikembangkan oleh pemerintah.
Bahkan beberapa petani Ngada mengaku, usaha sayur mereka sudah bisa menembus pasar di wilayah Flores dan luar Flores.
Bupati Marianus paham, bahwa salah satu kebutuhan pariwisata ialah sayur mayur. Para petaninya juga mendapatkan dampak langsung dari geliat pembangunan pariwisata tersebut.
Coba tengok ke Manggarai Raya. Pemerintah sudah mengalokasikan dana untuk TdF, namun tampak belum menyiapkan para petani untuk menyambut pertumbuhan sektor pariwisata.
Cyprian Jehan Paju Dale, dalam bukunya “Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan Sistemik (2013)” menyebutkan peluang pasar produk pangan, sayur dan buah-buahan justru lebih banyak dipasok dari luar seperti; NTB, Sulawesi Selatan, Bali dan Surabaya.
Dia merekam sampel pasar pangan di Labuan Bajo yang konsumsi wisatawan malah didatangkan dari luar daerah. ***
Oleh: Adrianus Aba, Staf Redaksi VoxNtt.com